Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.
Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.
Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.
“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”
Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Keesokan paginya, sinar matahari menembus masuk melalui sela tirai kamar Serena, membangunkannya secara perlahan. Setelah merapikan diri, dia turun menuju ruang makan dengan rambut yang masih sedikit basah di bagian ujungnya.
Begitu sampai di meja makan, pandangannya seketika terhenti. Meja itu dipenuhi beragam hidangan: sandwich tuna kesukaannya, salad sayuran, roti panggang lembut, hingga beberapa buah segar yang baru dipotong. Aroma yang lembut memenuhi ruangan, memberikan kesan hangat yang jarang dia rasakan di pagi hari.
“Pagi, Sayang.” Melvia menyambutnya dengan senyum yang lembut.
“Oh, sudah bangun rupanya si cantik. Ayo sarapan dulu. Bibimu memasak menu spesial untukmu,” ujar Antonio sembari menarik kursi dan menyilakannya duduk.
Serena menatap mereka berdua dengan penuh tanda tanya. Sikap sang paman terutama terasa berbeda—lebih lembut, lebih memperhatikan, tidak ada instruksi panjang atau larangan yang biasanya menjadi rutinitas.
“Pagi juga, Paman… Bibi.” Suaranya terdengar pelan, masih penuh rasa heran. “Ada apa? Siapa yang ulang tahun? Setahuku, hari ini bukan hari ulang tahunku.”
Melvia tersenyum lembut. “Tidak ada yang ulang tahun. Bibi hanya ingin melihatmu menikmati sarapan dengan hati yang senang. Kamu perlu semangat untuk belajar hari ini.”
Antonio meletakkan piring berisi sandwich tuna yang sudah dipotong kecil-kecil. “Makan yang banyak. Tubuh dan pikiranmu butuh energi.”
Serena tersenyum kecil. Rasa hangat yang lama tidak dia rasakan muncul kembali, namun di balik itu, ada sedikit getir yang tidak bisa dia jelaskan. Mungkin karena semalam dia telah menyerahkan keputusan hidupnya pada orang yang sama sekali tidak dia pilih.
Namun pagi ini, Serena memilih untuk menikmati apa yang ada di hadapannya. Dia makan dengan lahap—lebih lahap dari biasanya. Bahkan dia menambah porsi, sesuatu yang dua minggu terakhir tidak pernah terjadi sejak Paman menolak hubungannya dengan Gabriel.
“Serena berangkat dulu ya,” ucapnya setelah selesai dan Antonio mengangguk. Serena pun diantar oleh supir menuju kampus.
Sesampainya di kampus, Serena berjalan cepat lalu mendekat ke arah seseorang yang sedang duduk sendirian sambil membaca buku. Gaby. Sahabatnya sejak awal masuk kampus.
“Gaby!” Serena menepuk kedua bahu sahabatnya dari belakang dengan senyum ceria yang sulit ditebak datang dari mana.
Gaby tersentak kecil, lalu menoleh dengan wajah sedikit kesal bercampur lega. “Serena, kamu membuatku kaget. Aku kira siapa.”
Serena tertawa pelan. “Sudah lama tidak melihat kamu serius begitu. Baca apa?”
“Persiapan kuis. Kamu sudah belajar?” tanya Gaby sambil menutup buku.
“Tentu saja. Masa aku tidak siap.”
Melihat Serena tersenyum selebar itu, ekspresi Gaby berubah senang. “Sepertinya kamu bahagia sekali hari ini. Ada kabar baik? Atau jangan-jangan… kemarin kalian, kamu dan Gabriel, melakukan sesuatu?”
Serena menatap Gaby dengan tatapan penuh rahasia. “Mau tahu saja atau mau tahu banyak?”
“Serena!” Gaby memukul lengannya ringan sambil tertawa.
Keduanya berjalan bersama menuju kelas dengan tawa kecil yang ringan, membuat kampus terasa lebih hangat bagi keduanya.
Sesampainya di depan kelas, Serena menyerahkan tasnya. “Tolong jagakan sebentar. Aku ke toilet dulu.”
“Jangan lama. Kelas sebentar lagi dimulai.”
Serena berjalan ke toilet, sementara Gaby membawa tasnya masuk ke kelas. Beberapa menit kemudian, Serena kembali. Kelas dimulai.
Dosen memberikan sesi tanya jawab yang berlangsung cukup intens. Serena menjawab beberapa pertanyaan dengan lancar, seolah pikirannya kembali hidup.
Setelah kelas usai, mereka memutuskan untuk menuju taman kecil di samping perpustakaan terbuka. Suasana saat itu begitu tenang.
Suara daun yang tertiup angin, dan cahaya matahari yang teduh menciptakan ruang nyaman untuk beristirahat seLexaak sebelum jam kelas berikutnya. Serena duduk di bangku kayu, menarik napas panjang.
"Serena. Aku tinggal dulu ya, beli minuman dan camilan. Kamu mau titip apa?" tanya Gaby yang baru saja menaruh tas di samping Serena.
"Ehm, Es kapucino satu dan French fries! Jangan lupa sausnya yang banyak!" ucap Serena.
Gaby langsung berkata, "Baik, Bos!"
Serena tersenyum melihat kepergian Gaby yang mulai menjauh. Beruntungnya dia memiliki sahabat yang begitu pengertian. Gaby selalu mendukungnya dan memberikan semangat di saat dia berada di titik terendah.
Apalagi, saat Gaby tahu tentang malam kelam yang menurut Serena tidak akan mudah dia lupakan begitu saja. Namun, Gaby selalu menguatkannya dan mampu menjaga rahasianya dari semua orang, hingga dia pun bisa berdiri tegar sampai saat ini.
"Oh, ayolah, Serena! Lupakan malam itu, kamu bisa!" gumam Serena pada dirinya sendiri.
Ya, tidak mudah bagi Serena untuk melupakan malam kelam bersama pria yang tak terduga yaitu Nicholas—sosok pria yang berhasil merenggut mahkotanya yang dia jaga untuk kekasih tercinta, yaitu Gabriel—masih menghantuinya.
Sampai Serena harus berhadapan dengan Nicholas sebagai pembimbingnya selama semester ke depan. Bayangkan betapa sulitnya dia harus berperang melawan rasa benci sekaligus rasa aneh mulai timbul secara perlahan saat menghadapi Nicholas, agar mau menerima garis hidupnya berurusan dengan pria itu demi sang paman.
Apalagi sekarang Nicholas mengancamnya akan menyebarkan video pergulatan panas mereka jika dia bermesraan dengan kekasihnya sendiri. Mau tidak mau, Serena menyetujui kesepakatan itu demi terhindar dari masalah tapi justru tambah masalah.
Namun, ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Serena memang membenci pria itu, tetapi kenapa setiap kali Nicholas menyentuhnya di tubuhnya justru seolah mendambakan pria itu?
"Oh, ayolah, Serena! Lupakan malam itu, lupakan semua tentang Nicholas, oke! Jangan pernah khianati Gabriel!" gumam Serena pada dirinya sendiri saat dia mendongak ke atas, berusaha agar air matanya tidak menetes. “Tapi sayangnya hubungan ini tidak akan berhasil Serena!”
Serena kembali mengingat tentang ucapan kedua orang tua Gabriel, mereka sangat jelas juga tidak menyukainya hanya sebatas sebagai anak adopsi.
Serena baru saja hendak menenangkan dirinya, mencari titik fokus setelah kegelisahan yang melanda, ketika tiba-tiba pipinya tersentak oleh tamparan yang sangat telak. Kepalanya terpuntir karena kekuatan hantaman itu, tubuhnya limbung, lalu rambutnya ditarik kasar hingga dia ambruk ke tanah.
Serena menahan sakit yang berdenyut di kepalanya, tetapi genggaman kasar itu semakin kuat. Seorang wanita berdiri di hadapannya dengan napas memburu dan mata yang dipenuhi kobaran amarah yang membakar.
"Perempuan tidak tahu diri," ucap Alexandra, suaranya bergetar menahan emosi yang meluap-luap.
Serena berusaha bangkit, tetapi rambutnya ditarik kembali sehingga tubuhnya kembali merosot. Napasnya terhambat, rasa sakit menjalar hingga ke tengkuk.
"Apa maksudmu?" Serena mencoba tetap tegar, meski seluruh tubuhnya gemetar.
"Sakit? Tentu sakit. Namun, rasa sakitmu tidak akan pernah sebanding dengan rasa hancur yang aku terima gara-gara dirimu," jawab Alexandra sambil menarik rambut Serena lebih keras, menciptakan jeritan perih yang terpendam.
Serena mendorong tangan Alexandra dan berhasil membalas dengan memegang rambut lawannya. Keduanya saling tarik dengan penuh kemarahan yang membabi buta.
Beberapa mahasiswa mulai berkumpul, membentuk lingkaran, sementara bisik-bisik menyebar dengan cepat seperti gelombang yang tak terhindarkan. Nama Serena dan Alexandra sudah menjadi pusat perhatian.
Veronica berlari dari kejauhan. Napasnya terengah-engah ketika melihat adegan pertengkaran itu.
"Berhenti! Alexandra, lepaskan!" ucap Veronica sambil meraih tangan sahabatnya, berusaha melerai.
Namun Alexandra terus menolak, menancapkan cengkeramannya. Serena juga masih menahan rambut Alexandra, membuat ketegangan semakin tidak terhindarkan.
Veronica kembali memaksa memisahkan keduanya, mengerahkan seluruh tenaga yang lebih besar dari tubuhnya yang kecil. Setelah beberapa tarikan yang menyakitkan, akhirnya genggaman mereka terlepas.
"Aku sungguh tidak mengerti apa maksudmu datang menyerangku seperti ini," ucap Serena dengan napas yang tidak beraturan. Rambutnya berantakan, pipinya memerah, dan suaranya terdengar bergetar menahan tangis.
Alexandra menunjuk Serena dengan ponsel yang terbuka pada layar pesan grup kampus. Tampak tulisan, tangkapan layar buku catatan pribadi, dan foto-foto yang tidak sepantasnya tersebar. Termasuk gosip yang menyudutkan Alexandra sebagai perempuan yang menawarkan dirinya demi popularitas.
"Ini perbuatanmu. Semua orang sudah melihat. Nama baikku hancur. Orang-orang menghinaku. Ada yang berani menawar tubuhku hanya dalam hitungan menit. Dan semua ini bermula dari berkas yang keluar dari ponselmu," suara Alexandra pecah, penuh kepedihan.
Serena membeku. Mata Serena mengarah ke layar itu. Pesan-pesan itu memang terlihat seperti berasal dari ponselnya. Namun, Serena tidak pernah menyebarkannya.
"Bukan aku. Aku bersumpah bukan aku," ucap Serena dengan suara lirih, nyaris kehilangan kekuatan bicaranya.
Alexandra tertawa pendek, tawa yang getir, menyakitkan. "Semua yang bersalah selalu mengatakan hal yang sama."
Alexandra melangkah maju. Tangannya terangkat, siap kembali menyerang. Serena yang merasa tidak akan tinggal diam lagi, mempersiapkan diri untuk melawan. Dan akhirnya, pertarungan kembali pecah. Rambut kembali ditarik, tangan terangkat, tubuh saling berbenturan.
Veronica terjebak di tengah, berteriak putus asa, "Hentikan! Kalian berdua, hentikan!"
Namun, tidak ada yang mendengar. Perasaan sakit, marah, malu, cemburu, dan luka yang tidak pernah terselesaikan, semua tumpah pada momen itu.
Di tengah kerumunan mahasiswa yang menonton, reputasi keduanya hancur bersamaan dengan teriakan dan tarikan rambut.
Sementara itu, Gaby yang baru kembali dengan dua gelas minuman dan sekantong camilan tertegun melihat keributan yang terjadi di tengah taman. Mata Gaby membesar ketika melihat Serena dan Alexandra saling serang. Tanpa pikir panjang, dia meletakkan minuman beserta camilan itu di atas kursi, lalu berlari menghampiri keduanya.
"Ada apa ini? Hentikan!" seru Gaby sambil menarik bahu Serena agar terpisah dari Alexandra. "Kalian sudah gila? Ini taman kampus, bukan gelanggang tinju!"
Alexandra yang masih menahan luapan rasa terhinanya mengarahkan tatapan penuh kebencian pada Gaby. Napasnya naik turun, wajahnya basah oleh air mata dan keringat.
"Kenapa lagi kau ikut campur, Gaby? Ini bukan urusanmu," ucap Alexandra.
"Urusan atau bukan, aku tidak akan membiarkan sahabatku diperlakukan seperti ini," balas Gaby, memeluk Serena yang masih terengah.
Alexandra menunjuk ke arah Serena dengan jari yang bergetar. "Sampaikan pada sahabatmu itu untuk belajar bersikap layak. Jangan bersikap seperti perempuan murahan yang menjual diri demi mempertahankan posisi."
Sorot mata mahasiswa lain mengarah pada Serena. Beberapa berbisik, beberapa saling menatap dengan tanda tanya dan rasa ingin tahu. Serena menunduk, rahangnya menegang, tampak berusaha tetap kuat saat pundaknya gemetar halus.
Gaby merasakan itu. Gaby menoleh kepada Alexandra dengan tatapan tajam. "Jaga perkataanmu. Serena tidak pernah melakukan hal yang kau tuduhkan. Kau menyerangnya tanpa alasan. Kau selalu mencari kesempatan untuk merendahkannya, hanya karena kau tidak bisa menerima kenyataan bahwa Gabriel memilih Serena, bukan dirimu."
Ucapan itu membuat suasana berubah. Alexandra terdiam sesaat. Wajahnya memucat, seolah kata-kata itu adalah penghinaan paling telak yang pernah dia terima. Veronica memandang Alexandra dengan tatapan iba, namun tidak dapat menghapus luka dalam yang sudah tergores.
Alexandra kembali menatap Serena. Air matanya menetes pelan namun pasti, bukan lagi karena kemarahan semata, tetapi karena rasa sakit yang selama ini dia pendam. "Jadi begitu. Kau takut tersaingi. Kau takut Gabriel akan melihat yang lain selain dirimu. Maka kau memilih menyerangku duluan. Kau menyebarkan semua hal itu hanya karena rasa takutmu sendiri."
Serena masih mematung, pandangannya kosong. Ada banyak kata yang ingin dia jelaskan, tetapi tidak ada satu pun yang dapat keluar. Dadanya terasa sesak, seolah ada pintu besar yang terkunci rapat di sana.
Melihat Serena yang tidak menjawab, Alexandra menghapus air matanya dengan punggung tangan. Suaranya bergetar namun tegas. "Aku tidak ingin bertarung lagi. Aku hanya ingin martabatku tidak diinjak."
Setelah mengucapkan itu, Alexandra berbalik dan berjalan pergi. Veronica menyusul dari belakang setelah menatap Serena sejenak. Tatapan itu bukan kebencian, namun penuh pertanyaan—tentang kebenaran, tentang luka, tentang batas yang terlampaui.
Tinggal Serena berdiri di sana, wajahnya memar, rambutnya acak, dan napasnya belum kembali normal. Sorot mata orang-orang masih tertuju padanya. Tidak ada yang berbicara, tetapi semuanya berbicara dalam hati.
Gaby yang masih memeluk Serena mempererat pelukannya. "Aku di sini. Aku percaya padamu. Aku tahu kebenaran yang sebenarnya.”
To be continued