Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Pembicaraan Herald dan Astalfo
Mansion – Ruangan Astalfo
Pagi itu, Herald sebenarnya berniat untuk langsung Menuju ke lokasi kamar Clara setelah selesai mempersiapkan diri di kamarnya. Namun, rencananya harus tertunda ketika di tengah perjalanan ia bertemu dengan Hermas yang menyampaikan perintah: Tuan Astalfo memanggilnya ke ruang pribadi. Tanpa banyak tanya, Herald pun mengiyakan. Kini ia telah berada di sana, berdiri dengan sedikit bingung di hadapan pria tua yang penuh wibawa itu.
“Eh, Tuan Astalfo… ada keperluan apa memanggil saya kemari?” tanya Herald, suaranya terdengar sopan namun ragu.
Astalfo menatapnya sejenak sebelum memberi isyarat. “Silakan duduk dulu, Nak Herald. Akan kujelaskan setelah itu.”
Tanpa protes, Herald melangkah menuju kursi yang berada di hadapannya. Ia duduk dengan tenang, meski dalam hati masih bertanya-tanya. Begitu Herald telah duduk, Astalfo pun mulai berbicara.
“Begini… aku hanya ingin mendengar perkembangan Clara dalam beberapa minggu terakhir. Aku harap kamu bisa menjelaskannya secara menyeluruh.”
Herald sempat terdiam. Ia menarik napas pelan dan berpikir, “Huf… kukira aku akan dimarahi atau semacamnya. Rupanya hanya ini.” Ia sempat mengira dirinya tengah dipanggil karena suatu kesalahan, namun ternyata hanya untuk memberi laporan. Hal yang jauh lebih mudah dan ringan.
Ia pun mulai menjelaskan segalanya. Percakapan mereka mengalir selama hampir setengah jam. Sesekali, Hermas masuk ke ruangan untuk menghidangkan minuman. Suasana terasa hangat, diselingi senyum dan anggukan penuh perhatian dari Astalfo. Pria itu tampak benar-benar antusias mendengar cerita tentang putrinya.
Waktu berlalu tanpa terasa. Saat pembicaraan mereka hampir usai, Astalfo menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menghela napas lega.
“Sekarang Clara-ku benar-benar sudah banyak berubah. Terima kasih, Nak Herald. Semua ini berkat bimbingan dan perhatianmu. Aku bisa melihat kembali cahaya harapan dalam dirinya.”
Herald tersenyum kecil, lalu membalas dengan tenang, “Tak perlu berterima kasih, Tuan. Itu memang bagian dari tugasku.”
Bagi Herald, ucapan terima kasih itu terasa berlebihan. Meski begitu, dalam hatinya ia turut senang karena tugasnya membuahkan hasil yang nyata.
Kemudian, Astalfo membuka topik baru. “Oh iya, Herald. Apakah kamu sudah bertemu dengan anak pertamaku? Kalian mungkin sempat berbincang, bukan?”
Yang dimaksud tentu saja Olivia—kakak Clara.
Herald langsung teringat pertemuannya dengan Olivia kemarin. Ingatan itu membuat wajahnya mengernyit, menampilkan ekspresi tidak suka yang sulit disembunyikan. Astalfo langsung menyadarinya.
“Dia memang menyebalkan, ya?” ucap Herald refleks, tanpa sadar telah mengungkapkan pikirannya.
Astalfo tertawa lepas. “Hahaha… aku paham. Jadi kalian memang sempat berbicara. Bagaimana kesanmu?”
Herald tidak menahan diri untuk mengutarakan kekesalannya. “Mulut putri Anda itu benar-benar tak terkontrol. Aku bahkan merasa sakit kepala mendengarnya bicara.”
Astalfo hanya mengangguk, tampak memahami sepenuhnya. “Ya, kamu benar. Mulutnya tajam, sikapnya keras. Tapi… cobalah untuk tidak terlalu membencinya. Ia masih belum benar-benar bebas dari masa lalunya.”
“Masa lalu, ya…”
Herald terdiam sejenak. Ia teringat pada pengakuan Clara beberapa waktu lalu, mengenai alasan Olivia menyimpan kebencian terhadap adiknya sendiri.
“Dia seharusnya bisa merelakan kepergian ibunya. Bukan malah menjadikan Clara sebagai pelampiasan emosinya…” gumam Herald, tak sadar ucapannya terdengar jelas.
Astalfo menatapnya, sedikit terkejut. “Herald… darimana kamu tahu soal itu?”
“Clara sendiri yang menceritakannya padaku. Dia bilang Olivia membencinya karena—yah, karena ibunya meninggal setelah melahirkannya. Menurutku… itu tak adil.”
Wajah Astalfo melunak. Ekspresi terkejutnya perlahan berubah menjadi kelegaan. “Jadi… Clara sudah berani membicarakan hal itu, ya? Hebat… dia benar-benar berkembang.”
Astalfo kemudian menatap langit-langit sejenak, seolah menembus kembali ke masa lalu. “Dulu… Olivia adalah anak yang ceria. Ia periang, selalu tertawa, dan begitu menyayangi ibunya. Mereka hampir tak pernah terpisah. Ke mana pun ibunya pergi, Olivia akan ikut. Aku masih ingat ekspresi bahagianya, tangan kecilnya yang menggenggam erat jubah ibunya… baginya, wanita itu adalah seluruh dunia.”
Ia menunduk, suaranya menjadi lirih. “Tapi… pada hari ketika Clara lahir, ibunya meregang nyawa. Dan Olivia menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Ia menangis sejadi-jadinya. Sejak hari itu, hatinya membeku. Ia tak pernah lagi mau menyentuh Clara, bahkan setelah tahu Clara buta… ia malah semakin menjauh.”
Herald menyimak dengan hening.
“Seiring waktu, amarah dan luka yang ia pendam terus tumbuh. Ia tak mampu menanggung beban kehilangan dan rasa bersalah yang tak terucapkan. Maka, lahirlah sosok Olivia yang sekarang: dingin, kasar, dan penuh dendam yang belum selesai.”
“Jadi begitu…”
Kini Herald mulai memahami alasan di balik sikap Olivia. Perasaan kehilangan yang terlalu dalam, trauma yang tak pernah sembuh, membentuknya menjadi pribadi yang penuh duri. Namun, tetap saja… bagi Herald, membiarkan luka itu terus mengendalikan hidup bukanlah pilihan.
“Dia sudah dewasa sekarang. Seharusnya bisa berdamai dengan masa lalu dan mulai melangkah ke depan.”
Astalfo tersenyum tipis mendengar ucapan Herald. Ada nada getir dalam tawanya yang pelan. “Kedengarannya mudah, bukan? Tapi jika kamu belum pernah kehilangan seseorang yang begitu penting dalam hidupmu, kamu tidak akan pernah tahu betapa sulitnya melupakan rasa sakit itu.”
Beberapa saat berlalu, percakapan mereka tentang Olivia pun mereda. Keheningan sempat menyelimuti ruangan, hingga sebuah pikiran melintas di benak Herald—sesuatu yang sempat ia abaikan, namun kini terasa penting untuk dibahas.
“Oh iya… Aku hampir lupa. Mungkin Tuan Astalfo tahu sesuatu tentang kejadian aneh waktu itu,” pikirnya.
Ia mengangkat wajah dan bertanya pelan, “Tuan Astalfo… beberapa minggu yang lalu, Clara mengalami sesuatu yang… agak aneh. Saya tidak yakin harus percaya atau tidak, tapi saya rasa Anda perlu mengetahuinya.”
Astalfo menaikkan alis, ekspresinya berubah penuh perhatian. “Kejadian aneh? Ceritakan padaku, Nak Herald. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Herald mulai menjelaskan, perlahan dan hati-hati, seperti memilih tiap kata. “Saat itu kami sedang di taman, bermain di antara bunga-bunga. Tiba-tiba Clara mengatakan bahwa dia bisa melihat bunga yang sedang dia pegang. Tepatnya, bunga itu dia deskripsikan seolah-olah benar-benar tampak di hadapannya. Saya pikir dia hanya bercanda, tapi raut wajahnya serius. Karena saya bingung dan tidak ingin membuatnya panik, saya bilang mungkin itu hanya khayalan. Tapi… saya sendiri masih memikirkannya. Jadi saya ingin bertanya, mungkinkah Anda tahu sesuatu soal kejadian itu?”
Astalfo, yang sejak tadi mendengarkan dengan seksama, tiba-tiba terdiam. Tatapannya menajam, dan rona wajahnya berubah. Senyuman hangat yang sebelumnya mengisi wajahnya kini memudar, digantikan oleh gurat-gurat kekhawatiran.
Setelah hening beberapa saat, ia akhirnya bersuara, namun bukannya menjawab, ia malah balik bertanya.
“Ketika Clara mengatakan bisa melihat… bunga seperti apa yang sedang dia pegang waktu itu?”
Herald sedikit bingung, namun menjawab jujur, “Kalau tidak salah… bunga Dandelion, Tuan. Saya memang sedang mengenalkannya pada bunga-bunga di taman, dan saya menemukan bunga itu di pinggir jalan setapak.”
Astalfo kembali terdiam, kali ini lebih lama. Sorot matanya meredup, dan suasana di ruangan seketika menjadi berat. Ketika ia akhirnya bicara lagi, suaranya terdengar lebih dingin, hampir seperti bisikan yang berat oleh beban masa lalu.
“Dengar baik-baik, Nak Herald… lupakan kejadian itu. Anggap saja hal itu tidak pernah terjadi. Dan yang lebih penting… jangan pernah membiarkan Clara menyentuh bunga itu lagi.”
Herald terperangah. Ia tak menyangka reaksi sedingin itu keluar dari Astalfo. Nada perintah itu terasa aneh, nyaris menyimpan ketakutan yang tak terucap. Ada sesuatu yang jelas-jelas disembunyikan.
[Apakah bunga itu… berhubungan dengan Clara?] batinnya.
Herald mulai merenung terlalu dalam, matanya memandangi Astalfo yang kini menunduk dalam bayang pikirannya sendiri. Karena terlalu terjebak dalam pikirannya sendiri, Herald tak segera menjawab.
Astalfo pun mengulang perintahnya, kali ini lebih tegas. “Nak Herald, kau dengar aku? Lupakan. Semuanya. Bersikaplah seperti biasa.”
Tersentak dari lamunannya, Herald pun buru-buru menjawab, “Iya, Tuan. Saya mengerti.”
Tiba-tiba—
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan di pintu memecah kesunyian yang mencekam.
Ketiga orang di dalam ruangan—Astalfo, Herald, dan Hermas—langsung menoleh ke arah pintu. Tak lama, seorang prajurit masuk dengan langkah cepat namun tetap menjaga sikap hormat.
“Ada apa?” tanya Astalfo langsung.
Prajurit itu membungkuk ringan sebelum menjawab, “Tuan Astalfo, ada seorang pelayan yang ingin menemui Anda dan Nak Herald. Katanya, ini urusan penting.”
Astalfo mengerutkan kening. “Pelayan? Siapa namanya?”
“Susan, Tuan.”
Begitu nama itu disebut, Herald langsung menoleh. “Susan? Ada urusan penting… kenapa dia datang mencariku langsung ke sini?”
Astalfo pun memberi izin. “Baiklah, persilakan dia masuk.”
Prajurit itu segera memberi hormat dan keluar dari ruangan. Dalam beberapa menit, Susan pun masuk. Langkahnya cepat namun tetap terkontrol. Sesampainya di hadapan Astalfo, ia menunduk hormat.
“Maaf telah mengganggu waktu Anda, Tuan Astalfo,” ucapnya dengan suara lembut tapi terdengar tergesa.
“Tidak apa-apa,” jawab Astalfo. “Kudengar dari prajuritku, kamu membawa kabar penting. Jadi, apa yang ingin kamu sampaikan?”
Herald tetap diam. Matanya menatap Susan dengan penuh tanya. Ada firasat kuat bahwa sesuatu telah terjadi sehingga dia ingin menyampaikan secara langsung kepada Astolfo.
“Itu… Tuan Astalfo, dan juga Anda, Herald. Nona Clara… dia… dia—”
Susan terhenti. Suaranya bergetar, dan matanya tampak ragu, seolah kalimat yang hendak ia ucapkan terlalu berat untuk diutarakan begitu saja. Wajahnya tegang, bibirnya bergerak tapi tak ada kata yang keluar. Kegugupannya membuat ruangan kembali senyap, namun kini penuh dengan tanda tanya.
Astalfo mengernyit, suaranya mendesak, “Apa yang terjadi dengan Clara, Susan? Katakan!”
Akhirnya, dengan suara lirih yang ditarik dari dalam kegelisahannya, Susan mengungkapkan, “Itu… Nona Clara dan… Nona Olivia. Mereka berdua… sedang bersama saat ini.”
Sejenak, hanya keheningan yang menyusul. Herald dan Astalfo saling menoleh, bingung. Pernyataan itu terdengar biasa saja, bahkan seharusnya tak menimbulkan kegemparan.
Astalfo pun tersenyum kecil dan berkata santai, “Oh… mereka sedang bersama, ya? Tidak masalah.”
Herald hanya mengangguk, mengiyakan. Tapi…
Beberapa detik kemudian, ada sesuatu yang menggelitik benak mereka. Layaknya kabut yang perlahan-lahan memudar dari pikiran, kesadaran mendadak muncul—dan menyeruak tanpa ampun. Wajah Astalfo perlahan berubah, begitu juga dengan Herald. Dari ketenangan menuju keterkejutan yang mendalam. Mereka menatap satu sama lain, mata mereka membelalak penuh kesadaran.
Dan secara bersamaan, keduanya berbalik menatap Susan, lalu berseru nyaris bersamaan—
“HAH?! MEREKA BERSAMA?!”
Nada panik itu menggetarkan ruangan. Suasana yang tadinya tenang berubah menjadi genting dalam sekejap. Bahkan Hermas, yang berdiri di pojok ruangan, tampak terkesiap oleh seruan mendadak itu.
Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Sesuatu yang menyatukan Clara dan Olivia—dua sosok yang selama ini saling menjauh—tidak mungkin hanya kebetulan. Dan keduanya tahu… jika Clara dan Olivia sedang bersama, maka kemungkinan besar, akan terjadi hal yang tak bisa dikendalikan.