Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Menyesal
Eliza, dia juga kuliah di kota yang sama dengan Alif. Karena kebetulan, orang tuanya memang berasal dari sana. Dan saat smp dan sma dulu, dia tinggal sama neneknya.
Dan itupun atas permintaan neneknya, karena diusianya yang senja, dia enggan tinggal sendiri. Akan tetapi juga enggan untuk diajak tinggal bersama.
Dan sekarang semua berbeda, sang nenek sudah banyak yang lupa. Akhirnya mau tak mau, beliau ikut tinggal bersama, di kota, bersama Eliza, dan kedua orang tua serta adik bungsunya.
Karena abang, anak pertama orang tuanya, sudah menikah, dan tinggal di rumah yang berbeda dengan mereka.
Saat tahu jika Aziz mengajaknya bertemu, untuk memberitahu Alif tentang informasi les yang dishare di story wa-nya, hatinya tak karuan, padahal dia sempat berpikir jika kisah cinta sma-nya telah berakhir, saat berpisah jauh dengan Alif, namun nyatanya alam semesta dan Tuhan mendukungnya. Alif, tinggal satu kota dengannya.
Sekarang, disini lah, mereka. Di sebuah kafe, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Eliza.
"Jadi gini, aku cari guru les untuk anak abangku, anaknya kelas lima sd, nilainya semakin menurun. Dan dia sama istrinya, gak punya banyak waktu untuk mengajari anaknya, karena kesibukan. Jadi, atas perintah dari mereka, aku buat story itu." jelas Eliza, melirik Alif sekilas.
Aziz yang menangkap gelagat aneh dari Eliza tersenyum simpul.
"Jadi, sistem mengajarnya bagaimana?" tanya Alif, tertarik.
"Untuk sistemnya, biar abang atau kakak iparku aja yang jelasin. Tapi kayaknya sih, ngikut jadwal kamu deh." papar Eliza.
"Kalo begitu, boleh minta nomormu gak?" tanya Alif.
"What? Jadi, kalian belum saling tukar nomor? Bukannya, kalian satu kelas saat SMA?" tanya Aziz kaget, dia bahkan hampir menyemburkan minuman yang baru saja diteguknya.
"Gak, kan selama ini gak butuh." lirih Alif.
Jleb ... Eliza menelan ludah, dan menunduk kecewa.
Aziz langsung menyenggol lengan Alif. Dan menunjuk Eliza dengan dagunya. Dan Alif, malah bingung, dan menggaruk kepalanya, yang tak gatal.
"Sini-in ponselmu, biar aku ambil nomor Eliza di grup smp kita." Aziz merebut ponsel di tangan Alif. "Wah, kok kamu hanya punya satu nomor perempuan? Hanya satu?" Eliza mendongak wajahnya, penasaran.
"Hanya wali kelas?" ejek Aziz, membuat Eliza tersenyum.
Senyum yang membuat rasa kecewa yang sebelumnya hilang seketika. Karena sadar, Alif berbeda, dia gak menyimpan nomor jika tak di perlukan.
...🍁🍁🍁...
Nanda mulai jengah dengan hidupnya, apalagi sekarang Haris hanya bekerja sebagai tukang bangunan, yang dimana pendapatan tak cukup sampai akhir bulan.
Semula, orang tua Nanda dengan baik hati membantunya dengan mengirimkan sedikit uang untuk kebutuhan anaknya. Namun dua bulan terakhir, orang tua Nanda tak lagi mengirimkannya uang, itu semua karena mereka tahu tentang Haris yang udah punya anak pada pernikahan sebelumnya, dan mereka kecewa dengan Nanda, yang memilih membohongi mereka.
Begitu Haris pulang, hal pertama yang dilakukan Nanda adalah menadah tangannya. Dia gak mau, jika nanti Haris menghambur-hamburkan uangnya dengan membeli rokok.
"Kok cuma segini? Biasanya kamu dapat seratus duapuluh lima ribu. Lima ribunya mana? Beli rokok?" beruntun Nanda kala menghitung uang yang diberikan Alif.
"Tadi, saat pulang aku beli es teh. Gerah ..." jawab Haris sembari mengipasi tubuhnya dengan baju, yang baru saja dibuka dari tubuhnya.
"Wah, mentang-mentang kamu cari duit, terus kamu bisa foya-foya gitu? Mikir dong, mikir ... Lima ribu itu, bisa untuk beli telur, bisa untuk makan kita satu waktu." cerocos Nanda.
"Aku gerah, tahu gak? Gerah, haus ..." hardik Haris meninggikan suaranya.
"Terus apa salahnya, jika kamu cepat-cepat pulang, dan minum sepuasnya di rumah?" balas Nanda memelototi matanya. "Kamu tahu kan? Uang yang kamu cari gak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Dan sekarang, coba lihat penampilan ku, aku berubah, bahkan sekedar lipstik saja, aku harus mikir-mikir untuk membelinya." sambung Nanda.
"Jika kamu mau menyalahi, salahi dirimu sendiri. Kamu sendiri, yang membuat kita kayak gini. Beruntung aku memberimu uang untuk makan." sinis Haris. Kemudian melenggang pergi masuk kedalam rumahnya.
Haris meninju tembok, untuk melampiaskan rasa sakit, kecewa dan marah yang membuncah di hatinya.
Dia ingin berteriak tentang takdir yang mulai tak adil padanya.
"Kenapa meninju tembok? Mau marah? Mau marahi aku?" cerocos Nanda, yang mengikuti langkah Haris.
"Ayolah, Nanda ... Jangan cari gara-gara. Aku capek, tolong hargai aku." mohon Haris menangkup keduan tangannya.
"Aku juga capek, aku lelah. Aku lelah dangan semua hal yang telah kita lewati beberapa tahun terakhir ini. Dan aku menyesal, aku menyesal memilihmu menjadi suamiku." lirih Nanda, air matanya mulai tumpah.
"Aku lelah Haris, aku lelah dengan hidupku, bahkan kedua orang tuaku, mereka menganggap aku telah tiada." isak Nanda menjatuhkan tubuhnya, dan memeluk kedua lututnya.
"Ya, mau bagaimana lagi? Ini semua idemu," Haris menggelengkan kepalanya.
"Andai aja kita gak menjual rumah ibumu, mungkin hidup kita tak semelarat ini." ujar Nanda kemudian.
Haris yang hendak masuk kamar, menghentikan langkah kakinya.
"Benarkah, apa yang Nanda katakan? Bukankah, itu memang haknya sebagai anak?"
Jika rasa penyesalan mulai merayap pada hati Nanda, Misna malah berbeda.
Sekarang Misna sedang menunggu kepulang Faisal, sudah seminggu ini Faisal tak pulang ke rumah. Dan sekarang, Misna tinggal seorang diri.
Karena semenjak meninggalnya Keisya, Raffa di hasut Ninik untuk pulang ke rumah Nadia, dia beralasan tak mau jika Raffa mengalami nasib yang sama seperti Keisya.
Akhirnya, yang di tunggu pulang. Namun ada yang berbeda disana, wajah Faisal terlihat lebih berseri.
"Kemana aja seminggu ini?" tanya Misna saat mengambil tas yang dibawakan oleh Faisal.
"Aku sudah kembali, dengan Nadia." ujar Faisal.
Misna melotot, jantungnya memompa dua kali lebih cepat. Dia berharap, apa yang didengar tadi bukan lah, sebuah kejujuran.
"Ma-maksudnya?" Misna terbata, bahkan suaranya tertahan di tenggorokan.
"Tak ada yang harus aku pertahankan lagi sama kamu Misna. Semua telah lenyap, selain kepergian Keisya, kamu juga mengusir Alif. Dan kamu tahu, kenapa selama tiga bulan ini aku jarang pulang? Ya, karena aku mendapatkan laporan dari orang, jika kamu kembali mengusir Alif sama temannya. Aku kecewa Misna, aku lelah mengingatkan mu." papar Faisal dengan intonasi yang sedikit meninggi.
"Ta-tapi, kenapa? Apa yang membuatmu berping dariku? Selama ini, aku telah menemanimu, aku yang selalu ada sama kamu." berang Misna.
"Maka dari itu aku minta maaf Misna, semua telah usai. Rasa cintaku, hilang bersama sikapmu yang semakin berubah terhadap anak kandungmu." lirih Faisal.
"Selama ini aku mencoba memahamimu, kenapa kamu bisa sebenci itu sama Alif. Apa karena kamu menjaga perasaanku? Atau, karena ibuku yang sering menekanmu. Tapi nyatanya bukan hanya karen itu, kamu membencinya, karena memang hatimu yang busuk Misna." ujar Faisal menunjuk-nunjuk dada Misna.
"Jadi, kamu tahu kalo ibumu?"
"Aku tahu, karena Raffa mengadu padaku. Tapi, aku sengaja membiarkannya, untuk melihat bagaimana seorang ibu, membela anaknya." cetus Faisal, semakin membuat Misna termangu.