Azam Rizki Van Houten---Tuan muda tengil, tapi patuh dan taat pada orang tua. Kecelakaan hebat hari itu di karnakan kecerobohannya yang ugal-ugalan mengemudi membuatnya harus menerima di terbangkan ke Australia. 5 tahun kemudian ia kembali. Sang bunda merencanakan perjodohannya dengan Airin--gadis yang begitu di kenalnya. Namun, kali ini Azam menentang permintaan bundanya, di karnakan ia telah menikah diam-diam dengan gadis buta.
Arumi Afifa Hilya, kecelakaan hari itu tidak hanya membuatnya kehilangan penglihatan, tapi gadis malang itu juga kehilangan adik yang paling di sayangnya--Bunga. 5 tahun kemudian seorang pemuda hadir, membuat dunianya berubah.
***
"Satu hal yang perlu lu ketahui, Zam! Lu adalah orang yang telah membuat gadis tadi tidak bisa melihat. Lu juga orang yang membuat anak kecil tadi putus sekolah. Dan lu juga yang telah merenggut nyawa adik mereka! Dengar itu, bangsat!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lonching perdana
"Bismillah. Gue pasti bisa!" Azam bergunam menyemangati diri, sebelum melangkahkan kaki keluar dari kamar
Hari ini, adalah hari pertamanya membuka cafe. Pada hari-hari sebelumnya Azam sudah mempersiapkan semuanya sendiri. Mulai dari mendekorasi tempat, menata kursi dan meja, hingga memasang plang merk cafe. Lelah? Tidak sama sekali, karna tekatnya sudah kuat untuk berdikari, bukan lagi ingin menunjukkan siapa dirinya pada Mail dan Parjo. Tapi memang sudah bertekad sukses dengan usahanya sendiri.
Strategi marketing juga sudah di rancang dengan menyiapkan brosur yang akan di bagi-bagikan nanti pada orang-orang. Hari pertama lounching, juga akan melakukan promosi supaya orang-orang bisa mengenal cita rasa menu di cafenya.
Selesai sarapan, Azam berpamitan pada Ayang, sebelum mengayunkan langkah menuju mobil yang terparkir di garasi.
Azam memang harus buru-buru, karna sebelum pergi ke cafe ia akan menjemput Arumi terlebih dahulu.
Selain Arumi, Azam juga mempekerjakan 3 orang karyawan yang akan membantunya di cafe mulai hari ini. Salah satu dari mereka adalah tetangga Arumi. Ya, Arumi lah yang meminta Azam agar menyampaikan pada si pemilik cafe, supaya menerima satu orang temannya. Azam mengiyakan saja permintaan gadis itu, karna ia memang membutuhkan satu karyawan yang bisa paham dengan Arumi, yang akan dia tempatkan nantinya untuk membantu Arumi di dapur.
Tiba di depan gang tempat Arumi tinggal, Azam segera turun mobil, lalu melangkah cepat menuju rumah Arumi. Azam sudah tidak sabar ingin cepat-cepat tiba di cafe.
"Kak Rumi! Bang Rayen sudah datang!" teriak Aril. Bocah itu memang sengaja menunggu Azam datang, sebelum berangkat sekolah.
Arumi yang telah bersiap dengan uniform yang di berikan Azam, segera keluar rumah. Tadi malam, Azam memang mengatakan akan menjemputnya pagi ini.
"Eh, lu kenapa belum berangkat sekolah?" tanya Azam.
"Aril sengaja menunggu Bang Rayen datang. Bang Rayen, Kak Rumi cantik gak pakai baju kerja yang Bang Rayen kasih?"
"Aril!" tegur Arumi, lalu menunduk menyembunyikan wajahnya yang merah.
"Hehehe. Maaf Kak, Aril hanya bercanda."
"Ohya... Bang Rayen, pulang sekolah nanti, Aril boleh gak pergi ke tempat kerja Kak Rumi?" pinta Aril penuh harap.
Azam menganggukkan kepala. "Hmm, baiklah. Nanti siang gue jemput kesini."
"Benaran ya Bang Rayen. Aril tunggu!"
"Iya. Sudah, sana berangkat! Nanti lu telat!""
Aril mendekati Azam, lalu mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
"Lu mau ngapain?"
"Mau salim," jawab Aril.
Azam menghembuskan nafas pendek sebelum mengulurkan tangannya.
"Ya sudah, Aril berangkat sekolah dulu ya," ucapnya setelah mencium tangan Azam.
"Hmm." Hanya gumaman itu yang keluar dari mulut Azam.
Aril juga mendekati Arumi yang masih berdiri menunduk. Tangan kakaknya itu diraih dan diciumnya. "Kak Rumi, Aril berangkat sekolah dulu ya. Nanti siang, kita ketemu di tempat kerja Kakak."
Arumi tersenyum. Kepala Aril di usapnya pelan. "Rajin-rajin belajar di sekolah ya, Dek."
"Iya, Kak," balas Aril, lalu dia berlari menuju sekolahnya. Mulutnya mengeluarkan suara knalpot motor GP. Seakan dia berlari begitu cepat menyamakan laju motor pembalap.
Azam menggelengkan kepala. Matanya memandang punggung bocah itu yang semakin menjauh. Ia masih ingat kenangan sewaktu masih kecil. Dimana semuanya terasa happy. Tidak ada tuntutan dan beban hidup. Tak ada yang namanya tanggung jawab. Masa kecil hanya di habiskannya dengan bermain dan bermain, tanpa ada yang marah. Sayangnya, semua itu hanya kenangan yang tak akan pernah bisa di alaminya lagi.
"Bang Rayen!" Panggilan Arumi membuat Azam tersentak. Kilasan kenangan masa kecil yang hinggap di kepala lenyap seketika.
"Hmm, lu sudah siapkan?" tanya Azam.
"Sudah," jawab Arumi di sertai dengan anggukan kepala. Tongkat mulai di raba-rabakan ke depan bersiap akan melangkah.
Mata Azam menyipit memandang tas kain yang di sandang di bahu sebelah kiri gadis itu. "Lu bawa apaan?" tanyanya.
Arumi menghentikan langkah. Keningnya juga berkerut mendengar pertanyaan Azam. "Bawa apa? Saya gak ada bawa apa-apa."
Azam menggelengkan kepala. "Eh, buta. Tas yang lu sandang di bahu itu apa?"
Arumi meraba-rabakan tangannya, lalu tersenyum memamerkan barisan gigi. Baru sadar dia jika membawa tas.
"Kenapa lu malah senyam-senyum? Gue nanya apa yang lu bawa?"
Padam seketika senyum yang merekah di bibir gadis itu. "Saya bawa mukena! Kan, Bang Rayen sendiri yang bilang, kalau cafe teman Bang Rayen itu tutupnya sampai jam 9 malam. Makanya saya bawa mukena, agar bisa shalat!" jawabnya sengit.
"Ooh." Hanya itu tanggapan yang keluar dari mulut Azam. Kemudian ia mendekati Arumi, lalu berbalik badan. Menyerahkan pakaian belakangnya di pegang gadis itu. "Cepat, kita sudah telat!"
"Iya, iya!" Segera Arumi mengulurkan tangan dan meremas kuat pakaian pemuda itu. "Memangnya aku anak kecil, harus di tuntun segala!" gerutunya pelan.
"Eh, lu maki gue ya?" tanya Azam. Dia tidak begitu jelas mendengar yang di ucapkan Arumi barusan.
"Ma-mana ada. Saya gak ada ngomong apa-apa kok," kilah Arumi.
"Ngeles aja lu! Kalau berani, maki gue di depan jangan di belakang!" dengus Azam, lalu mulai melangkah.
Arumi pun ikut melangkah. Dalam hati dia masih mengomel. Bahkan, tongkat di tangan, rasanya ngin sekali di ayunkannya ke kepala pemuda itu.
***
15 menit kemudian. Azam telah sampai di cafe. Segera dia turun dari mobil dan berjalan membukakan pintu di sebelah Arumi duduk.
Tiga orang karyawan yang akan memulai bekerja hari ini juga sudah menunggunya di depan pintu masuk.
"Kak Rumi!" Aida--salah satu karyawan yang merupakan tetangga Arumi mendekat dan membantu Arumi turun dari mobil.
"Aida, sudah sampai ya? Kenapa gak bareng sama Kakak dan Bang Rayen aja tadi? Kan bisa irit ongkos," ujar Arumi.
Aida mengerutkan kening. Mobil sport keluaran Italia yang hanya memiliki satu jok penumpang di pandangnya.
'Memangnya kalau aku ikut. Aku duduk di mana? Ishk, beruntung sekali Kak Rumi bisa naik mobil mewah ini.'
"Oii, kalian mau kerja atau mau ngurumpi?" tegur Azam yang telah membuka pintu cafe.
Arumi mencebik bibir. Lalu mengajak Aida masuk ke dalam.
Terlebih dulu, Azam membagi tugas masing-masing karyawannya. Satu orang karyawan yang bernama Roni di beri tugas menyambut pengunjung. Dan Dodi di beri tugas melayani pengunjung dan membawakan pesanan untuk pengunjung. Sedangkan Aida di beri tugas membantu Arumi di dapur.
Azam juga mengajarkan Arumi cara menggunakan alat-alat masak yang semuanya modern.
Setelah semuanya paham, Azam pun pergi meninggalkan mereka.
"Kak Rumi, yang tadi itu bos kita ya?" tanya Aida.
"Bukan, Bang Rayen itu teman pemilik cafe ini. Dia di percaya temannya mengurus cafe ini," jawab Arumi.
"Ooo, kirain dia pemilik cafe ini. Orangnya ganteng banget lho, Kak. Kira-kira dia sudah punya pacar atau belum, Kak?" tanya Aida lagi.
"Hmm, Kakak juga gak tau," jawab Arumi.
"Semoga saja dia belum punya pacar ya Kak. Biar bisa jadi gebetan Aida. Hehehe...."
Arumi terdiam. Hilang semangatnya mendengar pengakuan Aida barusan.
***
"Jangan lupa mampir. Khusus hari ini, cafe kami sedang mengadakan diskon 50%." Kata-kata itu selalu di ulang Azam ketika membagikan brosur pada orang-orang yang lewat. Tiba-tiba saja brosur di tangannya di rebut seseorang.
Spontan kepala Azam menoleh pada orang tersebut.
penasaran ending nya bakalan kayak apa Thor