 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penerbangan pertama Arinda
Leo sudah menyiapkan tiket honeymoon ke luar negeri. Namun bukan hanya berdua dengan Aurel, melainkan bertiga bersama Arinda. Negara tujuan mereka terkenal indah, romantis, dan penuh suasana baru yang pastinya membuat siapa pun betah.
Bagi Arinda, ini pengalaman pertama kali keluar negeri. Gadis polos desa itu memegang erat paspornya, bahkan wajahnya terlihat pucat ketika menatap tiket pesawat.
“Nyonya… Arin takut mabuk di pesawat,” gumamnya lirih sambil melirik Aurel yang duduk di sampingnya.
Aurel tersenyum, menepuk pelan punggung Arinda.
“Kamu tenang aja, Rin. Jangan gugup. Nanti aku temenin terus, biar kamu nggak panik,” katanya lembut, seolah berusaha menenangkan.
Sementara itu, Leo hanya memperhatikan mereka dari kejauhan. Demi menghindari sorotan publik, mereka pun masuk ke dalam mobil masing-masing. Leo memilih menyetir sendirian dengan ekspresi datar, sedangkan Arinda dan Aurelia naik mobil bersama.
Di balik kaca gelap mobilnya, Leo menggenggam erat setir, menahan berbagai perasaan. Baginya perjalanan ini bukan sekadar liburan, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar yang ia rencanakan.
Leo memesan tiket pesawat kelas first class—mahal, mewah, dan penuh privasi. Ia ingin perjalanan itu terasa aman, jauh dari mata publik yang bisa mencurigai kebersamaan mereka bertiga.
Sepanjang penerbangan, Arinda terlihat semakin manja. Gadis desa yang polos itu sejak awal duduk sudah bersandar di dada Leo, mencari rasa nyaman dari ketakutannya terhadap perjalanan jauh. Leo membiarkannya, bahkan sesekali merapikan lengan baju untuk menutupi bahu Arinda.
Aurel yang duduk di sampingnya justru tidak menunjukkan tanda-tanda cemburu. Matanya sibuk menatap layar film di kursi pesawat, sesekali tersenyum tipis. Tidak ada perasaan iri sedikit pun. Sebab dalam hatinya, Aurel menyimpan rahasia besar: ia tidak pernah mencintai Leo sebagai seorang laki-laki. Pernikahan itu hanyalah hasil perjodohan keluarga besar mereka, bukan pilihan hati. Dan rahasia itu hanya diketahui oleh Leo.
Setelah menempuh penerbangan panjang 17 jam, akhirnya roda pesawat menyentuh landasan bandara internasional di Swiss, negara yang terkenal dengan pegunungannya yang indah, danau biru jernih, serta kota-kota romantis.
Arinda memandang takjub dari jendela pesawat, matanya berbinar-binar melihat hamparan salju di puncak Alpen.
“Mas… indah banget ya… kayak mimpi,” bisiknya lirih.
Leo tersenyum, merangkul bahu gadis polos itu.
“Selamat datang di Swiss, Baby. Mulai sekarang, semua yang kamu lihat akan jadi cerita baru dalam hidupmu, Baby.”
Aurel menoleh sebentar, lalu tersenyum samar.
“Ya sudah, ayo kita nikmati liburan ini. Tapi ingat, kita di sini harus tetap terlihat normal di mata orang lain,” ucapnya tegas, menekankan bahwa meski rahasia mereka terjaga, publik tetap harus dibohongi dengan citra pernikahan bahagia.
Setelah melewati perjalanan panjang dari bandara dengan mobil pribadi yang sudah disiapkan, akhirnya mereka tiba di sebuah mansion megah milik keluarga Leo yang memang sudah lama berdiri di Swiss. Bangunan klasik bergaya Eropa itu menjulang tinggi dengan dinding batu putih, jendela besar berhias ukiran, serta taman luas yang penuh bunga mawar mekar.
Arinda turun dari mobil dengan langkah ragu. Matanya membulat, bibirnya sedikit terbuka menahan kekaguman.
“Mas… ini luas sekali,” ucapnya lirih sambil menatap kagum ke arah mansion yang megah.
Leo hanya tersenyum tipis, kemudian turun lebih dulu. Ia meraih koper besar mereka, menariknya dengan tenang menuju pintu masuk. Arinda refleks mengikuti di belakangnya, langkahnya kecil-kecil, seperti takut menginjak lantai marmer halaman yang terlalu bersih untuk kakinya yang terbiasa tanah desa.
Aurel keluar belakangan, wajahnya tenang seperti biasa. Ia melirik ke arah Arinda yang terlihat begitu kagum. “Kamu nggak perlu canggung, Rin. Anggap saja ini rumahmu juga,” kata Aurel, nada suaranya penuh makna.
Begitu pintu besar mansion terbuka, aroma wangi khas kayu mahal bercampur bunga segar langsung menyambut. Interiornya dipenuhi chandelier kristal, karpet merah tebal, dan lukisan-lukisan kuno yang tampak mahal.
Arinda berhenti sejenak di ambang pintu, menatap semua itu dengan takjub.
“Mas… aku nggak pernah bayangin bisa masuk rumah sebesar ini…” bisiknya, matanya hampir berkaca-kaca.
Leo menoleh, menatap gadis polos itu dengan sorot mata yang lembut.
“Mulai sekarang, semua ini juga jadi bagian dari hidupmu,” katanya sambil masih menyeret koper menuju ruang utama.
Arinda pun mengikuti di belakang, langkahnya kecil tapi penuh rasa kagum, sementara hatinya berdebar hebat.
Aurel langsung menaiki tangga besar menuju lantai dua. Ia sudah hafal betul letak kamarnya, seolah rumah itu memang sebagian dari hidupnya. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu kamar dengan tenang, masuk, lalu menutupnya kembali.
Sementara itu, Arinda berdiri kikuk di ruang tengah yang luas, menatap sekeliling dengan bingung. Tatapannya lalu jatuh pada Leo yang baru saja meletakkan koper di dekat sofa.
“Mas… Arinda tidur di kamar mana?” tanyanya lirih, suaranya ragu-ragu, seperti takut merepotkan.
Leo menoleh, lalu tersenyum tipis. Ia melangkah mendekat, kemudian tiba-tiba meraih tubuh Arinda dan menggendongnya ala koala. Arinda terkejut, wajahnya langsung memerah dan tangannya refleks melingkar di leher Leo.
“Kamu tidur di kamar mas, Rin,” jawab Leo tegas namun penuh kelembutan, langkahnya mantap menaiki tangga sambil menggendong gadis itu.
Arinda menunduk, pipinya panas. “T-tapi mas… apa nggak apa-apa? Kan… ada Mbak Aurel juga…” gumamnya pelan.
Leo hanya menunduk sedikit, menatap mata polos gadis desa itu.
“Tenang aja. Aurel nggak akan keberatan. Kamu cukup ikut sama mas,” ujarnya sambil tersenyum samar.
Arinda tak bisa lagi membalas, hanya semakin menunduk dengan hati berdebar kencang. Dan dalam diamnya, ia tahu… kehidupannya tak akan pernah sama sejak hari itu.
Leo membuka pintu kamarnya perlahan, lalu melangkah masuk sambil masih menggendong Arinda. Kamar itu begitu luas dengan ranjang berukuran king, dinding bercorak klasik, dan aroma wangi lembut dari lilin aroma terapi yang sudah dinyalakan pelayan.
Dengan hati-hati, ia menurunkan Arinda ke atas kasur empuk. Namun bukannya melepaskan, Leo justru duduk di tepi ranjang dan menarik Arinda hingga duduk di pangkuannya.
Arinda menunduk, wajahnya semakin memerah. “Mas… Arinda jadi malu,” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.
Leo menatapnya lekat-lekat, jemarinya mengusap lembut pipi polos itu. Ada ketegasan sekaligus kelembutan dalam sorot matanya.
“Jangan malu, Baby. Kamu milik mas sekarang… dan mas nggak akan biarin kamu merasa sendiri.”
Arinda terdiam, dadanya berdebar kencang. Ia ingin menolak, tapi tubuhnya justru kaku, terpaku pada tatapan tajam Leo.
Leo menatap Arinda yang masih duduk di pangkuannya. Ia tak bisa lagi menahan dorongan hatinya—perlahan wajahnya mendekat, lalu bibirnya menyentuh bibir Arinda. Sentuhan itu membuat gadis polos itu membeku, matanya terpejam, tubuhnya terasa lemas di pelukan Leo.
Namun di tengah keheningan yang begitu intens, tiba-tiba pintu kamar terbuka.
“Aku mau keluar sebentar, Leo—” suara Aurel terdengar jelas.
Leo sontak menoleh cepat, masih memeluk erat Arinda. Arinda pun terlonjak kaget, wajahnya langsung memerah hebat.
Aurel berdiri di ambang pintu, ekspresinya tersenyum nakal, seolah tak terpengaruh dengan apa yang baru saja dilihatnya. Pandangannya hanya singgah sebentar pada Arinda, lalu kembali menatap Leo.
Leo menghela napas, mencoba menenangkan situasi. “Baik, hati-hati di luar,” ucapnya singkat, nadanya tenang namun tegas.
Arinda menunduk dalam-dalam, tangannya meremas ujung bajunya sendiri, tidak berani menatap Aurel. Jantungnya berdegup kencang, khawatir kalau Aurel akan menjambaknya.
Aurel hanya mengangguk pelan, lalu menutup pintu kembali tanpa berkata apa-apa lagi. Suasana kamar pun kembali sunyi, hanya tersisa detak jantung Arinda yang belum juga stabil.
Leo mengusap lembut rambut gadis itu, tersenyum samar.“Tenang saja, Baby. Aurel nggak akan marah.” bisiknya meyakinkan.
Setelah pintu tertutup kembali, suasana kamar terasa lebih hening dari sebelumnya. Arinda masih menunduk, wajahnya memerah karena malu dan gugup.
Leo menatapnya lama, lalu perlahan mengangkat dagu Arinda dengan jemari kokohnya. Tatapannya dalam, seolah ingin membaca isi hati gadis polos itu.
“Jangan takut, Baby…,” ucapnya lembut.
Arinda menelan ludah, matanya bergetar menahan perasaan yang campur aduk. Ia tidak berani menatap balik terlalu lama.
Namun Leo tidak membiarkan keraguannya bertahan. Ia mendekatkan wajahnya, lalu menempelkan keningnya pada kening Arinda. Nafas mereka beradu, membuat Arinda semakin salah tingkah.
Dan sebelum sempat berkata apa-apa, Leo menunduk sedikit, memberi kecupan hangat pada bibir Arinda. Lembut, namun penuh ketegasan—seolah ingin menegaskan bahwa ia tak akan pernah melepaskannya.
Arinda memejamkan matanya lalu mengalungkan kedua tangannya ke leher Leo, dia mulai mengikuti pergerakan Leo.
 
                    