NovelToon NovelToon
Dipaksa Kawin Kontrak

Dipaksa Kawin Kontrak

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Pelakor jahat
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Dini Nuraenii

Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.

Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Sudah satu bulan berlalu sejak Kaila dinyatakan hamil. Waktu berjalan perlahan, namun cukup untuk mengubah dinamika rumah itu secara perlahan tapi pasti.

Hubungan antara Arya dan Kaila tetap dalam batas-batas kontrak mereka, namun suasananya jauh dari dingin seperti sebelumnya.

Arya masih bersikap kaku dan tak banyak bicara, tetapi perhatiannya terhadap Kaila semakin nyata. Sementara itu, Kaila mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan,tubuh yang cepat lelah, emosi yang mudah berubah, dan tentu saja mengidam.

Pagi itu, suara sendok yang beradu dengan gelas mengisi ruang makan. Kaila duduk di meja makan sambil menyuap bubur ayam yang baru saja dimasak oleh pembantu rumah tangga.

Arya masuk dengan kemeja putih yang sudah rapi dan dasi yang belum terikat. Ia berjalan menuju meja, mengambil segelas air putih, dan duduk di seberangnya.

“Kamu bangun jam berapa?” tanyanya datar, menyesap air perlahan.

Kaila mengangkat bahu kecilnya. “Sekitar jam lima. Aku tiba-tiba ingin makan bubur ayam jam segitu,” jawabnya pelan, lalu tertawa kecil. “Aku bahkan minta mbak Wati mencarikan bubur jam enam pagi.”

Arya mengangguk kecil. “Kamu harus bilang padaku. Aku bisa keluar sebentar mencarikannya.”

Kaila menatap Arya dengan ragu. “Aku tidak mau merepotkanmu…”

“Kamu sedang hamil anak ku,Kaila,” jawab Arya, suaranya tetap tenang, tapi mengandung penekanan. “Itu bukan merepotkan. Aku akan mengurus apa pun yang kamu butuhkan.”

Kaila menunduk, pipinya memerah. Sejak kehamilan itu dikonfirmasi, Arya memang lebih sering berada di rumah. Ia tidak banyak bicara, namun tak pernah melewatkan waktu makan bersama, dan selalu mengecek kondisi Kaila sebelum berangkat atau pulang kerja.

“Kalau begitu… besok pagi aku mungkin ingin rujak serut,” kata Kaila dengan suara pelan, namun wajahnya terlihat malu-malu.

“Tapi bukan sembarangan rujak. Aku inginnya yang dibungkus daun pisang dan ada mangga muda yang banyak.”

Arya menatapnya, lalu bangkit. Ia berjalan menuju ruang tamu sambil mengenakan dasinya, dan berkata tanpa menoleh, “Aku tahu tempat yang jual seperti itu. Aku akan mampir sebelum pulang kerja nanti.”

Kaila tersenyum, merasa senang bukan main, meskipun Arya tidak pernah menyuarakan perhatian itu dengan hangat atau ekspresif.

---

Sebulan berlalu dengan rutinitas yang mulai teratur. Kaila rutin memeriksakan kehamilannya, dan Arya selalu menyempatkan diri mengantar, bahkan ketika ia sedang sibuk sekalipun.

Ia tidak pernah menunjukkan kelembutan secara terang-terangan, tetapi sikapnya yang tidak pernah abai itu membuat Kaila pelan-pelan merasa nyaman.

Namun di sisi lain rumah itu, suasana sangat berbeda. Nayla, istri resmi Arya di mata dunia, mulai diliputi kegelisahan yang sulit ia sembunyikan. Sudah satu bulan ia berusaha hamil, namun belum juga membuahkan hasil.

Sore itu, Nayla memandangi hasil pemeriksaan laboratorium yang baru saja diambilnya dari rumah sakit. Wajahnya pucat, dan matanya tampak letih karena kurang tidur.

Saat Arya pulang, Nayla sudah menunggunya di ruang keluarga.

“Arya…” panggilnya begitu pria itu melepas sepatu.

Arya menghentikan langkahnya. “Ada apa?”

“Aku baru saja dari rumah sakit,” katanya, menunjukkan amplop berisi hasil pemeriksaan.

Arya mengambilnya tanpa ekspresi. “Dan?”

“Dokter bilang aku sehat. Tidak ada masalah dengan organ reproduksiku. Tapi tetap saja… kenapa aku belum juga hamil?” suaranya bergetar.

Arya menghela napas. “Kita sudah membicarakan ini sebelumnya, Nayla. Tidak ada yang bisa dipaksakan.”

Nayla bangkit dari sofa, mendekatinya. “Tapi Kaila… dia hamil. Dalam waktu secepat itu. Kau tidak melihat itu sebagai sesuatu yang... tidak adil?”

Arya menatapnya, dingin seperti biasanya. “Itu bukan soal adil atau tidak. Itu soal takdir. Aku tidak pernah berniat membuatnya hamil, kamu tahu itu.”

“Tapi sekarang dia mengandung anakmu,” Nayla membalas cepat. “Dan dia tinggal di rumah ini. Dia bahkan mendapat perhatianmu setiap hari.”

“Kamu tahu situasinya,” balas Arya tenang. “Ini bukan hubungan biasa. Kami hanya menjalani kesepakatan. Setelah anak itu lahir, dia akan pergi.”

“Tapi selama sembilan bulan ini, dia akan terus berada di sini, menerima perhatian yang bahkan tidak pernah kau berikan padaku,” ucap Nayla dengan suara pecah. “Aku tidak bisa berpura-pura tidak merasa apa-apa, Arya. Aku frustasi!”

Arya diam sejenak, lalu menunduk. “Aku tidak pernah menjanjikan kehidupan yang sempurna, Nayla. Kamu memilih bersamaku dengan segala konsekuensinya.”

Nayla tertawa kecil, namun suaranya getir. “Kau benar. Dan sekarang aku harus menyaksikan suamiku memperlakukan wanita lain dengan perhatian yang tidak pernah aku rasakan…”

---

Sementara Nayla diliputi amarah dan kecemburuan, di lantai atas Kaila mulai bergelut dengan emosinya sendiri.

Kehamilannya membuatnya semakin sensitif. Ia mulai merasa mudah menangis tanpa alasan, bahkan hanya karena mendengar lagu sedih atau menonton film.

Arya mengetuk pintu kamar Kaila malam itu, membawa bungkusan plastik.

“Kamu bilang mau rujak serut dengan mangga muda,” katanya begitu Kaila membuka pintu.

Mata Kaila langsung berbinar. “Kau beneran membelikannya?”

Arya mengangguk. “Aku bilang aku akan cari.”

Kaila mengambil bungkusan itu, lalu duduk di ranjang sambil membuka isinya dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan. “Terima kasih… aku benar-benar mengidam sejak pagi.”

Arya duduk di kursi dekat ranjang. “Kamu makan pelan-pelan. Jangan sampai perutmu kaget.”

Kaila mengangguk. “Kadang aku tidak percaya kamu bisa sepeduli ini,” ucapnya polos.

Arya menatapnya. “Aku bertanggung jawab, Kaila.”

“Tapi ini bukan cuma soal tanggung jawab, kan? Kamu tidak harus membawakan rujak, atau mengantarku ke rumah sakit tiap minggu.”

Arya diam. Matanya menatap lurus, tetapi tidak menjawab.

Kaila menunduk, wajahnya memerah. “Maaf… aku jadi cengeng. Hormonnya kacau…”

Arya berdiri. “Kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja.”

Kaila mengangguk, lalu berkata pelan, “Arya…”

“Hm?”

“Boleh aku minta satu hal lagi?”

Arya menoleh. “Apa?”

Kaila tersenyum ragu. “Temani aku makan rujaknya. Aku tidak suka makan sendirian.”

Setelah hening sejenak, Arya duduk kembali. Ia mengambil satu potong mangga dari piring, memasukkannya ke mulut. “Ini terlalu asam.”

Kaila tertawa kecil. “Memang itu yang aku cari.”

Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, tidak ada ketegangan yang menggantung di udara. Hanya suara sendok, iringan tawa kecil Kaila, dan keheningan yang terasa lebih nyaman daripada canggung.

Arya tidak berkata banyak, namun setiap kehadirannya saat Kaila membutuhkan membuat gadis itu merasa bahwa ia tidak sepenuhnya sendiri.

Sementara Nayla semakin merasa terpinggirkan di rumahnya sendiri, perlahan, hubungan aneh antara Arya dan Kaila mulai menghangat meski mereka tidak pernah benar-benar menyadarinya.

Dan malam itu, sebelum keluar dari kamar, Arya sempat berhenti sejenak di ambang pintu.

“Kaila,” panggilnya, suaranya lebih pelan dari biasanya.

“Ya?” Kaila menoleh.

“Kalau kamu ingin sesuatu... bahkan hal kecil sekalipun... jangan menahan diri. Kamu tidak sendiri.”

Kaila menatap punggung Arya yang kemudian melangkah pergi. Hatinya menghangat, meski ia tahu bahwa hubungan mereka dibatasi oleh kesepakatan dan waktu.

Namun entah mengapa, harapan kecil mulai tumbuh dalam diam.

1
R 💤
jangan mau kaila,
R 💤
hadir Thor 👋🏻
R 💤: siap Thor 👋🏻
Dini Nuraeni: Thanks dah mampir dan jadi yang pertama mengomentari 🥹🫶
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!