NovelToon NovelToon
Pria Dari Belgia

Pria Dari Belgia

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kelly Hasya

"Aku sudah lama tidak pernah merindukan siapapun. Karena aku tahu, rindu itu cukup berat bagiku. Tapi sekarang, aku sudah mulai merindukan seseorang lagi. Dan itu kamu..!"

Maarten tahu, hidupnya tak pernah diam. Dia bekerja di kapal, dan dunia selalu berubah setiap kali ia berlabuh. Dia takut mencintai, karena rindu tak bisa dia bawa ke tengah laut.

"Jangan khawatir, kupu-kupumu akan tetap terbang.
Meski angin membawa kami ke arah yang berbeda,
jejak namamu tetap tertulis di sayapnya"

Apakah pria dari Belgia itu akan kembali?
Atau pertemuan kami hanya sebatas perjalanan tanpa tujuan lebih?

(Kisah nyata)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Hasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

INDESCRIBABLE

Kami sudah kembali di dalam kamar. Begitu pintu tertutup, Maarten langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur seperti anak kecil yang baru pulang dari petualangan panjang.

“Akhirnya...” Desahnya sambil menutup mata sejenak, lalu tertawa kecil, “Silakan makan dulu puteriku. Aku tahu kamu belum kenyang.”

Aku tertawa kecil, membuka bungkus makananku dengan hati-hati. Aku memang masih lapar, dan aku senang karena dia selalu peka, bahkan untuk hal kecil seperti itu. 

Saat aku mulai menikmati gigitan pertama, Maarten membuka mata, menoleh padaku dan berkata pelan,

“Besok pagi aku akan berangkat ke Sumatera.”

Aku sedikit menghentikan kunyahanku, lalu menatapnya. Dia tersenyum lembut dan kemudian duduk.

“Tapi aku janji. Begitu aku kembali, aku akan langsung mencarimu. Aku ingin kita pergi ke Jogja, seperti yang kita bicarakan tadi. Aku ingin melihat kota itu bersamamu.”

Ada ketenangan dalam nadanya. Tidak terburu-buru, tidak menjanjikan hal muluk. Tapi kalimatnya cukup untuk membuat hatiku terasa penuh.

Maarten duduk menyender di kepala ranjang, menatapku sambil memainkan jari-jarinya pelan.

“Aku seminggu di Sumatera. Aku ingin lihat hutan. Mungkin aku juga akan tinggal di tempat yang jauh dari kota, lebih dekat dengan alam.”

“Maarten. Kamu emang selalu nyari ketenangan di alam ya?”

Dia tersenyum, matanya menyipit hangat.

“Ya. Tapi kamu tahu, Kelly... sekarang aku juga menemukan ketenangan itu di kamu.”

Aku menunduk, menyembunyikan wajahku yang mulai merah.

"Kamu gak takut tinggal di tempat terpencil seminggu?”

“Takut? Hmm...” Dia berpikir sebentar, lalu menatapku dalam. “Mungkin satu-satunya yang aku takuti cuma satu. Aku takut kangen kamu, dan sinyalnya buruk.”

Aku tertawa kecil. “Ya udah, kirim merpati kalau sinyalnya hilang.”

Maarten ikut tertawa pelan, lalu menjulurkan tangannya dan menyentuh jemariku.

“Aku janji, setelah seminggu selesai, aku balik ke sini. Lalu kita ke Jogja. Naik kereta, menyusuri kota, lihat candi yang indah. Mau ya?”

Aku menatapnya. Ada keraguan, tapi juga harapan. Dan di balik semua rasa itu, aku tahu, aku ingin percaya.

“Ya... aku mau,” 

Dan malam itu, di antara lampu kamar yang temaram dan suara AC yang samar, kami tahu, perpisahan besok mungkin akan membuat kami merasa rindu. Tapi rindu itu, akan jadi jembatan untuk pulang kembali satu sama lain.

Setelah selesai makan, aku rebahan di atas kasur hotel. Perutku kenyang, pikiranku sedikit melayang. Di sampingku, Maarten berjalan pelan menuju saklar lampu dan mematikannya. Kamar menjadi redup, hanya cahaya tipis dari luar jendela yang menerangi.

“Aku suka cahaya seperti ini,” katanya sambil berbaring di sebelahku. “Tenang, hangat... dan kamu ada di sini.”

Aku hanya tersenyum kecil. Tapi sebelum sempat menjawab, ponselku tiba-tiba bergetar.

Sebuah panggilan masuk. 

Dan ya, lagi-lagi... Dari nomor itu. Aku sempat kesal! Dan ya, salahku juga tidak memblokirnya. 

Nomor yang sudah sangat kukenal. Nomor masa lalu.

Aku menatap layar ponsel dengan napas tertahan. Panggilan itu berdetak, satu... dua... tiga...

Maarten melirik ke arahku.

“Itu... telepon? Pasti dari mantanmu lagi?” tanyanya pelan.

Aku memalingkan wajah, meletakkan ponsel menghadap ke bawah.

“Iya. Kamu benar! Tapi ini sangat tidak penting” jawabku jujur. 

Dia tidak memaksa. Tidak menuntut penjelasan. Dia hanya mengangguk pelan, lalu menggeser sedikit badannya mendekat.

“Kalau memang gak penting, lupakan saja. Kamu sudah di tempat yang tenang sekarang.”

Aku mengangguk, walau hatiku masih bergetar. Rasanya seperti dihantui bayangan yang belum selesai. Tapi aku menolak untuk mengizinkannya menggangguku malam ini. Malam yang seharusnya damai, bersama seseorang yang tidak pernah berjanji, tapi selalu hadir.

Panggilan itu berhenti.

Dan aku tidak menyesal karena tidak menjawabnya.

Maarten mengusap pipiku perlahan dengan punggung tangannya. Tatapannya begitu dalam, hangat, seolah bisa menenangkan badai dalam diriku hanya dengan senyum itu.

“Kamu amazing,” bisiknya pelan.

Aku hampir lupa akan dunia luar. Lupa pada semua luka, semua kenangan yang menyakitkan. Tapi tepat di detik itu.....

Ponselku kembali bergetar.

Nada panggilan yang sama. Nomor yang sama. Bayangan masa lalu kembali mengusik. Aku menarik napas perlahan, mencoba tetap tenang. Maarten melihat ke arah ponsel, lalu kembali menatap mataku.

“Kamu boleh angkat kalau mau, dan ya aku tau, mungkin ada sesuatu yang ingin dia bicarakan” 

Katanya, dengan suara yang tenang.

“Aku gak akan marah. Kadang... Kita perlu menyelesaikan hal yang belum selesai.”

Aku menatapnya dalam-dalam. Tak ada rasa cemburu di matanya, hanya penerimaan dan pemahaman yang dewasa. Dan entah kenapa, justru dari sikap itu aku makin sulit bernafas. Karena seseorang yang tulus, semakin membuatku ingin menjauh dari masa lalu.

Dan jujur saja, aku merasa bersalah. Maarten seolah menebak kalau hubunganku bersama mantanku belum selesai. 

Aku menatap layar ponsel itu cukup lama, hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Perlahan, kutekan tombol home, lalu kugeser layar, dan mematikan semua koneksi. Tak ada lagi suara dering. Tak ada lagi getaran yang menggoda luka lama.

Maarten masih duduk di sampingku, tenang, seperti menungguku siap. Aku menghela napas pelan, lalu menoleh padanya.

“Maarten...”

“Yes?”

“Maafkan aku jika kamu merasa terganggu dengan semua ini”

Maarten tak bereaksi berlebihan. Hanya mengangguk pelan, seolah memberiku ruang untuk lanjut berbicara.

“Dia udah lama gak muncul. Tapi tiba-tiba dia nelpon aku lagi. Aku gak tahu harus gimana, tapi, aku gak angkat. Karena aku gak mau dia ganggu hidupku lagi.”

Maarten menatapku, lembut. Tak ada penilaian, tak ada rasa curiga. Yang ada hanya ketulusan.

“Kamu gak harus jelasin semuanya, Kelly. Tapi aku senang kamu jujur. Dan aku lebih senang lagi karena kamu melindungi hatimu.”

Aku terdiam, lalu tersenyum tipis.

“Dulu aku selalu berharap seseorang akan memperjuangkanku. Tapi sekarang aku sadar, aku harus belajar memperjuangkan diriku sendiri dulu.”

Maarten mengangguk, lalu mengusap rambutku perlahan. Aku bersandar di kepala tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang temaram. Hati ini mulai sesak, bukan karena rindu, tapi karena amarah yang lama kupendam mulai terasa lagi.

“Dia pria dari Turki. Tapi dia pergi dariku tanpa penjelasan. Hanya diam. Lalu sekarang dia datang lagi seolah semuanya baik-baik saja.”

Maarten diam, mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Aku pernah percaya padanya, Maarten. Dia pernah bilang mau datang ke Indonesia, mau bertemu keluargaku. Tapi semua itu hanya kata-kata kosong. Tidak pernah terjadi.”

Aku menghela napas panjang.

“Dan sekarang... aku gak tau apa tujuannya. Mungkin cuma penasaran. Tapi aku sudah kecewa terlalu dalam. Dan aku belajar... jangan biarkan seseorang yang dulu membuatku menangis, datang lagi hanya untuk melihat apakah aku masih bisa tersenyum?”

Maarten menatapku lekat-lekat. Tidak berkata apa-apa, tapi tatapannya penuh dukungan.

“Untuk apa aku memberikan waktuku lagi kepada seseorang yang bahkan tak menghargai perasaanku? Aku bukan tempat persinggahan. Aku pantas mendapatkan lebih dari sekadar penyesalan yang datang terlambat.”

Ia menggenggam tanganku pelan, lalu akhirnya berkata,

“Kamu benar, Kelly. Kamu bukan pilihan kedua. Kamu adalah rumah. Dan kamu pantas dicintai tanpa harus menunggu dibuktikan.”

Aku hanya tersenyum samar. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa tidak harus menjelaskan diriku terlalu banyak. Seseorang akhirnya benar-benar mendengarkan.

Maarten menatap langit-langit sejenak, lalu berkata pelan,

“Kelly... semua orang punya masa lalu. Tapi tidak semua orang berani menceritakannya.”

Maarten memandangku lama. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya penuh empati.

“Kamu gak harus menceritakan semuanya kalau itu masih sakit..... Tapi aku ingin kamu tahu satu hal… kamu hebat, Kelly. Sangat hebat.”

Aku terdiam, menahan air mata yang mulai menggenang.

“Kamu disakiti, ditinggalkan tanpa penjelasan, tapi kamu masih bisa tersenyum… Masih bisa tertawa. Itu bukan kelemahan, itu kekuatan.”

Aku menatap tanganku yang saling menggenggam erat di pangkuanku. Ada bagian dalam diriku yang ingin percaya kalimat itu, tapi juga masih takut kecewa lagi.

Maarten lalu meraih tanganku dengan lembut, menggenggamnya seperti seseorang yang tidak sedang berjanji, tapi sedang menenangkan badai.

“Jangan berpikir kamu kurang. Bukan kamu yang salah. Kadang orang pergi bukan karena kamu tidak cukup baik… tapi karena mereka tidak tahu bagaimana cara mencintai seseorang sebaik kamu mencintainya.”

Aku menunduk, kali ini tidak menahan air mata. Tapi Maarten tetap diam. Ia hanya menggenggam tanganku sangat erat. 

“Dan satu lagi, Kelly…”

Aku menoleh perlahan. Dengan air mata yang mengalir. 

“Jangan takut membuka hati. Dan buka hati kamu jangan karena kamu kesepian, tapi karena kamu tahu kamu layak bahagia.”

Malam itu, aku duduk diam di sisi ranjang, mencoba merapikan kekacauan di dalam hati. Tapi Maarten tak banyak bertanya. Dia tidak mendesakku, tidak juga menghakimi. Dia hanya duduk di sana, menjadi tempat yang tenang untuk jiwaku bersandar. Dengan tenang, dia berkata bahwa aku adalah perempuan yang luar biasa. Bahwa luka yang kubawa bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa aku masih mampu bertahan, meski sudah pernah dikecewakan berkali-kali.

Tangannya meraih tanganku perlahan. Genggamannya hangat, tak tergesa, seolah ingin mengatakan bahwa aku tak sendirian. Ia tidak datang membawa janji, tapi kehadirannya malam itu seperti pelipur dari luka-luka lama. Ia tak ingin aku membuka hati karena kesepian, tapi karena dia tahu bahwa aku layak untuk dicintai dengan cara yang benar, oleh orang yang tepat.

Dan dalam diamku, aku sadar, aku mulai percaya lagi. Bukan pada orang lain, tapi pada diriku sendiri. Karena untuk pertama kalinya, setelah sekian lama… Aku merasa diterima, tanpa harus berpura-pura menjadi siapa pun

1
Dewi Ink
syediih ka
Kelly Hasya: sudah baca sampe bab mana nih? hehee
total 1 replies
Kelly Hasya
pengen nangiiissss 😢😢😢
Kelly Hasya
😢😢😢😢😢😔
Kelly Hasya
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Kelly Hasya
😭😭😭😭😭😭
Kelly Hasya
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Kelly Hasya
Maarten pria yang istimewa 🌼🌼🌼
Kelly Hasya
Sedihhh 😭😭😭😭
Kelly Hasya
bikin nangiss 😭😭😭😭😭
Kelly Hasya
oke🌼🌼🌼🌼🌹
Kelly Hasya
mantapp
Kelly Hasya
keren 👍👍
Kelly Hasya
kelasss....
Kelly Hasya
kupu-kupu cantik 🌼🌼🌼
Kelly Hasya
kereeennn 🏆🏆🏆
Kelly Hasya
KEREN 🌼🌼🌼🌼🌼
Kelly Hasya
LUPAKAN MASA LALU 🌹🌹🌹🌹🌹
Kelly Hasya
Maarten dan Kelly cocok bangetttt🏆🍟
Kelly Hasya: 🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
total 1 replies
Kelly Hasya
mantap
Kelly Hasya
gak bosen bacanya❣️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!