Cherry Yang, yang dipaksa mendonor darah sejak kecil untuk adik tirinya, setelah dewasa ginjalnya diambil paksa demi menyelamatkan sang adik.
Di malam itu, ia diselamatkan oleh Wilber Huo—pria yang telah mencarinya selama delapan tahun.
Kehidupan Cherry berubah drastis setelah pertemuan itu. Ia bahkan terpaksa menikah dengan Wilber Huo. Namun, tanpa Cherry sadari, Wilber menikahinya dengan alasan tertentu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Keesokan harinya.
Udara pagi begitu segar. Angin semilir meniup dedaunan di halaman belakang rumah, membuat suasana terasa tenang. Di sana, Cherry duduk bersama Vivian di bangku kayu sederhana, ditemani secangkir teh hangat.
"Vivian, bagaimana dengan pekerjaanmu belakangan ini?" tanya Cherry dengan suara lembut, berusaha tersenyum meski matanya tampak sayu.
Vivian menoleh, wajahnya berbinar. "Lumayan sibuk, tapi aku sangat suka dengan pekerjaan ini," jawabnya sambil tersenyum cerah.
Cherry ikut tersenyum tipis, namun dalam hatinya bergolak. "Vivian sangat bahagia dan bebas... andaikan aku bisa seperti dia," batinnya, menahan helaan napas.
"Cherry, kenapa? Apa kau sedang mengkhawatirkan papamu?" Vivian menggenggam tangan sahabatnya dengan hangat. "Percayalah, papamu pasti sembuh."
Cherry menunduk, suaranya bergetar. "Aku juga berharap begitu. Papaku belum pernah hidup senang... beliau sudah menderita begitu lama. Aku sebagai anaknya... tidak mampu merawatnya."
"Cherry," Vivian menepuk lembut punggung tangannya, "saat ini kau tidak sendirian lagi. Ada aku... dan juga kakakku. Kakakku pasti akan menyembuhkan papamu."
Cherry terdiam, matanya menatap kosong pada cangkir di depannya. "Biaya pengobatan papa sangat mahal... aku harus memikirkan cara mengumpulkan uang. Kalau semua bergantung pada Kakak Huo, hutangku padanya akan semakin banyak," batinnya, menahan sesak di dada.
Tiba-tiba suara berat terdengar dari arah dalam rumah.
"Cherry!" seru Wilber sambil melangkah ke halaman, penampilannya rapi dengan setelan jas. Tatapannya langsung terarah pada istrinya.
Cherry buru-buru berdiri, "Kakak Huo..." sahutnya pelan.
Wilber menghampirinya, menatap dengan penuh perhatian. "Ada apa? Apa yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanyanya lembut namun tegas.
Cherry menggeleng cepat. "Tidak ada... Apakah Kakak Huo akan berangkat kerja?" ia mencoba mengalihkan.
Wilber tersenyum tipis, menatapnya lebih dalam. "Bukankah kau juga ingin bekerja? Bagaimana kalau hari ini ikut denganku?"
Cherry terkejut, jantungnya berdegup kencang. "Apakah aku layak bekerja di perusahaan besar? Apa lagi aku tidak berpendidikan tinggi. Kalau saja orang lain tahu... apa kata mereka?" ucapnya ragu, menunduk malu.
Wilber melangkah lebih dekat, tangannya menepuk pelan bahu istrinya. "Tidak perlu khawatir dengan pendapat orang lain. Datanglah dan bekerja sebagai status istriku... tidak ada yang bisa merendahkanmu," ujarnya dengan nada penuh keyakinan.
"Baiklah, aku akan belajar dan tidak mengecewakanmu," ucap Cherry dengan mata berbinar meski suaranya masih ragu.
Wilber tersenyum hangat, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala istrinya. "Aku percaya padamu. Kau hanya perlu yakin pada dirimu sendiri," ujarnya lembut, sorot matanya penuh keyakinan.
Cherry terdiam, hatinya bergetar dengan perhatian yang ia rasakan. Sentuhan itu sederhana, namun membuatnya seolah mendapatkan kekuatan baru.
Dari samping, Vivian memperhatikan dengan saksama. Tatapannya bergeser dari Cherry ke kakaknya, lalu ia tersenyum kecil. "Sepertinya kakakku ini sudah jatuh cinta pada Cherry... tatapannya begitu mesra dan dalam. Tidak pernah aku melihat dia seperti ini sebelumnya," batin Vivian, merasa geli sekaligus bahagia.
"Kakak, kalau begitu pergilah. Aku akan di rumah saja, menunggu kakak dan Cherry pulang makan malam," kata Vivian sambil berdiri, nada suaranya penuh canda.
Wilber menoleh sekilas, lalu berkata pelan, "Kakak ipar."
Vivian terbelalak sejenak, lalu menepuk dahinya. "Iya, iya... aku lupa. Cherry sekarang adalah kakak iparku," jawabnya dengan senyum lebar.
Ia lalu mendekati Cherry, menunduk sedikit sambil berbisik dengan nada bercanda, "Kakak ipar, tolong jaga kakakku, ya..."
Cherry hanya bisa tersenyum malu, wajahnya memerah, sementara Wilber menatap Vivian dengan pandangan setengah kesal tapi tidak bisa menahan senyum tipisnya.
"Cherry, mari ganti pakaian dulu. Aku sudah meminta Roby menyiapkannya," kata Wilber sambil meraih tangan istrinya dengan tenang. Ia kemudian menuntunnya melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Vivian yang masih menahan tawa kecil melihat tingkah keduanya.
Beberapa hari kemudian.
Cherry belajar dengan giat setiap tugas yang diberikan oleh Wilber. Meski awalnya ragu pada kemampuannya, wanita itu dengan cepat memahami semua pekerjaan yang harus ia lakukan. Tangannya lincah di atas meja, mencatat setiap poin penting
Dari lantai atas, Wilber sering mengamati istrinya melalui jendela kantornya. Senyum tipis terukir di wajah pria itu setiap kali melihat Cherry tampak bersemangat, seolah beban yang selama ini ia pikul perlahan terlupakan. "Cherry... kau jauh lebih kuat dari yang aku kira," batinnya bangga.
Setiap jam makan siang, Wilber dan Cherry selalu makan bersama di ruangannya. Suasana sederhana itu justru membuat hubungan mereka terlihat begitu dekat. Namun, kebersamaan mereka memunculkan bisik-bisik di kalangan karyawan.
Banyak karyawan wanita yang diam-diam merasa iri, bahkan memandang rendah. Mereka menilai latar belakang Cherry tidak pantas berdampingan dengan direktur mereka yang tampan, kaya, dan berwibawa.
Tatapan sinis, bisikan lirih, hingga sikap dingin menjadi hal yang hampir setiap hari Cherry hadapi. Namun ia tetap tegar. Dengan senyum lembut, Cherry menjalankan pekerjaannya tanpa sedikit pun peduli pada pandangan orang lain.
Suatu hari, di waktu istirahat siang, suasana dapur kantor dipenuhi aroma kopi dan suara riuh rendah karyawan yang bergantian membuat minuman. Dua karyawan wanita berdiri di sudut, menyeduh teh sambil berbisik, sesekali melirik ke arah pintu memastikan tidak ada yang mendengar.
"Cherry adalah gadis miskin yang tidak tahu dari mana asalnya, tapi tiba-tiba jadi istri atasan kita. Kalian percaya?" bisik salah satunya dengan nada sinis. "Kalau mereka benar pasangan suami-istri, kenapa tidak ada acara pernikahan? Jangan-jangan hanya pernikahan sementara, beberapa bulan kemudian bercerai."
Rekan di sebelahnya terkekeh pelan, matanya menyipit penuh gosip. "Bisa jadi. Direktur kita tidak mungkin benar-benar mencintai wanita biasa seperti dia. Dia kalah jauh dibandingkan dengan model Lonely. Kau masih ingat, kan? Tiga tahun lalu ada gosip kedekatan direktur dengan Lonely. Semua orang melihat kalau mereka sering bersama. Mereka makan siang, keluar setiap hari, bahkan ... Lonely sering datang menemui direktur di kantor. Mereka bisa berada di dalam ruangan selama dua jam sebelum akhirnya keluar bersama."
Keduanya tertawa kecil, menutup mulut dengan tangan, lalu melanjutkan gosip itu seakan sedang menikmati drama nyata.
Tanpa mereka sadari, di dekat pintu dapur, Cherry berdiri dengan sebuah cangkir di tangannya. Langkahnya terhenti, tubuhnya membeku. Ia mendengar dengan jelas setiap kata yang keluar dari mulut mereka.
Hatinya mencelos, genggaman pada cangkir bergetar hingga nyaris terlepas. "Jadi... ini yang mereka pikirkan tentangku?" batinnya pedih. "Dan Lonely... siapa dia sebenarnya bagi Kakak Huo?"
Cherry akhirnya melangkah masuk, seolah tidak mendengar apa pun. Ia menaruh cangkirnya di atas meja dengan tenang, meski matanya berusaha menghindar dari tatapan dua wanita itu yang mendadak kikuk. Suasana di dapur langsung hening, hanya terdengar suara sendok mengaduk minuman.
"Sudah berapa lama kalian bekerja di sini?" tanya Cherry dengan nada sopan sambil menuangkan minuman ke dalam cangkir.
"Sudah empat tahun," jawab salah satu dari mereka dengan nada bangga.
Cherry mengangguk tipis, lalu menatap mereka sambil tersenyum sinis. "Empat tahun termasuk senior, tapi kenapa aku justru merasa kalian digaji hanya untuk bergosip?"
"Kami tidak—" salah seorang hendak membantah, tapi ucapan itu langsung dipotong oleh Cherry.
"Jelaskan saja nanti pada atasan kita. Kalian boleh menghinaku, aku tidak peduli. Tapi apa yang kalian bicarakan tadi menyangkut nama baik direktur kita. Kalau sampai beliau mendengarnya, kalian pikir apa yang akan terjadi? Senior seharusnya memberi contoh yang pantas, bukan malah merusak suasana kerja dengan gosip murahan."
Wajah para karyawan itu mulai memerah, salah satunya menahan kesal. "Cherry, apa kau tidak salah? Kau hanyalah karyawan baru di sini. Kami bahkan lebih senior darimu."
Cherry menegakkan tubuhnya, tatapannya mantap. "Aku berdiri di sini bukan hanya sebagai karyawan, tapi sebagai istri direktur kalian. Kalian menggosipkan suamiku dengan wanita lain. Sebagai istrinya, apakah aku tidak layak menegur kalian?"