Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERSEMBUNYI DI GUA
Malam terasa datang lebih cepat di pegunungan itu, seolah langit menarik tirai nya sebelum waktunya. Kirana dan Raka akhirnya menemukan sebuah gua sempit, tersembunyi di balik rimbunan semak berduri. Mereka merunduk, menyibak dahan yang mencakar kulit, lalu melangkah masuk dengan hati-hati, memastikan tak ada binatang liar yang berdiam di dalam.
Di tengah ruang batu yang lembap itu, mereka menyalakan api kecil. Nyala jinggavnya memantulkan bayangan bergerigi di dinding, membuat gua terasa seperti perut bumi yang bernapas. Raka duduk bersandar pada dinding batu, peti kayu tergeletak di pangkuannya.
“Kalau musuh yang mengejar kita sampai tahu kita berhenti di sini…” suaranya rendah, “habislah kita.”
"Aku pikir kita mereka tidak akan bisa mengejar sampai di sini. Sungai itu cukup curam dan berarir deras," ucap Kirana menenangkan dirinya sendiri.
"Ya. Kamu benar!"
Kirana duduk di seberang Raka. Gulungan kain dari dalam peti sudah berada di tangannya. Ia membentangkan gulungan di tanah. “Aku mau lihat peta ini sekali lagi… biar lebih jelas.”
Begitu segel emas dibuka, kain kuno itu terhampar. Garis-garis nya bukan sekadar menggambarkan sungai dan gunung—ada simbol matahari, bulan, dan jalur cahaya yang menghubungkan titik-titik tertentu. Dari ujung gulungan, Kirana mengambil sebuah batu setengah lingkaran. Saat ia menempelkan nya ke bagian tertentu di peta, guratan cahaya biru merambat di sepanjang kain, mengungkapkan huruf-huruf asing yang sebelumnya tersembunyi.
Raka mencondongkan tubuh. “Bahasa ini… kamu ngerti?”
Kirana mengerutkan kening. “Sedikit. Beberapa huruf mirip tulisan kuno yang pernah kupelajari di istana.” Jemari nya bergerak perlahan, membaca patah-patah. “Tulisannya bilang… ‘Pintu Timur dibuka hanya saat bayangan naga menyentuh mahkota gunung.’”
Raka memandang api yang berkedip. “Bayangan naga? Gunung yang mana? Dan… pintu apa?”
“Kalau terjemahanku benar,” Kirana menarik napas dalam, “pintu ini bukan pintu biasa. Mungkin… gerbang kuno. Bisa juga gerbang antar dunia—seperti yang menyeret kita ke sini.”
Desir angin menyelinap masuk melalui mulut gua, membuat nyala api bergetar. Kirana perlahan menggulung peta kembali. “Kalau ini benar… mungkin ini jalan pulang kita.”
Tatapan Raka melebar, memantulkan harapan sekaligus kegelisahan. “Kalau begitu, mengapa semua orang menginginkan peta ini?"
Kirana terdiam. "Mungkin ada hal yang lebih penting dari hanya sebuah gerbang..."
Raka mengangguk. "Seingatku... Raja Iskandar Zulkarnain adalah Raja yang menakhlukkan banyak bangsa. Jika ini adalah salah satu rahasia Raja, maka musuh kita bukan cuma para pemburu itu. Karena kekuasaan nya yang besar, pasti banyak yang menginginkan peti ini.”
Kirana menatapnya dalam-dalam. “Entahlah… tapi ingat pesan Sutan Darwis. Kita punya tugas membantu ekspedisi Raja menuju tanah awal nenek moyang kita.” Ia terdiam sejenak, seperti baru mengingat sesuatu, lalu mengeluarkan gulungan lain. “Lihat ini! Peta dari Sutan Darwis… ada garis putus-putus yang sama seperti di sini!”
Raka menunduk untuk melihat—dan tanpa sengaja, kening mereka bertumbuk.
Nafas hangat dari keduanya bertemu.
Diam sesaat ketika kedua tatapan bertemu.
“Ah… apakah ini yang kamu maksud?” Raka buru-buru kembali fokus pada peta, mencoba menenangkan jantungnya yang mulai berdetak kencang.
Kirana mengangguk. "Ya!"
“Baik. Kita simpan ini dulu. Yang jelas, isi peti ini adalah peta kuno yang sangat dilindungi.”
Kirana membungkusnya kembali dengan kain dan kulit. Api di gua mulai meredup. Raka berdiri, menaburkan pasir untuk memadamkannya. “Kalau mau kembali sebelum fajar, kita harus berangkat sekarang. Kalau Pangeran Leontes sadar kita menghilang… terlalu lama, kita akan berada dalam bahaya.”
“Jalur barat,” potong Kirana. “Ada sungai kecil yang mengalir sampai ke rencana peristirahatan rombongan selanjutnya. Jalur ini lebih aman.”
"Baiklah!" Raka percaya navigasi Kirana. Karena memang Kirana yang menjadi penuntun jalan ini, seperti yang dipercayakan oleh Raja.
Udara dingin pegunungan menyergap mereka saat keluar dari gua. Bulan separuh memanjat awan, dan di puncak gunung, bayangan awan membentuk siluet mirip naga. Kirana berhenti menatapnya.
“Bayangan naga…” bisiknya.
“Apa?” tanya Raka.
“Nggak. Cuma… sepertinya peta itu bicara soal momen seperti ini.”
Mereka menuruni jalur curam yang licin oleh embun. Suara gemericik air kian dekat. Saat tiba di tepi sungai, Kirana membungkuk membasuh wajah, sementara Raka tetap berjaga.
Ranting patah terdengar di seberang sungai.
Raka langsung meraih belatinya. Dua sosok penunggang kuda muncul dari balik semak, zirah mereka berkilau di bawah cahaya bulan, lambang naga perak terpatri di dada. Bukan prajurit Leontes.
“Siapa kalian?” salah satunya bertanya dingin. “Kami melihat cahaya api di lereng. Kalian bukan dari pasukan kami.”
“Kami dari rombongan Pangeran Leontes,” jawab Raka, tenang. “Tersesat saat mencari jalur kembali.”
Tatapan prajurit itu turun ke peti di punggung Raka. “Apa yang kalian bawa?”
“Perbekalan medis,” potong Kirana cepat. Nada suaranya datar, tapi tajam. “Kalau Pangeran tahu kalian menghambat kami…”
Dua prajurit itu saling pandang, lalu salah satunya mengangguk. “Ikut kami. Perkemahan pangeran setengah jam ke hulu.”
Mereka dibawa menunggang kuda, dan tak lama cahaya obor perkemahan menyala di kejauhan. Saat tiba, Pangeran Leontes sendiri keluar dari tenda utama. Sorot matanya tajam, seperti menelanjangi pikiran mereka.
“Kalian menghilang terlalu lama,” katanya perlahan. “Prajurit mengira kalian tersesat… atau diculik.”
“Kami dikejar oleh beberapa orang prajurit lawan, dan terpaksa bersembunyi sampai dirasa aman, Pangeran." Lapor Raka setelah memberikan hormat. "Dan kami menemukan jalur air yang lebih cepat untuk perjalanan besok, Yang Mulia,” sambung Raka singkat.
Leontes menatap mereka lama, lalu tersenyum samar. “Bagus! Besok kalian di depan rombongan. Aku ingin melihat jalur itu sendiri.”
Kirana merasakan dingin merayap di punggungnya. Jalur itu melewati gua. Ia hanya menjawab, “Siap, Yang Mulia.”
Saat Leontes berbalik, Raka berbisik, “Sepertinya pangeran kita… tahu lebih banyak dari yang kita kira.”
Kirana menatap obor yang bergoyang di kejauhan. Di kepalanya, peta itu masih berdenyut dengan cahaya biru samar—seolah mengingatkan bahwa waktu mereka untuk menemukan Pintu Timur semakin sedikit.
***