Susan tak pernah menyangka dirinya di timpa begitu banyak masalah.
Kematian, menghianatan, dan perselingkuhan. Bagaiamana kah dia menghadapi ini semua?
Dua orang pria yang menemaninya bahkan menyulitkan hidupnya dengan kesepakatan-kesepatan yang gila!
Akan kah Susan dapat melewati masalah hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SabdaAhessa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Permintaan maaf
Pagi harinya. Mereka terbangun bersamaan saat mendengar seseorang masuk ke dalam kamar. Ternyata itu Oliv, yang memeriksa infus masih ada atau sudah habis.
"Maaf, saya membangunkan anda Nyonya." Kata Oliv.
"Tidak masalah." Jawab Susan.
Selesai memeriksa cairan infus, Oliv kembali keluar dari kamar. Wanita itu juga memberitahukan jika Peter tak perlu cairan infus lagi setelah lagi. Karena pria itu sudah mau makan dan minum sebagai sumber tenaga.
Peter juga meminta Susan untuk di buatkan bubur ayam seperti ayahnya dulu. Sebenarnya Susan sedikit keberatan jika mengingat perselingkuhan Peter. Namun sejauh ini dia masih memiliki bungkam dan membiarkan semua mengalir begitu saja.
Selesai mandi dan berpakaian, Susan segera pergi ke dapur untuk membuat bubur ayam. Di bantu para chefnya juga di menyiapkan ini dan itu. Sebenarnya masakan Susan tidak begitu enak namun juga tidak begitu buruk. Tapi kalau di bandingkan dengan masakan chef mereka sih, mungkin tidak kalah jauh.
Itu sebabnya Peter minta di buatkan untuk sarapan pagi ini. Mengingat perut Peter yang sakit juga dia jadi kasian pada suaminya. Mungkin bubur ayam yang lembut akan mudah di cerna di perutnya.
Sedangkan Oliv kembali masuk ke dalam kamar Peter. Membukakan selang infus yang terpasang di tangannya. Dia juga meminta Peter untuk sarapan dulu baru akan memberikan beberapa suntikan.
Peter mengiyakan. Lalu meminta Oliv untuk segera keluar dari kamar untuk memanggil Traver. Karena dia ingin pergi ke kamar mendiang ayahnya. Sepertinya, Peter merindukan sosok pria tua itu.
Dengan di bantu Traver dan Alice, akhirnya Peter sampai di kamar ayahnya menggunakan kursi roda.
"Keluarlah, aku mau sendiri." Kata Peter sesampainya di dalam kamar ayahnya.
Traver dan Alice mengangguk bersamaan lalu keluar dari kamar.
Perlahan, Peter menyapu ruangan itu. Kosong. Namun penuh kenangan. Bagaimana bisa dia kehilangan sosok ayahnya begitu saja. Bahkan dia tak menemani ayahnya saat detik-detik terakhir.
Sedikit demi sedikit dia mengarahkan tuas di kursi rodanya untuk masuk ke dalam walk in closet. Beruntung itu adalah kursi roda listrik sehingga hanya perlu mengarahkan tuasnya saja untuk berjalan.
Di dalam walk in closet, perhatiannya tertuju pada sebuah lemari yang tak tertutup rapat. Dia membuka lemari itu, melihat-lihat apa isinya.
Ternyata lemari itu tidak tertutup rapat karena ada sebuah kotak hitam yang menyangga. Tergeletak begitu saja. Peter mengambilnya perlahan. Karena lengannya masih terasa sangat sakit.
Menaruh kota hitam itu di pangkuannya. Mengapa ada desiran yang tak jelas, seperti firasat buruk. Jantungnya tiba-tiba terpacu.
"Kotak apa ini?" Batin Peter.
Dia membuka tutup kotak hitam itu. Matanya membulat saat melihat hasil foto USG.
"Apa ini? "
Dia mengambilnya. Lalu mengambil foto-foto yang lain.
Degg!!
Jantungnya seakan terhenti sekejam mata. Namun paru-paru nya kembang kempis dengan cepat mencari pasokan oksigen secepat mungkin.
Harusnya Susan menyimpan kotak itu dengan hati-hati. Di tempat yang sekiranya tak bisa di temukan oleh siapapun, apalagi Peter.
Namun, sudah terlambat! Peter sudah menemukannya lebih dulu. Bukti-bukti perselingkuhannya selama ini. Sudah ada di tangan Peter.
Dia syok bukan main. Bagaimana bisa? Siapa yang mengumpulkan bukti-bukti ini? Ayah atau Susan? Pikirnya.
"Apa mungkin ini yang membuat Susan berubah akhir-akhir ini?" Peter bicara pada dirinya sendiri.
Dia memejamkan mata frustasi. Jika benar begitu, pasti Susan akan meninggalkannya bukan? Peter merasa dekat dengan takdir buruknya.
Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Susan? Susan sudah mengetahui semuanya? Tapi mengapa dia berdiam diri? Membungkam mulutnya seribu bahasa. Mengapa dia tidak mengumpat dengan keras di depan ku?
Pikiran Peter campur aduk. Tamat lah sudah. Pikir Peter.
Dia makin terkejut saat membuka kedua matanya. Sampai kotak hitam itu jatuh ke lantai. Isinya berserakan. Foto-foto mesrah dirinya dengan Anna. Bukti mutasi rekening dan masih banyak lagi.
Sebuah foto hasil USG jatuh tepat di depan kaki Susan.
Ya, Peter terkejut dengan kedatangan Susan yang tanpa aba-aba. Belum sempat memikirkan jalan keluarnya, namun siap tidak siap sekarang dia harus berhadapan dengan Susan.
Susan berdiri di ambang pintu walk in closet. Memegang nampan berisi bubur ayam buatannya dan segelas air putih. Sarapan untuk Peter. Namun saat dirinya mengetahui Peter berada di kamar mendiang ayahnya. Dia menyusul kesana.
Susan juga lupa soal kotak hitam itu. Mengapa dirinya tak menyimpan itu dengan benar? Harusnya kotak itu dia berukan pada Edward sebentar lagi. Namun, itu sudah di tangan Peter.
Keduanya masih mematung dengan pikiran masing-masing. Belum ada yang memulai pembicaraan. Yang satu ketahuan selingkuh. Yang satu kehilangan barang bukti.
Sampai akhirnya Peter mencoba bicara. Menelan salivanya terlebih dahulu. Terasa sempit dan sulit sekali.
"Susan.."
Susan tak menjawab. Namun dia menyadarkan diri dari lamunannya. Menaruh nampan itu di meja dekat pintu tepat di sebelah kanannya.
Mereka saling menatap. Susan memutuskan untuk menghampiri Peter lebih dulu. Karena dia tau pria itu sedang membeku di atas kesalahannya.
"Kita sarapan dulu." Susan mencoba mendorong kursi roda.
Namun, Peter menahan tangannya. Memegang tangan lentik itu dengan erat. Memandang Susan begitu dalam.
"Kau.. Kau tau?" Tanya Peter dengan gelagapan.
Susan mengangguk. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Membuat Peter semakin serba salah. Tak bisa menafsirkan arti dari anggukan kepala itu.
"Aku.. Aku bisa menjelaskannya, Susan."
"Tapi aku tidak butuh itu, Peter."
Peter kembali menelan salivanya. Nafasnya berat.
"Tolong jangan tinggalkan aku!" Kata Peter mulai memohon.
"Maafkan aku, Susan. Maafkan aku.. Aku benar-benar minta maaf, aku salah." Peter mulai menangis.
Membuat Susan memalingkan wajah. Dia tak sanggup melihat Peter seperti ini.
"Aku hanya berusaha menjaga mu dari dia!" Peter mulai berbohong lagi.
"Dia terobsesi pada ku, Susan. Bahkan dia ingin menyakiti mu berulang kali. Dia juga selalu meminta ku balas budi padanya karena dia telah menyelamatkan hidup ku dulu!"
Susan masih bersikap tenang. "Lalu, bagaimana soal Vannes?"
Peter tertegun. Karena dia berbohong ala kadarnya. Mengarang cerita agar Susan mengasihani dirinya.
"Sumpah aku dalam pengaruh obat waktu itu! Dia menjebak ku, dia mengikat ku dengan adanya anak itu!" Jawab Peter.
Pertahanan Susan mulai goyah. Air matanya mulai menetes.
"Tapi kau membelikannya villa mewah menggunakan uang perusahaan, Peter!" Suara Susan mulai gemetar.
"Dia memeras ku, Susan! Sumpah aku sudah di ujung tanduk saat itu. Aku tidak punya pilihan! Di pikiran ku hanya tentang keselamatan mu! Aku tidak mau dia menyakiti mu!"
Seperti penyair. Peter pandai merakit kata-kata walaupun itu spontan. Pandai berbohong. Raut wajahnya seolah korban yang tersakiti. Korban yang tak berdaya untuk melawan.
Air matanya mengalir begitu deras. Dia terus memegangi tangan Susan walaupun wanita itu berulang kali menarik tangannya.
"Cukup, Peter. Aku tidak mau dengar penjelasan mu lagi!"
Wajah Peter memelas. "Maafkan aku, Susan. Aku pikir ini bisa melindungi mu darinya. Tapi ternyata aku salah."
"Cukup! Aku tidak mau dengar!"
"Tapi kau harus percaya pada ku, sayang. Aku hanya sekali melakukan itu dengannya, aku tidak tau jika dia akan hamil. Aku juga sudah memintanya untuk menggugurkan anak itu, tapi dia..."
"Cukup, Peter! Semakin kau menjelaskan semuanya, hati ku semakin sakit! Aku sudah mencoba berdamai dengan ini semua!" Kata Susan menepis tangan Peter.
Peter terdiam. Dia melihat Susan yang menangis sesegukan. Namun, bukan Peter namanya jika mudah menyerah. Dia memaksakan diri untuk turun dari kursi roda. Susan sudah mencegahnya. Namun dia terus saja ingin turun dari kursi roda. Hingga dirinya terjatuh ke lantai.
Meringis kesakitan. Memegangi perutnya yang sakit. Lengan kirinya juga nampak sengaja tak di gerakkan karena sakit.
Tapi Peter berusaha meraih kaki Susan. Bersimpuh ke kaki istrinya. Memohon ampun berulang kali. Tangisannya memenuhi seisi ruangan.
"Maafkan akuu..." Peter memeluk kaki Susan dengan tangisannya yang semakin keras.
Susan tak mampu di pendiriannya. Dia tak tega. Dia tak penuh hati melihat Peter bersimpuh meminta maaf pada dirinya. Bukankah Tuhan maha pengampun? Dia selalu memaafkan kesalahan hambanya, sebesar apapun kesalahan itu. Tapi, Susan bukan Tuhan!
Namun, Susan mencoba melapangkan dada. Berdamai dengan keadaan. Mencoba memberi kesempatan kedua untuk Peter berubah.
Susan pun ikut duduk di lantai. Sejajar dengan Peter. Menatap wajah suaminya yang penuh dengan penyesalan.
Peter memegang kedua tangan Susan. Matanya tak berpaling sedetik pun dari mata Susan. Air matanya sudah seperti air hujan yang turun. Berderai.
"Maafkan aku.. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki ini semua."
Susan mengangguk sambil menangis. Dia memeluk Peter dengan hati-hati. Karena mengingat tubuh pria itu penuh luka dan lebam.
Kali ini, Susan memaafkan kesalahan Peter. Dia memilih memberi kesempatan kedua untuk Peter. Karena sebenarnya dia pun tidak sepenuhnya setuju dengan ide Edward untuk memasukkan Peter ke penjara pengasingan.
Mungkin Peter akan berubah! Mungkin Peter tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Mungkin Peter tidak akan memperbaiki semuanya satu demi satu. Mungkin!
Dalam pelukan itu. Peter merasa lega karena lolos dari nasib buruk kali ini. Dia masih memiliki Susan kali ini. Karena dia tak mau kehilangan Susan dari kehidupannya. Dia tak sanggup. Wanita itu sudah mencuri hatinya. Juga jiwanya.
"Dimana Anna?" Tanya Susan dengan suara serak.
Peter masih memikirkan jawabannya sejenak. "Dia sudah pergi! Entah kemana, aku tidak tau. Aku sudah meminta Traver untuk mencarinya selama ini, namun Traver tak pernah menemukannya. Aku khawatir dia akan datang kemari untuk menyakiti mu." Jawab Peter.
"Kau tidak akan membiarkan hal itu terjadi, kan?"
"Tentu saja."
Mereka berdua saling menenangkan diri. Keputusan Susan sudah bulat. Dia memaafkan Peter. Terbesit wajah Edward di benatnya. Bagaimana dia akan menjelaskan ini semua pada pria dingin itu? Edward pasti akan marah besar dengan keputusannya ini. Tapi, bukankah dia yang berhak memilih dan memutuskan hal-hal kecil atau besar di hidupnya?
Ini akan jadi PR baru bagi Susan. Dia harus menjelaskan semuanya pada Edward. Bagaimana cara menyampaikannya? Dengan bahasa apa? Apa bisa pakai bahasa isyarat saja? Tapi Edward juga harus menjawab dengan bahasa isyarat juga! Agar saat marah, suaranya tidak menggelegar jadi satu mansion!
Bersambung...