Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Di Balik Senja
Di sore hari, Zee berdiri diam memandangi matahari yang perlahan tenggelam, memberi tempat bagi bulan untuk mengambil alih langit. Angin sore membelai lembut rambut panjangnya yang tergerai.
Ia memejamkan mata, menatap langit dengan pikiran yang tidak tenang.
Pembunuhan Zia masih menjadi teka-teki besar baginya. Potongan-potongan puzzle terus berdatangan, satu per satu mulai tersusun, namun tetap belum membentuk gambar utuh. Fakta-fakta baru malah semakin membingungkannya.
“Zia… jujur, kepala gue rasanya mau pecah,” gumam Zee pelan. “Fakta baru soal sifat lo yang gue nggak tahu, cowok inisial ‘R’, foto cewek itu… semua belum ketemu ujungnya.”
Zee membuka matanya perlahan, sorotnya tajam dan penuh tekad.
“Tapi gue nggak akan nyerah. Gue bakal cari tahu siapa sebenarnya cewek yang udah bunuh lo…” lanjutnya dengan suara lirih.
Kemudian, Zee mengepalkan tangannya kuat.
“Kalau pun ternyata bukan cewek… kalau pun Raden terlibat, gue nggak peduli. Cewek atau cowok, gue nggak akan diem.”
Tok! Tok!
Suara ketukan terdengar dari arah pintu.
Zee menghela napas pelan. Dalam hati ia mengira itu pasti Viola. Dengan langkah malas, ia berjalan membuka pintu.
Klik.
Pintu terbuka.
Ternyata dugaannya salah. Bukan Viola, melainkan tiga anggota geng Scarlet Nova—Lili, Klara, dan Olivia—berdiri di hadapannya sambil tersenyum ramah.
“Hai, Zee,” sapa mereka hampir bersamaan.
Zee menatap mereka tanpa ekspresi, lalu mengangguk kecil sebagai jawaban.
“Kita boleh ngobrol sebentar sama lo?” tanya Lili mewakili dua temannya, sambil melirik ke arah dalam kamar.
Zee mengernyit, mengerti maksud pandangan itu. Namun bayangan kejadian di toilet beberapa waktu lalu seketika terlintas di benaknya.
“Di taman aja,” jawabnya singkat.
Lili mengangguk cepat. “Oke, yuk ke taman,” sahutnya.
Zee menutup pintu kamarnya, lalu mengikuti langkah ketiganya menuju taman asrama.
•••
Dari jendela kamar, Viola memperhatikan kepergian Zee bersama geng Scarlet.
“Ngapain Zee bareng geng Scarlet?” gumamnya curiga.
“Zee… semoga lo nggak…”
•••
Di taman asrama, keempat gadis itu duduk di bangku kayu. Suasana sempat hening beberapa saat.
“Ciee, yang deket sama Rey~” goda Lili tiba-tiba.
“Kalian cocok tahu, sama-sama dingin,” celetuk Olivia sambil terkekeh.
“Ganteng dan cantik pula,” tambah Klara tidak mau ketinggalan.
Zee menatap mereka malas. “To the point,” ucapnya singkat, tak suka berbasa-basi.
Lili tersenyum maklum. “Oke, maaf. Gue ngerti, lo bukan tipe yang suka muter-muter.”
Zee hanya diam menunggu lanjutan pembicaraan.
“Lo udah tahu atau belum kalau kita bertiga ini punya geng? Namanya Scarlet Nova,” tanya Lili.
Zee mengangguk sebagai jawaban.
“Sebelum gue langsung ke inti, gue mau jelasin dulu soal geng ini,” ucap Lili, sambil melirik Olivia dan Klara. “Kita udah bersahabat sejak SMP, dan ngebentuk Scarlet Nova dari nol. Tujuannya buat bantu korban bullying, bantu orang yang kena musibah kayak kebakaran dan banjir.”
Zee mendengarkan tanpa menyela.
“Kita punya donatur tetap. Banyak orang yang percaya dan nyumbang buat kita salurkan ke yang membutuhkan,” lanjut Lili dengan bangga.
Zee dalam hati cukup kagum. Geng ini rupanya bukan sekadar kelompok populer, tapi punya misi sosial yang kuat.
“Gue pengin ajak lo gabung ke geng kita,” kata Lili akhirnya.
Zee menatap mereka, lalu tersenyum kecil—senyum tipis yang tak mereka sadari.
“Kita kasih waktu buat lo mikir ya, tapi jangan lama-lama,” sahut Olivia sambil tertawa pelan.
“Kenapa kalian ajak gue?” tanya Zee akhirnya, matanya menatap satu per satu dari mereka.
“Soalnya lo beda dari murid-murid lain yang pernah pengin gabung sama kita,” jawab Klara. “Meskipun kita baru kenal, tapi kita yakin lo punya sesuatu yang spesial.”
Zee terdiam sejenak, lalu menjawab singkat, “Nanti gue pikirin.”
Jawaban itu membuat mereka tersenyum lega. Setidaknya, ada harapan Zee akan bergabung.
Tanpa memperpanjang waktu, mereka pamit. Tak ingin terlalu lama menahan Zee.
---
Di meja makan, hidangan malam telah tersaji dengan rapi. Aroma makanan hangat mengisi ruangan, menggoda siapa pun yang ada di sana.
Tak lama, Zidan dan Zavira menuruni tangga dan langsung menuju meja makan.
“Besok kita ke asrama, jenguk Zee,” ucap Zidan tiba-tiba di sela-sela suapan pertamanya.
Zavira yang semula tersenyum hangat, seketika kehilangan ekspresinya.
“Aku sibuk, Mas. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan,” jawabnya datar sambil terus mengunyah makanannya.
“Kerjaan kamu memang nggak akan ada habisnya. Tapi sesekali kita harus luangkan waktu. Kita jenguk Zee besok, diam-diam, supaya teman-temannya nggak tahu kalau kita keluarga,” jelas Zidan dengan nada tenang namun tegas.
“Mas… dia baru seminggu di sana. Bahkan belum sebulan. Kalau pun kita jenguk, reaksinya paling juga biasa aja,” sahut Zavira, terdengar ragu dan sedikit ogah-ogahan.
Zidan meletakkan sendoknya sebentar, menatap Zavira dengan serius.
“Keputusan Mas sudah bulat. Besok kita jenguk dia.”
Zavira hanya membalas dengan tatapan malas, tak ingin memperpanjang perdebatan saat makan malam.