Kehadiran Damar, pria beranak satu yang jadi tetangga baru di rumah seberang membuat hidup Mirna mulai dipenuhi emosi.
Bagaimana Mirna tidak kesal, dengan statusnya yang belum resmi sebagai duda, Damar berani menunjukkan ketertarikannya pada Mirna. Pria itu bahkan berhasil membuat kedua orang tua Mirna memberikan restu padahal merek paling anti dengan poligami.
Tidak yakin dengan cerita sedih yang disampaikan Damar untuk meluluhkan hati banyk orang, Mirna memutuskan mencari tahu kisah yang sebenarnya termasuk masalah rumahtangga pria itu sebelum menerima perasaan cinta Damar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasehat
Sejak kejadian siang itu hubungan Damar dan Mirna kembali merenggang. Mirna menghindari interaksi dengan Damar kecuali di depan Chika keduanya tetap menjalankan peran sebagai orangtua seperti biasa.
“Ngapain kalian berdua datang kemari ? Ganggu orang kerja aja,” gerutu Damar saat Rangga dan Ardi masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu.
Waktu sudah menunjukkan sekitar jam 6 sore, hanya tinggal Budi yang ada di depan ruangan Damar.
“Mau menghibur elo lah, masa kencan,” cibirArdi lalu tertawa.
“Mau menghibur adik ipar gue yang terlupakan sama istrinya,” timpal Rangga santai.
Sambil menghela nafas Damar beranjak dari kursi kerjanya dan bergabung di sofa. Wajahnya kelihatan kusut dan ia pun menyandarkan kepalanya dengan posisi setengah mendongak.
“Gimana ceritanya Mirna bisa ketemu Marsha di panti ? Apa mereka janjian ?” tanya Rangga dengan alis menaut.
Rangga baru mendengar cerita Ardi saat mereka sedang dalam perjalanan menuju kantor Damar. BeBegitu Ardi menyebut nama wanita yang pernah membuat rumah tangga adiknya sempat terguncang, Rangga hanya bisa menghela nafas berkali-kali.
“Gue juga nggak tahu, Ga,” sahut Damar tanpa merubah posisinya.
“Gue aja sempat kagaet begitu melihat Mirna sudah duduk di dalam resto soalnya jauh banget dari rumah dan nggak sama Damar. Lebih kaget lagi begitu melihat cewek yang makan sama adik lo.”
“Dam.”
“Hhhmmm.”
“Elo yakin nggak punya hubungan apa-apa sama Marsha ?”
Pertanyaan Rangga membuat mata Damar membola dan posisi duduknya langsung tegak meski masih bersandar di sofa.
“Ya udah pasti nggak ada lah, Ga !” tegas Damar dengan nada sedikit emosi.
“Elo kan tahu persis gimana hubungan gue sama dia, gimana gue sudah mengatur omongan untuk menolak keinginan mama menjodohkan kami berdua. Gue benar-benar bersyukur saat papa membatalkannya bukan karena protes gue.”
“Tapi elo tetap menerima dia terlibat di perusahaan terlibat masalah, Dam. Bukan berpihak sama Mirna karena dia adik gue tapi sejauh ini intuisi Mirna selalu tepat. Ya kadang-kadang rasa khawatirnya sedikit berlebihan, mungkin karena dia perempuan.”
Damar menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sebelum bertatapan dengan Rangga.
“I’m very sorry, Ga. Sampai detik ini hati gue masih sangat menyesal kalau ingat sama kebodohan itu apalagi setelah tahu kalau Marsha berteman sama Firman.”
“Masalah itu nggak bisa kita apa-apain lagi karena sudah terjadi, tidak bisa dihapus tapi bisa dicegah supaya tidak terulang kembali.”
“Gue beneran nggak punya perasaan apa-apa apalagi hubungan khusus sama Marsha, Ga,” protes Damar dengan suara sedikit keras.
Rangga menarik satu sudut bibirnya. “Kita berdua adalah orang yang paling mengenal Mirna setelah papa mama. Percayalah kalau kekhawatiran Mirna bukan sekedar cemburu seorang istri.”
“Gue paham dan sangat menyesalinya,” gumam Damar dengan wajah penuh penyesalan.
“Elo harus menghadapi kemungkinan terburuk seandainya ingatan Mirna bisa kembali normal.”
“Maksud lo Mirna bisa aja balik membenci Damar dan tetap melanjutkan niatnya untuk berpisah ?” celetuk Ardi sambil tertawa pelan.
“Pisah ?” Mata Damar langsung membola karena kaget.
Ditatapnya Rangga dan Ardi bergantian dengan isyarat minta penjelasan.
“Sejak kapan Mirna minta pisah ?” tanya Damar yang kali ini lebih intens menatap Rangga.
“Seminggu sebelum kecelakaan, Mirna sempat ngobrol lama sama gue di kantor. Saat itu dia sempat menyinggung soal niat untuk pisah sama elo tapi terpaksa dilupakan begitu tahu sedang hamil dan tiga hari setelahnya ternyata Mirna menemui mama dan bertanya bagaimana pendapat orangtua gue seandainya kalian berpisah.”
“Arrgghh !” Damar menjambak rambutnya dengan kedua tangan, wajahnya kelihatan frustasi, marah dan kesal.
“Lebih baik elo berhati-hati sama Marsha , Dam,” nasehat Ardi.
“Selain itu sebelum ingatan Mirna benar-benar kembali, lebih baik elo coba merefleksi diri, kira-kira kesalahan apa yang membuat Mirna sampai di titik keputusan itu. Elo pasti tahu kalau adik gue bukan perempuan yang gampang menyerah !” timpal Rangga.
Damar masih menjambak rambutnya dengan kepala sedikit menunduk.
Maafkan aku karena menyakitimu begitu dalam sampai kamu ingin menyerah dan pergi dariku Mirna, batin Damar.
***
Sambil mengaduk jusnya, bolak-balik Mirna menatap ke arah pintu masuk. Hatinya gelisah dan sudah tidak sabar menunggu seseorang yang ingin ditemuinya.
Kali ini Mirna terang-terangan pergi tanpa peduli bagaimana reaksi Damar. Rasa ingin tahunya sudah tidak bisa ditahan, ia harus mencari kebenaran tentang cerita hidupnya sebelum kecelakaan.
Sudah 45 menit Mirna menunggu dan sampai detik ini belum ada whatsapp pembatalan. Mirna menghela nafas.
Saking gugupnya Mirna sampai memesan satu gelas jus lagi dengan rasa yang sama.
“Maaf aku telat banget, mendadak ada anak yang jatuh dari sepeda butuh penanganan,” sapa seorang pria yang masih mengenakan snelli.
Kepala Mirna mendongak, bibirnya menyunggingkan senyum.
“Apa kabar om Steven,” candanya sambil tertawa melihat wajah dokter tampan itu ditekuk.
“Mau minta tolong masih berani panggil om.”
“Makin ganteng loh kalau cemberut begitu, bisa-bisa aku jatuh cinta nih.”
“Cewek gatel,” gerutu dokter tampan itu sambil menarik kursi di hadapan Mirna.
Bukannya tersinggung, Mirna masih saja tertawa.
“Ada masalah apalagi ?” tanya dokter Steven. “Chika sakit atau kamu hamil lagi ?”
“Nggak dua-duanya,” sahut Mirna sambil menggelengkan kepala.
“Terus ?”
Sambil menunggu pelayan mengantar pesanan Steven, Mirna mengeluarkan botol obat dari dalam tasnya.
“Kenapa lagi dengan obat ini ?”
Alis Mirna menaut, menatap Steven yang sedang menyeruput kopinya.
“Apa aku pernah menanyakan obat ini sebelum kecelakaan ?”
“Iya dan aku sudah memberitahumu hasilnya.”
“Aku tidak ingat sama sekali, Kak ?”
Steven tersenyum tipis dan menggenggam jemari Mirna yang sedang memegang botol obat.
“Kami masih belum yakin kalau Damar tidak tahu kalau isi botol ini sudah diganti ?”
“Semuanya benar-benar gelap, Kak, tidak tahu harus seberapa jauh sama mas Damar karena dia belum benar-benar terbuka padaku.”
“Boleh aku kasih nasehat ?”
”Hhhmm,” sahut Mirna sambil mengangguk.
“Aku percaya pada Damar sekalipun sampai saat ini dia belum mau bilang darimana ia mendapatkan vitamin ini.”
Dokter Steven mengangkat botol obat yang ada di atas meja.
“Jadi mas Damar yang memberikan vitamin ini padaku ?”
“Begitu ceritamu saat minta aku memastikan kandungan obat ini.”
Mirna kembali menghela nafas sambil mengaduk-aduk minumannya.
“Aku harus bagaimana, kak ?”
“Aku yakin kalau Damar sangat mencintaimu. Hidupnya benar-benar kacau saat kamu koma dan Damar terus menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kecelakaanmu.”
“Tapi mas Damar belum mau terbuka sepenuhnya padaku, Kak.”
“Cobalah bicara baik-baik dan tunjukkan segala bukti yang kamu punya. Kalau dia masih bersikeras menutupi sebagian fakta, minta Rangga jadi penengah. Hanya kakakmu yang paling mengerti kalian berdua.”
Mirna menghela nafas sambil membuang muka ke luar jendela.