Diana, dia adalah seorang ibu muda beranak satu. Istri yang sangat patuh pada suaminya dan juga memiliki cinta yang besar pada keluarga kecilnya. Tak pernah terbayangkan olehnya, jika sang suami yang terkesan pendiam dan hanya mau berinteraksi pada orang yang telah di kenal bahkan mampu menduakan cintanya.
Diana seorang yatim piyatu, dan hanya memiliki seorang kakak perempuan. Disitulah kesulitan yang akan ia hadapi sendiri, tak ada tempat pengaduan ketika ada luka di hatinya.
Akan kah kisah cintanya dalam berumah tangga bisa bertahan setelah di duakan? Tentu, karena Diana hidup mempunyai prinsip dan juga kepercayaan. Wanita pintar tidak akan kalah pada wanita penggoda.
Dan cerita ini asli karangan author semata, hanya saja sudah sering terjadi di linkungan hidup sekitar kita. Mari simak cerita manarik ini, yang mampu membuat hati tersentuh di setiap pembacanya.
No penjiplakan dan copy paste ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sellamanis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Pagi ini Diana menjalankan aktivitasnya tanpa semangat. Mungkin karena tidak ada Alif disini. Bahkan untuk memasak pun ia sangat enggan.
Ia kembali membeli sarapan di warung mak Ros. Yang memang masakkannya enak, lidah kan tidak bisa dibohongi. Sepanjang jalan menuju warung Diana menebar senyum setiap bertemu warga disana. Itu juga salah satu sopan santun kan?
Diana berhenti di depan salah satu rumah warga disana, Ia menelan salivahnya. Melihat mangga muda menggantung ke arah parit.
Kenapa aku sangat ingin makan mangga itu. Oh ya ampun. Bagaimana kalau yang punya ternyata pelit.
Cukup lama ia memandang mangga muda itu, namun ia tak sadar akan ada yang memperhatikannya sejak tadi.
"Kak? Sedang apa? Kepengen mangga itu ya?"
Tanya seorang pemuda yang mungkin masih berstatus lajang. Tinggi, putih dan tubuhnya juga kekar. Tampan, ya hanya itu yang Diana pikirkan.
Kenapa aku tidak pernah melihat pemuda ini ya.
"Kak?" Tegurnya lagi.
"Eh iya? Enggak, cuma kok hanya pengen aja hehe."
Diana kikuk, malu ternyata ada yang melihatnya mengamati mangga.
"Oh. Kalau mau bisa Rama ambilkan kok kak."
Oh Rama toh namanya, sama seperti orangnya, ramah.
"Enggak usah, saya hanya melihat aja kok, tadi cuma lewat aja, mau kesana beli sarapan, permisi."
Duh kenapa enggak aku bilang aja kalau aku sangat ingin, ah tapi aku malu.
Diana pun melanjutkan perjalanan ke warung.
Siapa wanita itu, kenapa imut sekali? Bukankah warga disini tidak ada yang sepertinya. Ah aku ambilkan saja kali ya, nanti kalau lewat aku kasih.
...***...
"Mak Ros, Ana mau satu bungkus nasi uduk ya."
Ternyata sepagi ini juga sudah ramai di warung, ada beberapa warga yang sarapan disana.
Mereka menatap Diana dengan tatapan penuh tanya.
"Orang baru ya neng?" Tanya salah seorang lelaki paruh baya.
"Iya pak." Jawabnya ramah.
"Oh. Sendirian aja neng, biasa sama anaknya. Tapi saya enggak pernah liat suaminya."
Tanya salah seorang ibu-ibu.
Diana gugup akan menjawabnya.
"Suami saya kerja Bu di luar kota."
Tetap tersenyum.
"Udah jangan banyak tanya, nih na nasinya."
Potong Mak Ros ketika yang lain akan bertanya lagi.
"Iya makasih ya Mak, mari Ana permisi."
"Oh Ana namanya."
Jawab seorang lelaki tadi yang bertanya.
Diana hanya membalas dengan senyuman lalu mengambil seribu langkah dari sana. Rasanya risih jika di tatap seperti itu.
Ia berjalan tertunduk, rasanya sudah malas untuk terlalu ramah disini. Apalagi jika tau ia sebenarnya berpisah dengan suami, makin buruk saja pasti pikiran warga desa.
Saat akan menyantap nasi uduk yang ia beli, ada suara ketukan pintu rumahnya. Terdengar suara orang lelaki memanggil.
Siapa ya? Apa salah satu orang yang di warung tadi.
"Iya sebentar."
Diana membukakan pintu dan melihat mangga muda yang ia inginkan tadi, juga beralih melihat wajah orang yang tentu membawakan mangga itu.
"Kamu? Kenapa tau saya tinggal disini?"
"Ya ampun kak, tadi Rama nunggu kakak lewat mau kasih mangga ini, sekalinya kakak lewat dipanggil kok nunduk aja. Jadi Rama ikutin sampai ke rumah."
"Oh maaf ya, hehe tadi enggak dengar. Lagian kenapa repot-repot segala begini."
"Enggak apa-apa kak. Boleh duduk disini?"
Tunjuknya di kursi teras.
Diana ragu akan memberi atau tidak, pasalnya segan jika tak memberi ijin. Tapi jika di beri ijin untuk duduk pastilah Diana akan ikut menemani, takut ada yang menggunjing. Soalnya kan masih pagi.
"Ah lama, Rama duduk aja deh, pegel abis manjat pohon mangga."
"Maaf ya, jadi nyusahin."
"Santai aja kak, nama kakak siapa?"
"Oh iya, nama saya Diana, biasa di panggil Ana."
"Jangan terlalu formal begitu kak, pakai saya saya segala."
Diana tersenyum lagi.
"Tinggal disini sama siapa kak? Ibunya?"
"Enggak sama anak, cuma lagi di bawa kakak ke rumahnya."
"Sama anak aja?"
"Iya."
Eh pasti dia mengira dan akan bertanya suamiku kemana.
"Oh gitu."
Rama terdiam dan menyerahkan mangga itu ke Diana.
Kenapa dia tidak bertanya kemana suamiku?
"Rama aku ambilkan minum sebentar ya."
"Iya kak, enggak usah repot-repot. Bawa aja semua yang ada hehe."
Diana hanya geleng-geleng dan berjalan ke dalam rumah untuk mengambil segelas air putih.
Kembali duduk dan meletakkan gelas di meja.
"Kamu disini tapi enggak pernah liat sebelumnya."
"Oh aku baru pulang kak, nyelesaikan kerjaan di kota."
"Jangan panggil kakak, umur kamu emangnya berapa?"
"Oh aku 27tahun kak."
"Nah kan, aku masih 25. Seharusnya aku yang manggil kamu Abang."
Terang Diana, tanpa sadar ia tertawa kecil. Kali ini tidak dengan paksaan.
Rama memandang Diana tertawa seperti itu kagum.
Aku tau kamu banyak masalah. Tapi kenapa wajahmu manis sekali ketika tertawa. Jadi gemesh.
"Belum menikah Rama?"
Ternyata Rama melamun memandang wajah Diana. Diana menjadi salah tingkah sendiri.
"Rama?" Panggil nya membuyarkan lamunan Rama.
"Eh iya kak?"
"Kok kakak lagi sih, tadi aku nanya kamu udah menikah?"
"Maaf-maaf." Aduh aku yang gugup terlihat konyol jadinya. "Belum na, masih perjaka tingting."
"Oh gitu ya."
Asli pemuda ini bahkan tidak menanyakan statusku saat ini. Diana.
Rasanya ingin sekali aku bertanya lebih jauh, tapi takut di bilang kepo. Ah nanti-nanti saja lah aku tanyakan. Rama.
"Na, kamu mau sarapan ya? Kalau gitu aku permisi ya."
"Iya makasih banyak ya ma mangganya."
"Iya santai, sama-sama. Lain kali aku boleh main kesini ya kalau anakmu sudah pulang, soalnya aku suka anak kecil."
Diana mengangguk, karena ia juga tidak tau harus menjawab apa. Pasalnya senang mempunyai teman disini, jika menolak bukankah itu munafik, hati dan mulut tidak sama.
Ia kembali ke dalam dan memakan nasi uduk yang sempat tertunda tadi. Ia makan dan terus mengelus perutnya yang masih rata.
Baik-baik kamu ya nak di dalam. Insyaallah kita enggak akan kekurangan nutrisi.
...***...
"Hallo kak, Assalamualaikum."
"(Ya na, walaikumsalam)."
"Alif mana kak?"
"(Lagi keluar bentar sama mas Anton, jalan-jalan)."
"Oh ya udah, nanti kalau udah pulang kakak Video call Ana ya?"
"(Iya na)."
...***...
Bagas tertidur pulas, setelah sekian lama sangat susah tidur karena terus memikirkan istri dan anaknya. Walupun ia hanya berjumpa Alif dengan hitungan jam, itu sudah mampu mengobati rindunya dan juga membuat staminanya sedikit kembali.
jam menunjukkan pukul 9 malam. Namun terdengar suara ketukan pintu terus-menerus. Bagas menggeliat, mencoba mengumpulkan nyawanya kembali, ia segera bangkit menuju pintu rumah untuk melihat siapa yang datang.
"Mas."
Ucapnya Risah dengan wajah sendu.
"Ngapain kamu kesini?"
"Mas, aku istrimu. Tapi kamu tidak pernah datang untuk melihat keadaan ku. Bahkan di kantor kamu selalu menghindar. Beginikah yang akan kuraskan setelah menikah denganmu?"
"Kamu bicara apa sih sah?"
"Mas ku mohon, mengertilah. Anakmu ini ingin dekat denganmu."
"Pergilah, aku sangat ngantuk dan ingin beristirahat."
Risah meneteskan air matanya. Dan dia pun berbalik badan melangkah pergi. Saat baru beberapa langkah berjalan, Bagas memanggilnya dan mempersilahkan untuk masuk.
Aku juga tak tega mengusirnya dalam keadaan hamil seperti ini.
Akhirnya Risah menginap. Satu kamar, namun Bagas memilih tidur di bawah dengan beralaskan karpet. Untunglah besok weekend jadi tidak bekerja.
Pagi hari Bagas terbangun lebih dulu dari Risah. Ia melihat jam dinding.
Ah sudah jam 6 kurang. Masih sempat lah untuk sholat subuh.
Ia bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dan segera melaksanakan kewajibannya. Hingga ia selesai sholat, Risah juga belum bangun. Tapi Bagas acuh tak menghiraukan.
Ia berjalan ke dapur akan membuat sarapan, yang ia bisa hanya beberapa masakan saja. Yang paling ahli ya nasi goreng. Risah menggeliat, tercium aroma bawang goreng yang menggugah seleranya. Ia pun mencari Bagas, tidak ada di sampingnya, dan melihat ada selimut dan bantal yang tergeletak di bawah.
Ternyata kamu tidur di bawah semalam ya mas. Segitu bencinya kamu sama aku.
Risah berjalan ke luar menuju dapur. Melihat siapa yang memasak, dan ternyata Bagas. Bagas hanya melirik sekilas dan melanjutkan masaknya yang sudah hampir selesai.
"Seharusnya kamu yang bangun lebih dulu dan menyiapkan sarapan, apakah kamu setiap hari seperti ini? Huh untunglah kita tidak satu rumah. Kalau saja ada Diana, aku bahkan tidak pernah menyentuh kuali."
"Jangan bandingkan aku dengan istri sempurna mu mas."
Bagas diam tidak menjawab lagi. Rasanya sudah malas untuk berdebat.
Bahkan kali ini yang menyiapkan makanan beserta piring di meja pun Bagas. Risah hanya duduk diam tanpa merasa bersalah.
Mereka makan dalam diam. Ketika sudah selesai makan, Risah hendak bangkit untuk membereskan piring bekas mereka makan. Namun Bagas melarangnya.
"Udah enggak usah, biar aku aja. Bukankah hal ini memang tidak pernah kamu lakukan? Kamu bersiap saja, aku mau mandi setelah itu aku antar kamu pulang."
"Mas, bisa tidak sih, bersikap baik sedikit saja sama aku mas. Aku lagi hamil anak kamu mas."
"Cukup, jangan bicara lagi. Sekarang aku tanya, kamu ada hubungan apa dengan pak Darma? Jangan-jangan anak itu adalah anaknya."
Risah tercekat dengan pertanyaan yang Bagas berikan.
Kenapa dia bisa bicara begitu.
"Kenapa? Iyakan? Tunggu aja waktu yang tepat aku bisa nuntut kamu, hingga bayi itu lahir, bahkan sebelum pun aku bisa buktikan."
"Mas!!" Bentak Risah, Bagas acuh dan berjalan ke belakang membawa piring kotornya.
Kini tiba ia mengantarkan Risah pulang. Bahkan ia hanya mengantar Risah sampai di depan Gang rumahnya saja, tidak turun apalagi mampir. Risah hanya pasrah dengan semua perlakuan Bagas, toh memang ini pilihannya dan memang salahnya yang nekat.
Sekarang Bagas lebih giat bekerja, dan juga melihat dan memantau Risah dari jarak jauh, untuk membuktikan kalau memang itu bukanlah anaknya.
Karena Alif belum di pulangkan ke ibunya, Bagas lebih sering datang ke rumah Anton untuk melihat anaknya. Dan untungnya sang tuan rumah selalu memberi ijin, karena memang itu adalah haknya. Hanya saja saat ini masalah masih menimpanya.
Bersambung...
fight dong tp dgn elegan
suami dah celup msh ditrima
ah sungguh egois lelaki
Rama tersirat ada kejahatan dibalik kebaikannya selama ini
cari masalah aja sih