Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara luka dan tawa
Entah sejak kapan pandangan Gue mulai kabur. Jalanan di depan mobil cuma keliatan samar karena air mata terus ngalir tanpa henti.
Wiper Gue nyalain, tapi yang dibersihin bukan kaca, malah perasaan yang makin buram. Setiap kali coba tarik napas, dada Gue makin sesak.
Gue nggak tau kenapa kaki Gue bawa mobil ke sini. Tempat ini… udah lama banget nggak Gue datangi. Dulu, waktu Gue kecil, Mama sama Papa sering ajak Gue ke sini setiap kali Gue sedih. Tempat permainan besar, penuh lampu warna-warni, musik riang, dan tawa anak-anak yang nggak pernah berhenti.
Sekarang, suara itu tetap sama, tapi rasanya asing.
Gue parkir mobil di pojokan, matiin mesin, dan duduk diam beberapa menit. Tangan Gue masih gemetar. Sisa air mata yang udah kering di pipi terasa asin waktu Gue usap dengan punggung tangan.
Gue liat ke arah gerbang taman hiburan itu. Masih ramai. Orang-orang ketawa, makan jagung bakar, naik bianglala, atau foto-foto di depan balon besar berbentuk bintang.
Dulu, Papa selalu beli balon bentuk hati buat Gue. Mama yang nyodorin tangan, ngajak main komidi putar, dan ketawa waktu Gue takut naik roller coaster.
Sekarang… mereka nggak ada di sini.
Atau mungkin masih ada, tapi bukan buat Gue lagi.
Gue keluar dari mobil, langkah Gue pelan, kayak lagi nginjak tanah asing. Angin malam ngebawa aroma manisan kapas dan jagung manis. Biasanya itu buat Gue bahagia. Tapi malam ini, semua cuma jadi pengingat tentang sesuatu yang udah rusak.
Gue berdiri di depan bianglala. Lampunya berputar pelan, warna biru dan kuning silih berganti di udara malam. Di titik itu, kenangan nyerbu Gue bertubi-tubi.
Waktu kecil Gue merengek minta naik, waktu Papa ngegendong Gue biar bisa liat dari ketinggian, waktu Mama melambai dari bawah.
Semuanya kayak potongan film lama yang diputar ulang di kepala Gue.
Tapi film itu udah sobek, suaranya hilang, gambarnya retak.
Gue duduk di bangku panjang yang agak jauh dari keramaian, di bawah lampu taman yang cahayanya redup. Tangan Gue meremas jari satu sama lain, mencoba nyari sesuatu buat digenggam, tapi yang Gue dapet cuma udara kosong.
"Mulai dari awal, ya, Alya…" Gue bisik pelan, entah buat siapa.
Kalimat itu terdengar kecil banget, hampir nggak kedengeran bahkan buat diri Gue sendiri.
Mungkin emang harus begitu. Mulai dari awal, meski artinya mulai sendirian. Tanpa Papa, tanpa Mama. Mereka udah pilih jalan mereka, dan kali ini, Gue juga harus milih jalan Gue sendiri.
Gue nyengir hambar. "Lucu, ya," Gue gumam, "Yang dulu ngajarin Gue buat kuat malah jadi orang pertama yang nyuruh Gue nyerah."
Gue usap pipi, berharap mata Gue udah kering. Tapi tiba-tiba, dari sudut pandang Gue, muncul sosok besar berwarna cokelat dengan kepala bulat dan telinga bundar. Seekor… beruang. Tepatnya, badut beruang.
Dia berdiri di depan Gue, tangannya nyodorin segelas susu hangat dalam gelas kertas putih.
Gue ngedip, bingung. Dia goyangin tangannya dikit, kayak ngedorong Gue buat nerima.
Gue menatap segelas susu itu lama. Ada uap tipis naik ke udara. Hangat.
Aneh. Gue bahkan nggak peduli kalau isinya racun. Gue cuma pengen sesuatu yang buat dada Gue berhenti sakit, walau cuma sebentar.
Akhirnya Gue ambil gelas itu. "Makasih," Gue ngomong pelan.
Badut itu ngangguk, lalu mulai ngelakuin gerakan aneh, goyang-goyang tangan, lompat kecil, dan muter satu kali kayak mau buat Gue ketawa. Tapi yang keluar dari Gue cuma napas panjang. Gue pengen ketawa, tapi suara Gue ketahan di tenggorokan.
Lalu tiba-tiba, kepala badut itu miring, terus perlahan dilepas. Dari dalamnya muncul wajah yang… nggak asing.
"Lo?" Gue refleks berdiri setengah, suara Gue tercekat.
Adrian nyengir, rambutnya berantakan, keringetan, tapi matanya… masih dengan tatapan yang sama, hangat tapi berisik, kayak selalu punya seribu komentar sarkas yang nggak jadi diucapin.
"Kenapa lo kayak abis berantem sama dunia?” suaranya pelan, tapi matanya nggak bisa bohong, ada cemas di sana.
Gue nggak bisa jawab. Gue cuma bengong, ngerasa antara malu, kaget, dan entah kenapa pengen nangis lagi. "Ngapain lo di sini?"
"Kerja sambilan," jawabnya enteng. "Tadi ada bocah nyenggol kepala badut ini, terus lari. Gue bantu jagain kostum-nya, eh malah nemu lo."
"Ngaco."
Dia angkat bahu. "Lo juga. Orang normal kalo sedih biasanya ke kafe atau pantai. Lo malah ke tempat badut-badut dan permen kapas."
Gue nunduk, nyengir kecil. "Tempat ini… dulunya buat Gue tenang."
Adrian duduk di sebelah Gue. Masih pakek kostum beruang yang kedodoran, kepalanya dia taruh di pangkuan. Tangannya nyodorin tisu. "Tuh, buat air mata yang belum sempat lo buang."
"Lo pasti ngikutin Gue ya? Kerja sambilan hanya kebohongan lo aja." tanya Gue dengan suara lemah tapi curiga.
"Gue? Bohong? Aduh, sakit hati Gue dituduh gitu." nada suaranya bercanda, tapi matanya nggak.
Ada sesuatu di sana. Kayak dia beneran tau Gue lagi di titik hancur, tapi milih pura-pura bego biar Gue nggak tambah nangis.
Dia ngakak kecil. "Enggak lah. Dunia emang kecil aja. Kadang orang yang lo pengen hindari malah nongol di depan lo dengan kepala beruang."
Gue ngelirik. "Nasib buruk Gue."
Dia nyeruput susu yang lain, entah dari mana dia dapet. "Nasib bagus malah. Lo dapet susu gratis sama hiburan."
Gue akhirnya ketawa kecil. Suara Gue serak. Gue nggak ngebantah lagi. Gue minum susu hangat itu pelan-pelan. Rasanya manis, lembut, dan entah kenapa buat tenggorokan Gue lega. Mungkin karena ada orang di sebelah Gue yang nggak nyuruh, nggak nuduh, cuma… duduk. Diam.
"Lo tau, kadang yang rusak nggak perlu langsung diperbaiki. Cukup lo istirahat dulu."
Gue melirik. "Kutipan dari mana itu?"
"Dari kepala badut beruang bijak," jawabnya sambil nyengir. "Limited edition."
Gue akhirnya beneran ketawa kecil.
Suara Gue serak, tapi tawa itu asli. Tulus.
Gue liat ke arah lampu bianglala lagi. Putarannya masih sama, tapi entah kenapa sekarang Gue nggak ngerasa sendirian. Mungkin bukan karena tempatnya berubah. Mungkin karena ada seseorang di sebelah Gue yang nggak nuntut Gue buat jadi kuat, cukup ada.
Gue hembuskan napas panjang. "Thanks, Adrian."
Dia nyengir lebar, pakek lagi kepala badutnya, terus ngomong pakek suara lucu, "Sama-sama, Nona Lotion. Ingat, susu bisa menyembuhkan separuh luka hati. Separuhnya lagi… urusan Tuhan."
Gue geleng, tapi senyum. Untuk malam yang tadinya penuh air mata, satu senyum aja rasanya udah cukup.
Mungkin emang gitu caranya dunia bekerja, kadang, di tengah kehancuran paling pahit, Tuhan kirim seseorang… yang nggak tau kenapa dia selalu ada di saat Gue butuh.