Gagal menikah karena calon suaminya selingkuh dengan sesama jenis, ternyata membuat Bulan tidak lagi menyukai laki-laki bertubuh atletis seperti yang telah menjadi kesukaannya. Dia bahkan menganggap laki-laki bertubuh kekar semua sama seperti Andra, mantan tunangannya.
Lalu ia dikirim ke rumah kakak dari sang ibu, dan bertemu dengan Samudra Biru, sepupu yang sama sekali tak dilirik Bulan karena traumanya terhadap laki-laki. Berbeda dengan Samudra Biru yang ternyata juga dosen Bulan di kampus, Biru menyukai Bulan dengan segala keanehannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Kantor Polisi
"Heii, udah lama ga ketemu!"
Bulan tersenyum, sambil mengangkat dagu sekilas pada seorang Bartender yang menyapa. Gadis itu duduk di salah satu kursi pantry depan si Bartender.
"Kaya biasa?" Tawarnya.
Bulan menggeleng pelan. "Lagi ga pengen mabuk."
"Buttered Rum?"
Bulan menggeleng lagi. "Pengen yang agak.. asam, manis..."
Bartender itu menjentikkan jari beberapa kali setelah mendapat ide sajian untuk Bulan. "Blood Orange Spritzers??"
Baru Bulan mengangguk, "boleh-boleh."
"Wait."
Sambil menunggu Bartender menyiapkan minumannya, Bulan menengok ke belakang, mencari siapa yang mungkin ia kenali. Tapi sepertinya tidak ada. Terlebih ketiga sahabatnya masih diluar kota.
Tak!
Suara gelas terdengar mengetuk meja. Pesanan Bulan telah selesai.
"Thank you." Ucap gadis itu, lalu menyesap minumannya. Sementara sang Bartender memperhatikannya dari seberang meja, menunggu responnya.
Bulan menaikkan jempol. "Mantepp!!"
Bartender itu terkekeh. "Aku dengar kamu buat masalah di bar sebelah."
"Nyampe juga ceritanya."
"Anak-anak yang cerita. Kamu sampe nodongin botol pecah."
Bulan sampai menarik sudut bibirnya. Memalukan juga, pikirnya. Kenapa ya, waktu itu dia terlalu menggebu melabrak Andra. Jadi menyesal sudah bertingkah bodoh.
"Bentar, aku kesana." Kata si Bartender saat ada yang memesan di sudut konter.
Bulan mengaduk minumannya. Memikirkan bagaimana besok dia akan menjawab perihal lamaran ulang pihak Andra. Sejujurnya Bulan tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu. Atau mungkin inilah maksud Andra soal dirinya yang tidak akan menyerah begitu saja.
"Ya ampun, nih orang ngapain sih, kesini. Mau ngancurin bar orang lagi?"
Suaranya begitu dekat, Bulan menoleh ke samping. Dilihatnya ada Bobi berdiri tak jauh darinya. Tersenyum sinis pada Bulan yang lalu merasa sial telah bertemu dengannya.
Bulan menghela napas, lalu kembali menghadap depan. Saat ini dia tak mau diganggu. Dia datang ke tempat ini memang untuk menyendiri.
"Si brengsek, sok oke banget. Puas lo ngancurin hubungan gue, hah? Puas lo buat Andra ninggalin gue?"
"Ambil lagi aja, sih. Gue juga udah ga butuh." Balas Bulan tanpa menoleh. Matanya sibuk melihati minuman yang ia aduk dengan sedotan. Lagian, ini memalukan. Masa dia harus bersaing sama laki-laki, perihal Andra pula.
"Kurang ajar banget!"
Bulan tersentak kaget saat Bobi menyiramnya dengan minuman yang Bulan aduk. Dingin, es batu yang ada di minuman itu merembes ke dadanya.
"Mau lo apa, sih?!" Pekik Bulan dengan mata melebar. Kesal, padahal dia tidak mengganggu.
"Lo udah buat gue malu, tau! Gara-gara lo juga gue ditinggal sama Andra! Lo udah ngasih apa sama Andra sampe dia berpaling dari gue? Emang lacur ya, lo! Emak lo ngajarin cara melacurnya bagus banget sampe anaknya bisa ngalihin Andra dari-"
BUG!
Satu hantaman bebas ditujukan Bulan untuk bibir lelaki itu. Amarah Bulan muncul saat dia berani mengusik mamanya.
"Anjing!"
Bobi ditahan oleh orang-orang disana saat dia hendak melayangkan pukulan balasan untuk Bulan.
"Lepas, brengsek. Bibir gue berdarah! Gue mau balas. Gue mau laporin lo ke polisi, Jalannggg!!"
~
"Pokoknya aku mau dia dipenjara, Pak! Dia udah buat bibir aku berdarah. Liat nih, ini!" Bobi sibuk menunjukkan bekas darah di sudut bibirnya pada seorang polisi yang dimintai Bobi untuk membuat laporan kasus mereka.
"Sebentar, mas. Apa bisa pelan-pelan bicaranya? Coba jelaskan dari awal permasalahannya." Ucap petugas itu.
"Dia nonjok sayaaa. Bapak ngga liat, ini bibir saya pecah!"
Polisi itu menatap Bulan yang hanya diam bersandar di kursi, menerawang ke depan.
"Apa benar mbak yang menonjok mas ini?"
Bulan mengangguk satu kali. Membenarkan pertanyaan si polisi. Dirinya enggan pula menjelaskan persoalan awalnya.
"Mbak, coba minta maaf sama mas-nya. Supaya kasus ini ngga sampe panjang." Saran si polisi.
"Nggak! Aku ga mau cuma minta maaf. Dia udah menganiaya aku! Gara-gara dia aku jadi malu 2 kali!" Bobi beralih pada Bulan. "Pokoknya lo harus dipenjara, ya!! Gue ga terima uang atau permintaan maaf! Perempuan sialan!" Maki Bobi habis-habisan pada Bulan yang duduk disebelahnya.
Gadis itu menghela napas. Lagi apes banget, pikirnya. Apalagi Bobi tampak tidak mau berdamai. Padahal dia duluan yang memulai. Hanya, Bulan enggan mengatakan apa-apa. Dia pusing, terlalu banyak persoalan hari ini.
BRAK!
Pintu dibuka kasar hingga membuat Bobi dan Polisi itu beralih menatap pintu.
"Andraaa..." Bobi berdiri menyambut siapa yang datang. "Andra, liat ini. Berdarah. Cewek itu nonjok aku lagi. Jahat banget, kan..." rengek Bobi pada Andra. Membuat si polisi menghela napas lalu menggelengkan kepala.
Sementara mata Andra sejak tadi mengarah pada Bulan yang tak merespon dengan kedatangannya. Lelaki itu mengabaikan Bobi, lalu duduk disebelah Bulan.
"Bulan, kamu nggak apa-apa?"
"Andra! Apaan, sih! Yang ditonjok itu aku?? Yang telepon kamu juga aku! Kenapa malah perhatiin dia??" Teriak Bobi tak senang.
"Pak, saya yang bertanggung jawab soal Bulan. Saya akan bayar dendanya." Ucap Andra pada polisi.
"Andraa! Aku ga mau!"
Andra menarik Bobi menjauh dan berbicara berdua disana. Entah apa yang mereka bicarakan, sampai seketika Bobi menghadap polisi itu dan berujar.
"Saya tarik laporan saya, Pak." Ucapnya dengan nada rendah. Matanya melirik Bulan yang hanya diam seperti sejak awal.
"Makasih ya, Bob." Kata Andra, memegang bahu Bobi.
"Tapi kamu nanti hubungi aku, kan."
"Iya. Aku nanti- Bulan!"
Andra berlari kecil mengikuti Bulan yang sudah keluar duluan setelah laporan dicabut.
"Andraa! iiihhh, kok aku ditinggal??
Polisi yang melihat itu menggeleng kepala lagi. Sungguh kisah cinta segitiga yang membagongkan, pikirnya. Lalu ia pun pergi dari meja kerjanya.
"Pak Pol, kok malah pergi juga?? ihhh pada nyebelin semua!!" Bobi menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal.
Sementara itu, Andra masih berusaha mengejar Bulan.
"Bulan. Tunggu."
Ia berhasil menahan tangan gadis itu, namun dengan cepat Bulan menepisnya.
Bulan menatap Andra dingin. Memikirkan bagaimana bisa lelaki ini memiliki dua kepribadian, membuat Bulan ingin muntah. Bisa-bisanya dia mengatakan cinta, lalu menjanjikan hal lain pada Bobi.
"Aku ga mau nikah sama kamu." Dagu Bulan naik, matanya menyorot tajam pada Andra yang lebih tinggi darinya.
"Iya. Aku tahu. Aku ngerti, Bulan. Aku juga baru denger ini dari mama makanya aku balik dari Jakarta. Bisa dengerin aku, sebentar aja. Please..."
Bulan cukup lama berpikir hingga akhirnya menurut. Tak jauh dari kantor polisi, Bulan dan Andra duduk disebuah bangku taman yang menghadap air terjun kecil. Mereka diam beberapa menit, sebelum akhirnya Andra yang angkat bicara duluan.
"Sori ya, aku emang dateng ke mama kamu buat jelasin masalah kita. Waktu itu, aku jujur, kalau aku mencintai kamu, Bulan. Setelah itu mama kamu ngubungin mama aku dan bilang untuk lanjutin aja pernikahan kita. Terus terang, sebenarnya aku senang. Tapi aku juga sadar, kalo aku ga bisa paksain kamu."
Tidak ada jawaban dari Bulan, Andra mencondongkan tubuhnya menghadap gadis itu. "Aku beneran ga punya kesempatan?"
Suara lembut Andra membuat Bulan menoleh, menatap lekat lelaki itu, lalu menggelengkan kepala tanda dia menolak.
Terdengar helaan napas, setelahnya Andra tersenyum. "Aku tahulah, ngga mungkin kamu mau sama aku yang udah pernah salah jalan. Kamu pasti trauma dan takut kalau suatu hari aku balik lagi."
"Bukannya 'masih', ya." Gumam Bulan pelan.
"Enggak, Bulan. Sumpah. Tadi itu, aku cuma bujuk Bobi supaya dia mau batalin laporannya." Sanggah Andra cepat.
"Makasih." Bulan menoleh, "Makasih banyak, tapi kalau bisa kita ga usah ketemu lagi. Untuk besok, aku harap kakak bisa ngomong yang bener ke mama. Supaya dia ngga marah sama aku yang nolak pernikahan itu. Aku yakin kalau dari kakak, Mama ngga akan marah."
Andra menyandarkan punggungnya, diam sesaat karena ini juga berat untuknya. Terus terang, dia senang saat diminta kembali melanjutkan apa yang telah batal itu.
"Kenapa? Kakak ga mau, ya."
"Mau, kok." Jawab pria itu. "Aku akan bilang ke tante soal rencana pernikahan kita yang harus batal. Tapi soal ngga ketemu, aku ga bisa." Andra mengacak pelan rambut Bulan. "Emang kita ga bisa jadi temen aja, ya? Atau adek kakak, mungkin?"
Bulan melirik Andra. Tangan pria itu masih lengket di kepalanya.
"Kenapa, sih? Kita udah saling kenal lama, kan. Masa hancur gitu, aja? Padahal kamu udah jatuh cinta sama pria lain."
Pria lain, Bulan jadi teringat Biru. Wajahnya masam seketika.
"Lho. Kenapa?"
"Dia sepupuku."
Andra menarik tangannya dari kepala Bulan. "Serius? Tapi kok, Kaya bukan sepupu. Malah kaya pacarmu."
"Emang." Akhirnya Bulan bercerita, bagaimana hubungannya dengan Biru yang rumit terlebih orang tua Biru melarang mereka karena gadis itu dianggap buruk, sampai tak sadar air mata Bulan menetes saat teringat lagi semua ucapan-ucapan Cakra yang menyinggung perasaannya.
Mendengarnya pun membuat Andra menghela napas. "Bapaknya belum tahu aja, kamu itu sebenarnya kaya apa."
"Justru karena dia tahu aku kaya gini, kak. Apalagi saingan aku berat. Lulusan S2 LN."
Andra menariknya dalam pelukan, "Kamu itu baik, Bulan. Perhatian sama sekeliling, apalagi kalau sama orang yang disayang." Ungkap Andra yang mengenal bagaimana Bulan selama bersamanya. Memorinya tersambung pada masa-masa mereka dulu. Ia pun mengelus surai gadis itu.
"Lagian, kamu pernah bilang, soal hati kan, ngga butuh status. Ya, kan? Yang penting sih, cowoknya. Dia pasti perjuangin kamu, lah." Lanjut Andra.
Bulan diam dipelukan mantan kekasihnya, mendengarkan semua nasehatnya. Memang sejak pacaran, Andra sudah begitu. Menjadi orang yang tepat untuk diajak curhat.
Andra menepuk-nepuk pelan punggung Bulan. "Kita makan dulu, yuk. Kamu kan, kalau laper suka rese. Kita makan steak ayam di resto kesukaan kamu aja, gimana?"
Bulan tertawa, melepas pelukan dan menghapus air matanya. Dia mengikuti Andra masuk ke dalam mobil hingga berhenti di sebuah resto kesukaannya.
"Bentar, ya. Aku ke toilet."
Bulan mengangguki Andra, lalu duduk dan menatap deretan menu makanan yang menggugah selera.
Andra benar soal dirinya. Bulan memang kerap sulit mengendalikan emosi jika sedang lapar. Dan baiknya, Andra membawanya ke resto yang menjadi favoritnya sejak dulu.
Suara kursi ditarik, membuat Bulan tahu kalau Andra sudah kembali.
"Kakak pesan a..." Kalimatnya terhenti. Mata Bulan membulat sempurna mendapati siapa yang duduk disampingnya.
"K-kak.. Biru?"
Biru menyeringai. "Jadi ini, maksud kamu gak mau diganggu?"
To Be Continued...
Semangat terus berkarya yaa💪💪
Semoga cerita Elian si Manusia Serigala juga dilanjut yaaa 🙏🙏
ada lagi keegoisan hanya untuk mencapai suatu tujuan
sehingga tidak ada perasaan yang tersakiti😉
🌼🌻🌸🌷🌹 untuk kak author 😉
makasih kak untuk up nya
blm baca otw kasih hadiah kopi buat kamuuu,,, ahh senangnyaaa jgn hilang lg ya peenn🥹