Dalam hidup terkadang kita tidak bisa memaksakan kehendak meskipun ingin. Rasa ingin memiliki yang begitu besar harus mengalah pada takdir dan kenyataan yang tidak sejalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri_1987, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Reyna melipat kening mendengar tuduhan Dimas. Atas dasar apa dia sampai menuduh seperti itu. Jika itu karena Reyna mau menemani Dokter Irfan datang ke acara Mbak Diana, ibunya Sherin itu karena Reyna semata-mata untuk membalas kebaikan Dokter Irfan selama ini pada Reyna. Bukan karena Reyna punya perasaan lebih terhadapnya.
Semua itu sudah Reyna jelaskan kemarin pada Dimas. Entah dia lupa atau pura-pura lupa sehingga selalu saja kejadian itu yang diungkitnya.
"Apa aku perlu menjelaskan lagi kenapa aku bisa datang ke acara mertuamu bersama Mas Irfan?"
Dimas diam. Nafasnya kasar dan memburu. Reyna tahu laki-laki itu sedang dalam mode marah sekarang. Tapi Reyna tetap tidak akan merubah keputusannya.
"Kamu sudah berubah, Rey! Cintamu padaku sudah tidak lagi seperti dulu. Kamu tega menyakiti aku sampai sedalam ini. Padahal aku sudah menaruh harapan pada hubungan kita ini. Aku mengira kalau kita tidak akan berpisah lagi. Ternyata aku salah, kamu memilih menyerah setelah melangkah sejauh ini. Aku kecewa, Rey!" ujar Dimas lirih. Dia sedang berusaha mengontrol emosi.
Mungkin laki-laki pemilik mata elang itu sadar jika Reyna tidak akan mengubah keputusan betapa pun kerasnya dia menolak.
"Aku ingin kamu memikirkan ulang keputusanmu, Rey! Jangan bertindak gegabah hanya karena mendengar kabar kehamilan Sherin. Semua itu tidak akan merubah perasaanku terhadapmu. Kamu tetap teristimewa."
"Maaf, Mas. Aku tidak bisa!"
"Mengenal Om Irfan telah berhasil mengubahmu sejauh ini, Rey! Aku benar-benar tidak menyangka."
"Sudah berulang kali kukatakan, kalau semua ini tidak ada hubungannya dengan Mas Irfan."
Dimas tertawa lirih. Terdengar bagai ejekan di telinga Reyna. "Memang profesi dokter terlihat wah di mata masyarakat. Apalagi dengan gelar berderet seperti gelar yang dimiliki oleh Om Irfan. Dr.dr. Irfan Bagaskara, sp.jp. Fantastis bukan? Aku tidak menyangka ternyata semua itu membuatmu silau. Memang, dinikahi olehnya akan membuat derajatmu naik di mata masyarakat."
Reyna menegakkan kepalanya, begitu mendengar kata-kata yang begitu tajam yang keluar dari mulut Dimas. Sangat keterlaluan jika dia mengira Reyna menjalin hubungan dengan Dokter Irfan karena gelar dan jabatannya.
"Pendek sekali cara berpikirmu, Mas!" Reyna menatapnya tajam. Kata-kata Dimas sungguh menyakitkan. "Aku tidak mengira kamu menilai aku serendah itu. Jangan bawa-bawa nama Mas Irfan dalam masalah kita. Tidak ada hubungannya sama sekali. Jangan lagi menyalahkan orang lain, jelas sekali di sini kita berdua yang salah!"
"Lalu kenapa tiba-tiba kamu membuat keputusan seperti ini?"
"Banyak yang aku pertimbangkan, Mas!" suara Reyna melunak. Wanita itu sudah lelah menarik urat leher menghadapi Dimas.
"Mungkin kehamilan Sherin adalah suatu pertanda bagi kita untuk segera mengakhiri hubungan terlarang kita. Aku sadar, aku salah besar jika sampai membuatmu meninggalkan Sherin. Sebelum kebusukan kita terbongkar, lebih baik kita mengakhirinya saja. Bayangkan seberapa besar marah dan kecewanya Sherin jika dia sampai tahu. Tentunya kamu tidak mau sesuatu terjadi padanya, apalagi dia kondisinya sedang mengandung anakmu.
Kita berdua sama-sama menanggung malu jika masyarakat sampai tahu. Kamu tidak pernah tahu tajamnya mulut mereka jika sedang menghakimi pelakor sepertiku. Kasihani aku, Mas! Kasihani Ibuku! Bayangkan jika sampai Ibu tahu. Aku tidak mau sesuatu terjadi padanya. Aku hanya punya Ibu, Mas!
Sebelum semuanya terlambat, sebelum ada yang mengetahuinya mari kita akhiri secara baik-baik. Kamu kembali pada istrimu, dan aku kembali menjalani hidup seperti aku sebelum bertemu denganmu.
Jika kamu bertanya bagaimana hati ini, semua masih sama, Mas. Aku masih mencintaimu. Tidak berubah sejak dulu. Hanya saja keadaan yang sudah berubah. Kita tidak bisa hidup sesuai keinginan kita tanpa memikirkan orang lain."
"Tapi, Rey....."
"Cobalah mengerti, Mas. Aku mohon! Tolong lepaskan aku. Jangan menemui aku lagi. Biarkan aku memulai hidup baru. Aku sudah lelah selalu dihantui rasa bersalah terhadap Sherin. Bahkan menatap matanya pun tak sanggup aku lakukan.
Satu lagi, jangan menyalahkan orang lain. Di sini semua murni kesalahan kita. Mereka semua adalah korban dari keegoisan kita."
Dimas terdiam. "Aku tidak bisa, Rey!"
Reyna menatapnya lama. Bingung bagaimana lagi ia harus menjelaskan. Dimas benar-benar keras kepala. Sulit sekali untuk menyakinkan dia. Rasanya Reyna sudah tidak ada lagi stok kata-kata lagi untuk diungkapkan.
"Aku tidak bisa, Rey! Tolong pahami aku. Bertahun-tahun aku menunggu kita kembali seperti ini. Kehadiran Sherin tidak mampu menutup lubang kosong dalam hati ini."
"Apa kurangnya Sherin sebagai istrimu?"
"Tidak ada." Dimas menggeleng. "Dia selalu melakukan yang terbaik untuk kami. Tapi hatiku tidak pernah tergerak untuk mencintainya. Aku hanya melakukan kewajibanku sebagai suami terhadapnya."
"Mulai sekarang belajarlah untuk menerima dia, Mas! Itu hal terbaik untuk menebus kesalahanmu selama ini. Setidaknya lakukanlah itu untukku, jika kamu benar-benar mencintaiku.Aku pamit, Mas! Sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan." Reyna beranjak meninggalkan Dimas.
"Rey..... Tidakkah kamu mau berpikir ulang? Aku akan melepas segalanya demi kita bisa bersama. Aku mohon!"
Reyna memalingkan muka, menghindari tatapan mereka bertemu. Tatapan memohon dan raut terluka Dimas membuat dada Reyna kembali bergetar.
'Tidak.... Tidak lagi! Jangan sampai terjadi lagi. Susah payah aku berusaha, jangan sampai semua menjadi sia-sia. Keputusanku untuk mundur sudah benar. Aku tidak boleh goyah.'
"Maaf, Mas!"
Reyna membuka pintu dan segera berlalu dari hadapan Dimas. Reyna harus cepat-cepat pergi sebelum pertahanannya kembali goyah. Ia harus tetap kelihatan kuat dibdepan Dimas.
"Tunggu, Rey! Kita belum selesai bicara." Dimas mencekal lengan Reyna. Mengejarnya sampai di halaman rumah.
"Lepaskan, Mas! Aku mau pulang. Aku sudah sangat terlambat. Ibu pasti sangat khawatir."
"Selalu saja Ibu yang kamu jadikan alasan. Kamu tidak pernah...."
"Lho Reyna...? Kok bisa ada di sini?" Reyna menoleh ke arah sumber suara. Wajah Reyna bertambah pucat sekarang. Begitupun Dimas. Dia pun tidak kalah kaget dan langsung melepas cekalan tangannya.
"Itu Dimas 'kan? Lho.... Lho... Kok bisa sama-sama. Sedang apa kalian di sini?"
Reyna memejamkan matanya. Tidak bisa berpikir lagi. Otaknya terasa kosong. Semua terjadi dengan tiba-tiba dan sangat mengejutkan. Kenapa harus sekarang?