Novel ini adalah musim ke 3 dari kisah cinta beda usia antara Pram dan Kailla.
- Istri Kecil Sang Presdir ( season 1 )
Pernikahan karena perjodohan antara Pram dan Kailla. Rumah tangga yang diwarnai
dengan konflik ringan karena tidak hanya karakter tetapi juga umur keduanya berbeda jauh. Perjuangan Pram, sebagai seorang suami untuk meraih cinta istrinya. Rumah tangga mereka berakhir dengan keguguran Kailla.
- Istri Sang Presdir ( season 2 )
Kehadiran mama Pram yang tiba-tiba muncul, mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Konflik antara menantu dan mertua, kehadiran orang ketiga, ada banyak kehilangan yang membentuk karakter Kailla yang manja menjadi lebih dewasa. Akhir dari season 2 adalah kelahiran bayi kembar Pram dan Kailla.
Season ketiga adalah perjalanan rumah tangga Pram dan Kailla bersama kedua bayi kembar mereka. Ada orang-orang dari masa lalu yang juga ikut menguji kekuatan cinta mereka. Pram dengan dewasa dan kematangannya. Kailla dengan kemanjaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pram & Kailla 32
18.02. Kai, kamu di mana?
18.05. Sayang, kamu baik-baik saja?
18.30. Sayang, aku pulang terlambat. Aku harus menemui pengacara Bayu.
18.45. Sayang?
19.02. Sayang ...
19.30. Kai, kamu di mana? Kenapa teleponku tidak diangkat?
20.00. Kai?
20.15. Kai, kamu baik-baik saja? Kenapa pesanku tidak dibaca? Panggilanku tidak diterima?
21.00. Kai, kamu sudah tidur? Apa semua baik-baik saja? Anak-anak apa kabar?
21.02. Aku merindukan kalian. Love you, Kai.
Ada belasan panggilan tidak terjawab dan pesan di aplikasi hijau yang dikirimkan Pram. Semuanya berstatus centang dua berwarna abu-abu. Pria matang itu diselimuti resah berkepanjangan. Bahkan konsentrasinya pecah, ia tidak bisa menyerap semua penjelasan pengacaranya. Penantian terasa panjang di dalam kekhawatiran, diam-diam menunggu belasan pesannya bercentang biru di tengah obrolannya.
"Kamu di mana, Kai. Kenapa tidak membaca pesanku." Berbisik lirih dalam hati.
***
Malam semakin pekat, Kailla terbangun saat merasa dadanya berdenyut nyeri dan mengeras. Ia tertidur sejak sore, bahkan melewatkan makan malamnya. Tubuhnya sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Pertengkaran dengan Ibu Citra membuat kepala Kailla sakit. Walau mertuanya itu datang dan meminta maaf, tetap saja tidak semudah itu untuk Kailla melupakan semuanya. Kata-kata yang terlanjur keluar dari bibir mertuanya begitu menyakitkan, bahkan permintaan maaf berulang Ibu Citra tidak sanggup menyembuhkan luka yang telah ditoreh begitu dalam.
Ia juga ingin mencoba berdamai seperti yang diminta Pram, tetapi pada pelaksanaannya tidak semudah melontarkan kata dan mengangguk setuju. Tetap saja sakit hati menggerogoti. Namun, ia berjuang untuk berdamai dengan semua. Bagaimana pun, perempuan lawannya tak lain adalah mertuanya sendiri, ibu dari suaminya. Mau membangun tembok setinggi apa pun, ia sadar posisinya di mana. Kailla hanya bisa menelan sakit itu sendiri demi kebaikan semua orang. Berharap, perlahan-lahan waktu akan mengikis semua luka dan menyembuhkan semua pedih dengan sendirinya.
"Jam berapa sekarang?" Kailla memijat pelipis, dunia berputar saat memaksa tubuhnya bangkit dan duduk.
Deg--
"Sudah jam sepuluh malam. Pram belum pulang ..." Kailla merebahkan tubuhnya kembali. Ia merasa tidak enak badan. Semuanya sakit dan terasa panas.
"Si kembar tidak mencari ASI-nya ...." Kailla heran. Pengasuh tidak membangunkannya dan duo kembar pun tidak menangis mencarinya. Mata Kailla kembali terpejam.
Setengah jam kemudian, samar-samar pendengaran Kailla menangkap suara pintu terbuka dan derap langkah teratur mendekat. Mata Kailla enggan membuka meski ia bisa menangkap suara familiar menyapanya. Suara maskulin lelakinya, suami sekaligus ayah dari anak-anaknya tepat di sisi telinga.
"Kai, kamu sudah tidur, Sayang?" Pram membuka kancing kemeja dan melepas pakaian kerja yang sudah melekat di kulit tubuhnya seharian.
Lelah memeluk tubuh atletis di usia menuju setengah abad, kantuk pun membuat mata Pram meredup. Ingin rasanya meluruskan tubuh dan memejamkan mata secepatnya. Kalau tak ingat tubuh berkeringatnya bercampur debu, sudah bisa dipastikan ia akan menyusul Kailla. Sorot mata pria itu sendu, memandang punggung Kailla yang membelakanginya.
***
Waktu sudah menunjukan pukul 02.15 dini hari saat Pram terbangun dari lelapnya. Kedua putranya menjerit dari kamar sebelah. Suara tangis Bentley dan Kentley begitu memekakan telinga, menyampaikan protes yang tidak bisa diucapkan di tengah malam buta.
"Kailla ...." Pram melompat turun, setelah menghempas kasar selimut yang menutupinya.
Jantung pria dengan kaus katun dan celana pendek itu bergemuruh saat mendapati kedua putranya menangis bersamaan. Kentley menjerit di tempat tidurnya dan Bentley menangis di dalam dekapan Kailla.
Pram menangkap ada sesuatu yang salah. Bentley tengah disusui tetapi bayi itu mengecap sebentar dan berteriak sambil menggelengkan kepalanya.
"Apa yang terjadi, Kai?" tanya Pram, mendekap Kentley di dadanya. Ia tengah berusaha menenangkan anak bungsunya agar suara jerit si kembar tidak mengusik tidur seisi rumah.
Kailla menggeleng, ia juga bingung. Dadanya bengkak dan terasa panas, tetapi anaknya tidak mau menyedot seperti biasa. Bentley hanya mengisap dua-tiga kali dan setelah itu mengamuk dengan kepala bergerak ke kiri dan kanan.
"Sayang, tolong. Biarkan aku menyusui Kentley saja. Berharap reaksi anak keduanya berbeda.
Namun, sama saja. Kentley juga melakukan hal yang sama.
"Apa ASI-nya tidak keluar, Kai?" tanya Pram.
Deg--
Kailla tersadar, mencoba meremasnya. Dan benar saja, biasanya akan banyak yang tertumpah keluar dan sekarang hanya setitik kecil.
"Ya Tuhan ... apa yang terjadi?" Kailla sudah ingin menangis, bergabung dengan kedua putranya. Ia membantu meremas gundukan kembarnya yang berdenyut, nyeri dan mengencang. Hasilnya tetap sama. Terlalu kesal, ia sampai membuat kulit dadanya memerah.
"Berikan Kentley padaku. Aku akan membawa keduanya pada pengasuh. Biarkan anak-anak minum dari stok yang di freezer saja, Kai." Pram mulai panik saat melihat Kailla menangis.
Pria itu masih sempat berpesan pada Kailla sebelum melangkah keluar dari kamar dengan menggendong Bentley di kanan dan Kentley di kiri tubuhnya.
"Jangan ditekan-tekan. Biarkan saja, Kai. Aku mengurus anak-anak dulu." Pram keluar kamar dengan tergesa-gesa. Ia harus menyerahkan keduanya pada pengasuh bayi, dan kembali mengurus Kailla.
***
Sayang, jangan diremas-remas. Itu sudah bengkak semua." Pram kembali setelah menitipkan anak-anaknya. Wajah berhias panik itu semakin cemas saat melihat dada Kailla yang bengkak dan memerah.
"Dipompa juga keluarnya cuma setetes, Sayang. Tidak mengucur seperti biasanya," adu Kailla, masih berjuang. Air matanya berderai mendapati kenyataan ini. Ia memang bukanlah perempuan keibuan dan lemah lembut, tetapi dihadapi dengan situasi seperti ini, Kailla jadi sedih. Lebih berat dibandingkan kehilangan tas mahalnya.
"Ssstt ...." Pram berjongkok di depan Kailla. Ia melihat sendiri cairan yang biasanya mengucur layaknya air pancuran sekarang sedang kekeringan. Direbutnya pompa ASI dari tangan istrinya, dipeluknya Kailla dengan erat.
"Jangan diteruskan. Malah akan semakin bengkak. Tenangkan dirimu, Kai. Semua pasti baik-baik saja," hibur Pram, menenangkan Kailla sembari mengusap air mata yang turun membasahi pipi istrinya.
"Kalau tidak keluar lagi ... bagaimana? Anak-anakku harus minum apa ...." Tangis Kailla terdengar kencang, ia mengabaikan rasa sakit dan nyeri di dada yang dirasakannya saat ini.
"Ssstt, jangan dipikirkan, Sayang. Badanmu panas, Kai. Sepertinya kamu sakit. Kembali ke kamar kita, ya." Tanpa bertanya, Pram menyelipkan kedua tangannya di balik punggung Kailla dan menggendong istrinya.
Pram diserang rasa bersalah, saat melihat tangis Kailla tidak mau mereda. Masih saja meremas gundukan dada yang membengkak. Beberapa hari ini, ia terlalu sibuk dan mengabaikan Kailla. Bahkan membiarkan istrinya melewati hari-hari sendirian.
Bersimpuh di sisi tempat tidur, ia masih berusaha memeluk Kailla dan menenangkan.
"Bagaimana ini, Sayang?" Kailla bertanya dengan suara bergetar.
"Sudah-sudah, jangan diremas lagi. Nanti tambah bengkak. Jangan menangis lagi. Aku akan mengompresnya dengan air hangat." Pram menenangkan.
Tak lama, ia sudah kembali dengan handuk basah dan mengompresnya. "Sakit?" tanya Pram dengan lembut.
Kailla diam. Mata indahnya masih basah oleh air mata. "Bagaimana kalau ASI-nya tidak keluar lagi. Bagaimana dengan anak-anakku?" tanya Kailla berlinang air mata.
"Jangan dipikirkan. Pasti baik-baik saja, Kai." Pram tersenyum, duduk di samping Kailla.
"Tapi, Sayang. Kalau sampai ...."
"Sstt ... kalau tidak bisa, anak-anak bisa minum susu sapi." Pram mencoba tersenyum, menyembunyikan keresahannya. Kalau Kailla takut anak-anaknya tidak bisa menyusui lagi, Pram lebih takut kalau terjadi sesuatu pada Kailla. Melihat gundukan kembar yang bengkak dan mengeras, Pram jadi khawatir.
"Ini sakit, Sayang?" tanya Pram pelan, sembari mengusap pelan.
"Hmm," gumam Kailla. Berbaring dengan wajah manja menggemaskannya, ia menatap sedih sang suami.
"Sudah, tidak apa-apa. Badanmu juga panas. Nanti, kita ke dokter untuk memastikannya." Pram menyunggingkan senyuman.
"Apa karena beberapa hari ini ... aku tidak teratur menyusui si kembar, bahkan ini sudah hampir seharian aku tidak menyusui mereka. Aku juga tidak rutin memompa seperti biasa," adu Kailla, sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Pram.
Tersentak, Pram kembali dihantam rasa bersalah. Beberapa hari ini, ia sibuk dengan urusannya sendiri.
"Apa yang terjadi? Apa yang kamu pikirkan? Kamu sedang menyusui, tidak boleh berpikir terlalu berat, tidak boleh stress, Sayang." Menatap lekat, sembari mengusap rambut panjang Kailla yang tergerai berantakan.
Ditanya seperti itu, Kailla bukan menjawab. Sebaliknya, ia bangkit dan memeluk Pram. Ibu si kembar itu menumpahkan tangis dan rasa yang ditahannya beberapa hari ini di pundak Pram.
"Aku masih kesal pada Mama. Aku sudah mencoba memaafkan, tetapi tetap saja ... kata-kata Mama masih meninggalkan luka," cerita Kailla sambil terisak. Dengan manja, merebahkan kepalanya di pundak Pram.
"Maafkan aku, Kai." Pram berbisik dengan kedua tangan mengusap punggung istrinya. "Aku terlalu sibuk beberapa hari ini ... sampai mengabaikanmu dan anak-anak. Aku tidak ada untukmu saat kamu ingin berkeluh kesah dan mengadu," lanjut Pram.
"Jangan dipikirkan lagi. Mama sudah menemuimu?" tanya Pram.
Kailla mengangguk, masih membelit erat leher suaminya. Kailla tengah membenamkan wajah sedihnya di ceruk leher Pram.
"Mama sudah minta maaf padamu?" tanya Pram lagi.
"Sudah, tadi siang." Kailla menjawab pelan.
"Aku janji ... akan memastikan Mama tidak melukaimu lagi, Kai. Sudah, jangan dipikirkan. Pasti baik-baik saja. Aku sedang berusaha membebaskan Bayu dan setelah itu kita bisa tenang." Pram menjelaskan.
***
Tbc
untuk yg lain aqu sdh melimpir kak...SEMANGAT ...
membayangkan Pram kok mumet mboyong keluarga ke negri singa dan gak tau sampe kapan demi keamanan.
sat set sat set