Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31.
Setelah perjalanan lebih dari tiga jam, mobil akhir nya memasuki wilayah desa yang menjadi tujuan mereka. Jalan menanjak tajam dan berkelok kelok, seolah menembus jantung pegunungan. Di sisi kanan dan kiri, pohon pohon besar berdiri kokoh seperti penjaga tua yang bisu, daunnya bergemerisik disapu angin. Di antara rimbun pepohonan, tampak area perkebunan dan sawah membentang luas, sebagian tertutup kabut tipis yang turun perlahan.
Namun satu hal yang paling menarik perhatian mereka adalah deretan penjor yang menghiasi sepanjang jalan desa. Tinggi menjulang, anggun melambai di langit, terbuat dari janur kuning yang dirangkai indah. Bambu panjang itu menancap tegak, hiasannya berayun lembut diterpa angin, menciptakan bayangan aneh di atas permukaan jalan.
“Pak, kok banyak sekali penjor di tepi jalan?” tanya Pungki, masih memangku tubuh Windy yang diam tenang di pangkuannya.
“Iya, Kak,” jawab sopir itu tenang, matanya terus menatap jalan di depan. “Sang Ratu sedang mengadakan pesta pernikahan besar.”
“Oooh…” gumam mereka serempak, seolah rasa penasaran menyatu dalam satu tarikan napas.
“Terus, siapa yang memasang penjor-penjor itu, Pak?” tanya Ndaru yang duduk di belakang sambil menatap keluar jendela.
“Masyarakat desa ini, Pak. Mereka ikut bergembira menyambut pernikahan Sang Pangeran.” Sopir tersenyum samar, tapi di balik senyum itu ada sesuatu, entah kenangan, atau mungkin rahasia yang tak diucapkan.
Hening. Tak ada yang bicara lagi. Namun di dalam hati mereka, rasa penasaran bergolak...
Beberapa menit kemudian, mobil melambat, berhenti di depan kantor travel dan tour kecil di pinggir jalan desa.
“Pung, kamu dan Mas Syahrul menginap di sini dulu, ya. Home stay tempatku dan keluarga Andien nggak jauh dari sini. Ningrum ikut di homestay, tapi Rico juga di kantor ini,” ucap Ndaru saat mobil berhenti sempurna.
“Iya, Ru. Selama aku belum resmi dengan Andien, pasangan tidurku tetap Mas Syahrul,” jawab Pungki sambil tersenyum kecil, menoleh pada Syahrul.
“Kakak Pung Pung, ada aku juga…”
Suara imut Windy terdengar lembut, tapi hanya telinga Pungki yang menangkapnya.
Pungki terkekeh dalam hati. “Iya, iya Windy, aku nggak lupa. Kamu teman tidurku juga,” gumamnya diam diam sambil tertawa kecil.
Namun tawa itu tiba tiba terhenti. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
“Bagaimana kalau nanti aku sudah menikah dengan Andien… apakah Windy akan tetap ada? Akan mengganggu?”
Windy hanya diam. Ia bisa mendengar gumaman itu, tapi tak mengerti maksudnya. Di matanya yang bening, dunia manusia masih penuh misteri.
Begitu mobil berhenti, Pungki, Ndaru, dan Windy segera turun. Windy menempel erat di dada Pungki, seolah takut terlepas. Tas ransel besar di punggung membuat Pungki sedikit membungkuk, namun ia tetap menatap sekitar dengan waspada.
Setelah menurunkan mereka, mobil kembali melaju menuju homestay tempat rombongan keluarga Ndaru menginap.
---
Sementara itu, mobil rombongan pengantin wanita berhenti di homestay paling megah di desa itu. Dari luar, bangunannya terlihat anggun, tapi ada nuansa ganjil yang menggantung di udara, seperti ada mata tak kasatmata yang mengintip dari balik pepohonan.
Pak Hasto, Bu Hasto, dan Bu Lastri , ibu kepala pelayan - terus mendampingi Anisa yang duduk diam. Kedua orang tua Fatima juga ikut menemaninya.
“Ayo, Nis, turun. Kamu masih satu kamar dengan Bu Lastri,” ucap Bu Hasto sambil membuka pintu mobil.
“Iya, Bu…” jawab Anisa lirih. Suaranya bergetar. Jantungnya berdebar cepat, entah karena gugup atau firasat yang tak bisa dijelaskan.
Begitu kakinya menginjak tanah, Anisa merasa seolah ada banyak mata yang menatapnya dari segala arah. Ia menoleh ke kanan dan kiri, para pegawai homestay tampak sibuk membawa koper koper besar. Tak satu pun yang memperhatikannya.
“Aneh… siapa yang menatapku tadi?” pikirnya. Ia menatap ke jalan. Beberapa warga desa memang lewat, tapi pandangan mereka sekilas saja.
Namun saat Anisa mendongak, menatap pepohonan rimbun di sekitar penginapan, bulu kuduknya berdiri. Seolah dari balik dedaunan di atas sana, ada sesuatu yang sedang menatapnya balik. Diam, menunggu, dan hidup.
“Ayo, Nis, kita segera masuk. Ibu mau istirahat,” ucap Bu Lastri sambil menggandeng tangan Anisa.
“Iya, Nis . Aku juga mau istirahat biar besok segar,” tambah Bu Hasto yang berjalan di sisi lain.
Mereka melangkah masuk. Emak hanya diam, wajahnya pucat, matanya setengah terpejam sambil berpegangan pada Bapak. Ia masih pusing karena mabuk perjalanan. Pak Hasto sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah penginapan, menatap sekeliling dengan tatapan gelisah.
“Bu… tempat kerajaan jin itu di mana?” tanya Anisa tiba tiba. Suaranya nyaris berbisik, seolah takut ada yang mendengar selain Bu Hasto.
“Di atas gunung itu, Nis,” jawab Bu Hasto pelan sambil menunjuk ke arah puncak gunung. “Ada danau besar yang indah. Di sanalah istana Sang Ratu berada. Katanya, seluruh area gunung dan hutan lebat itu adalah kerajaan Sang Ratu.”
Anisa menelan ludah. Gunung itu tampak gelap, diselimuti kabut, seolah menyimpan kehidupan lain di dalamnya.
“Terus, saya dirias dari sini, Bu?” tanyanya lagi.
“Iya, Nis. Besok siang perias datang ke sini. Mereka sudah menginap di homestay sebelah.”
Anisa melangkah perlahan masuk ke dalam rumah, tapi langkahnya terasa berat. Ada perasaan aneh… seolah setiap gerak tubuhnya diikuti oleh sesuatu yang tak terlihat.
“Kenapa akhir akhir ini aku merasa selalu ada yang mengikuti aku… dan saat di sini terasa semakin banyak..” gumamnya dalam hati, matanya menatap bayangan sendiri di lantai.
🏡🏡🏡
Sementara itu, di salah satu kamar kantor travel dan tour, Pungki dan Syahrul sudah berganti pakaian santai.
Pungki duduk jongkok di lantai, membongkar isi ranselnya yang penuh. Wajahnya serius.
“Cari apa sih, Pung? Sibuk banget. Jangan jangan nyari kunyit lagi?” tanya Syahrul sambil duduk santai di kursi, menatap Pungki yang sibuk.
Windy masih menempel di punggung Pungki, seolah enggan berpisah dari Kakak Pung Pung nya.
“Cari sesuatu buat penyamaran Windy. Biar sempurna,” gumam Pungki tanpa menoleh.
“Apa sih, Kakak Pung Pung?” suara Windy terdengar manja, penuh rasa ingin tahu.
Tak lama, Pungki menemukan yang dicari. Sebuah bungkus kecil cat rambut herbal. Ia mengangkatnya tinggi.
“Ini dia…” ucapnya pelan. Senyum misterius muncul di bibirnya.
“Ayo, Wind. Kita ubah rambut kamu. Tenang, ini cat alami, nggak permanen, dan aman buat anak kecil,” ucapnya dalam hati sambil berdiri.
Windy menatap wajah Pungki dengan mata berbinar. Ia tidak tahu apa itu cat rambut, tapi kepercayaan pada Pungki membuatnya diam saja.
“Aku boleh lihat Windy nggak, Pung?” tanya Syahrul pelan, nada suaranya setengah bercanda, setengah sungguh sungguh.
Pungki menatapnya sekilas. “Aku boleh lihat Kakek kamu nggak, Mas?”
Syahrul tertawa kecil. “Ya tanya dulu Kakek Jin mau atau nggak dilihat sama kamu.”
Pungki ikut tersenyum tipis. “Ya, aku juga tanya dulu sama Windy. Tapi kalau besok... sepertinya semua orang bakal bisa lihat dia. Melihat dengan jelas seperti manusia, nggak samar seperti bayangan yang tak bisa diraba.. ”
Sambil membawa bungkusan itu, Pungki melangkah menuju kamar mandi. Angin tiba tiba berhembus pelan di ruangan, membuat tirai jendela bergoyang halus.
Syahrul hanya memandangi punggung Pungki yang perlahan menghilang di balik pintu. Entah kenapa, perasaannya tiba tiba tidak enak.
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣