Jika sebelumnya kisah tentang orang miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya raya hanyalah dongeng semata buat Anna, kali ini tidak. Anna hidup bersama nenek nya di sebuah desa di pinggir kota kecil. Hidupnya yang tenang berubah drastis saat sebuah mobil mewah tiba-tiba muncul di halaman rumahnya. Rahasia masa lalu terbuka, membawa Anna pada dunia kekuasaan, warisan, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua Akan Berjalan Sesuai Rencana
Anna menatap kepergian Tony, seakan pria itu membawa semua asa yang ada. Anna seperti hopeless.
“Ehm.” William berdeham.
Anna menahan nafas. Berdua saja dengan pria beraura kuat itu membuat bulu kuduk Anna merinding.
“Lama-lama nahan nafas begitu, bukannya sembuh malah hidupmu akan berakhir!” desis William yang sekarang duduk di kursi tempat duduk Tony tadi.
Puuah. Anna melepas nafasnya yang tertahan. “Bapak tidak kembali ke tempat acara?” Anna menatap bola mata hazel pria itu. Berada sedekat ini, Anna dapat melihat bulu mata lentik yang membingkai kelopak mata tajam milik William. Perutnya bergolak.
William melepas tatapan mereka yang sempat terkunci, lalu mengeluarkan ponselnya dari kantong. “Tidak,” jawabnya pendek, lalu menyodorkan layar ponselnya ke arah Anna.
Anna menerima ponsel itu, dan sedikit tersentak saat ujung jarinya sempat bersentuhan dengan jari William.
Sebuah gambar hitam putih terlihat di layar ponsel.
“Ada sedikit retakan pada tulang di bawah lutut ini!” ujung telunjuk William yang ramping menunjuk sebuah garis putih seperti petir pada gambar tulang kering (tibia) kaki Anna. "Menurut dokter ini retakan rambut."
Pantas sakitnya masih terasa, meski sudah dapat obat penghilang sakit, pikir Anna. Anna mengangguk. Ingin bertanya sesuatu, namun mulutnya masih terasa terkunci.
“Sementara lenganmu,” William menggeser layar sehingga sekarang terlihat tampilan hasil rontgen lengan Anna. “Tidak ada masalah dengan tulang, hanya luka lecet.”
Anna tidak dapat berkonsentrasi. Meski matanya menatap layar ponsel, otaknya sibuk dengan urusan kelistrikan akibat tubuh William yang sedang berdiri di dekatnya. Hembusan nafas pria itu, terasa di ubun-ubun Anna. Hidungnya diserbu oleh wangi parfum maskulin nya.
“Ehm. Pak William … saya mengerti.” Anna menyerahkan ponsel itu kembali ke tangan William.
William menyimpan ponselnya ke dalam kantong celana lalu duduk di kursi.
“Kakimu sudah dipasang gips oleh dokter.” William kembali memecah keheningan yang sempat terjadi. Pria itu membuka sedikit selimut yang menutupi kaki Anna. Tidak hanya ingin memperlihatkan kepada Anna, namun ia juga ingin memastikan kembali bahwa kaki itu memang telah mendapatkan perawatan yang semestinya.
Anna mengangguk. Tidak tahu harus bicara apa lagi. Pantas rasanya kakinya menjadi berat sekali dan panas. Tapi sekarang bukan perkara kaki lagi, namun perkara keberadaan William di sini.
“Sementara, kamu bisa menggunakan tongkat untuk berjalan.” sambung William lagi.
Anna menyadari William juga cukup berusaha agar mereka bisa membahas sesuatu, sehingga mengurangi momen awkward di antara mereka.
“Eum. Pak William.” Anna mencari kalimat yang cocok untuk disampaikan. Tadi ia sudah mengusir William secara halus dengan bertanya apa pria itu tidak perlu kembali ke acara, dan sepertinya William tidak akan pergi dari ruang perawatan Anna itu.
“Ya?” William mengangkat sebelah alisnya.
Aku ingin ditinggal sendiri! Anna hanya bisa berkata dalam hati. Ia tidak bisa menatap lagi pria itu. “Sepertinya saya ngantuk. Bisa aturkan posisi tempat tidurnya?” Ah, mungkin kalau gue pura-pura tidur, Pak William bakal pergi, pikir Anna.
William mengangguk. Ia memencet tombol pengatur hingga bagian atas tempat tidur itu turun dan kembali sejajar dengan bagian bawahnya.
Anna menggeser bantal, lalu menarik selimut dengan tangan nya yang tidak terpasang infus menutup wajahnya.
“Tidurlah!” terdengar suara William, lalu langkah kaki pria itu menjauh.
Anna menunggu sebentar di dalam selimut, lalu mengintip. William tampak mengambil posisi rebahan di sofa, menjulurkan kakinya yang panjang dengan sepatu olahraga yang masih terpasang. Sebuah bantal kecil diletakkan dibawah bahunya sementara kepalanya di lengan sofa. Kedua tangan William dilipat di atas dada, lalu tampak pria itu juga memejamkan mata.
Huft. Anna melepas nafas lega. Ia pun mengambil posisi miring membelakangi William lalu merasakan matanya benar-benar mulai terasa berat dan akhirnya tertidur.
***
William terbangun saat getaran ponsel terasa di kantong celananya. Sejenak, ia menatap langit-langit yang terasa asing hingga seluruh ingatan nya kembali pulih.
Perlahan lelaki itu bangkit dan melihat pasien yang ditunggui nya masih tertidur tenang.
William mengeluarkan ponsel, dan melihat itu panggilan dari Adi Wijaya.
Ia pun keluar menuju balkon kamar dan menutup pintu di belakang nya.
Udara malam menyapu wajah William. Ia memilih bersandar di dinding balkon sambil mengangkat panggilan telepon itu.
“Ya?!” suara William terdengar serak
“Bagaimana keadaan anak itu?” suara cemas Adi Wijaya terdengar dari seberang telepon. “Kenapa suaramu serak begitu?”
William membingkai senyum yang tentu saja tidak dapat dilihat oleh Adi Wijaya. Terdengar helaan nafas William.
“Tidak begitu parah. Hanya retak kecil!” jelas William “Dan, ya. Suara ini karena baru bangun tidur.”
“Huft. Syukurlah!” Adi Wijaya terdengar lega.
William mengangguk. “Aku tahu kakek mau mengunjunginya. Tapi sebaiknya tidak usah!”
“...,” Adi Wijaya tidak bisa berkata apa-apa. Ucapan William sangat benar. Bagaimana ia tidak cemas. Anna adalah pewaris sah Wijaya Group. Ia tidak siap untuk kehilangan lagi. “Aku mengerti,” ucap Adi Wijaya lemah.
“Jangan lebay begitu. Ini hanya kecelakaan kecil. Tidak ada yang meninggal karena terjatuh saat lari!” William menskak Adi Wijaya.
“Ya. Ya. Ya. Aku titip Anna kepadamu, Wil!”
William melepaskan pandangan ke arah lampu kota yang berkerlip mengalahkan cahaya bintang. “Ya. Jangan khawatir! Semua akan berjalan sesuai rencana!”
"Baiklah! Aku percayakan semua kepadamu, Wil."
Tuut.
William menutup telepon.
Beberapa hari lalu saat ia makan malam di tempat Adi Wijaya, lelaki tua itu menyampaikan ide gila untuk membuat William dan Anna memiliki waktu untuk melakukan pendekatan. Dan entah mengapa, William menyetujui ide gila Adi Wijaya itu.
Akhirnya Adi Wijaya dan William merancang acara undian itu. Undian yang tentu saja telah diatur sedemikian rupa agar Anna lah yang menjadi pemenangnya.
Sekarang. William merasa ini adalah takdir. Jika bukan karena undian itu, akan aneh jika ia tiba-tiba sangat peduli dengan seorang karyawan baru yang mengalami kecelakaan.
Agung dan Wirautama akan curiga jika tiba-tiba seorang Direktur Utama Wijaya Group turun tangan menemani salah satu karyawan yang sakit di Rumah Sakit.
Hhhhh!
William melepas nafas, lalu masuk kembali ke kamar rawatan dan seketika membelalak. Terkejut. “Apa-apaan ini?!” seru William.
***