NovelToon NovelToon
Kelahiran Kedua

Kelahiran Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Ketos / Dosen / Spiritual / Reinkarnasi / Iblis
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: 62maulana

Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HANTU DI KEBAYORAN

​Van hitam itu melaju menembus lalu lintas malam Jakarta dengan kecepatan yang wajar namun efisien. Tidak ada yang berbicara. Pengemudi berwajah datar di depan fokus pada jalanan, sementara kami bertiga di belakang tenggelam dalam persiapan mental kami masing-masing.

​Ini bukan lagi arena. Ini bukan lagi bunker. Bau bensin dan polusi dari luar yang samar-samar tercium melalui pendingin udara adalah pengingat yang nyata.

​Sari duduk di depan sebuah konsol yang terlipat keluar dari dinding van. Tiga layar laptop menyala di depannya, memancarkan cahaya hijau dan biru ke wajahnya yang fokus. Jari-jarinya sudah menari di atas keyboard, sebuah ritme senyap yang menandakan dia sudah berada di medan perangnya. Van ini bukan sekadar alat transportasi; ini adalah pusat komando bergerak.

​Aku dan Adhitama duduk di bangku di seberangnya, saling berhadapan. Kami memeriksa perlengkapan kami untuk ketiga kalinya. Tidak ada senjata. Hanya tali panjat berkekuatan tinggi, beberapa perangkat elektronik kecil yang diberikan Sari untuk jamming sinyal, dan earpiece yang kini terasa seperti bagian permanen dari telinga kami.

​Adhitama terlihat gelisah. Dia benci misi senyap. Seluruh tubuhnya yang besar seolah bergetar dengan energi yang tertahan. Dia terus-menerus membuka dan menutup kepalan tangannya, mencoba menyalurkan adrenalinnya menjadi sesuatu yang tidak merusak.

​"Tenang," kataku pelan.

​Dia mendongak, matanya berkilat di kegelapan. "Aku tenang," desisnya, yang jelas-jelas bohong. "Aku hanya... benci menunggu."

​"Kau tidak menunggu," kataku. "Kau sedang berburu."

​Sesuatu dalam kata-kata itu tampaknya membantunya. Dia mengangguk pelan. Berburu. Ya. Itu sesuatu yang bisa dia pahami.

​"Jaringan keamanan vila terdeteksi," suara Sari memecah keheningan, tajam dan profesional. "Mereka menggunakan enkripsi dual-layer standar Cakra. Kuat. Tapi aku sudah pernah melihatnya. Aku akan butuh waktu tiga menit dari sekarang untuk membuat pintu belakang untukku sendiri. Tapi..."

​"Tapi apa?" tanyaku.

​"Mereka punya sensor vibrasi di seluruh dinding perimeter," lapornya. "Ditekan ke beton. Sangat sensitif. Adhitama, jika kau bahkan berpikir untuk memukulnya, seluruh tim pembersih akan ada di sana sebelum kita bisa mengedipkan mata."

​"Aku mengerti," geram Adhitama. "Tidak ada pukulan. Aku bukan orang bodoh."

​Van melambat, berbelok ke jalan yang lebih sepi, di mana rumah-rumah besar tersembunyi di balik dinding-dinding tinggi dan pepohonan rimbun. Kebayoran Baru. Wilayah orang kaya dan berkuasa.

​"Titik penurunan," kata pengemudi datar.

​Van berhenti di sudut jalan yang gelap. "Aku akan berkeliling di radius satu kilometer," kata Sari dari konsolnya, matanya tidak pernah meninggalkan layar. "Aku akan memarkir van di gang servis tiga ratus meter dari sini. Earpiece kalian... aktifkan sekarang."

​Aku menekan earpiece-ku. Suara statis pelan, lalu suara napas Sari yang teratur terdengar jelas di telingaku.

​"Aku mendengarmu," bisikku.

​"Aku juga," geram Adhitama.

​"Oke," kata Sari. "Aku masuk ke sistem mereka. Waktu untuk bersenang-senang. Kalian berdua, pergi. Semoga berhasil. Aku akan jadi mata kalian."

​Pintu samping van meluncur terbuka. Adhitama keluar lebih dulu, disusul olehku. Kami langsung melebur ke dalam bayang-bayang pepohonan di pinggir jalan. Van itu melaju pergi tanpa suara.

​Kami sendirian.

​"Baiklah, mata," bisik Adhitama. "Ke mana?"

​"Sisi selatan," jawab Sari di telinga kami. "Aku melihat cetak birunya. Ada satu titik buta kamera di dinding perimeter selatan. Tepat di balik pohon beringin besar. Kalian punya 30 detik sebelum patroli berbelok di sudut."

​Kami bergerak seperti bayangan, melintasi jalan aspal yang sunyi. Udara malam terasa berat. Kami tiba di dinding vila. Tingginya empat meter, beton halus, dengan gulungan kawat berduri di atasnya. Sebuah benteng.

​"Patroli berbelok... sekarang," desah Sari. "Mereka bergerak menjauh dari kalian. Kalian punya tepat dua menit sebelum mereka kembali."

​Adhitama menatap dinding itu. "Sensor vibrasi, ya? Jadi, kita tidak bisa melubanginya."

​"Kita panjat," kataku.

​Dia mendengus. "Aku benci memanjat."

​"Bantu aku naik," kataku.

​Adhitama menangkupkan kedua tangannya yang besar. Aku menginjaknya, dan dengan satu dorongan kuat darinya, aku meluncur ke atas. Aku menangkap tepi dinding, dengan hati-hati menghindari kawat berduri. Aku berayun dan mendarat di atas dinding yang lebarnya hanya tiga puluh senti itu dengan tanpa suara.

​"Oke, aku di atas," bisikku.

​"Cepat," kata Sari. "Satu menit tiga puluh detik."

​Aku berbaring telungkup di atas dinding, mengulurkan tanganku ke bawah. "Ayo, gorila. Giliranmu."

​Aku mendengar Adhitama melompat, meraih tepi dinding. Tapi dia tidak bisa menarik dirinya. Berat tubuhnya terlalu besar.

​"Sialan..." geramnya, bergantung di sana.

​"Jangan!" bisikku cemas. "Vibrasi!"

​"Tarik aku!" desisnya.

​Aku meraih pergelangan tangannya. Aku menarik napas, dan aku memanggil sebagian kecil dari kekuatanku. Bukan kekuatan entropi. Hanya kekuatan mentah. Kekuatan sang Dewa Perang. Otot-otot di lengan Bima menegang, dan dengan satu tarikan yang mantap dan terkendali, aku mengangkat tubuhnya yang seberat 100 kilogram lebih itu ke atas dinding.

​Dia mendarat di sampingku dengan bunyi 'uf' pelan. "Lain kali," katanya terengah-engah. "Kita cari pintu."

​"Satu menit," kata Sari.

​Kami melompat turun ke taman di sisi lain, mendarat di rumput yang dipangkas rapi. Hening. Terlalu hening.

​"Kita di dalam," bisik Adhitama.

​"Aku melihat kalian," kata Sari. "Selamat datang di pesta. Oke, aku sudah masuk ke jaringan mereka. Aku mematikan sensor gerak di taman. Tapi ada dua patroli enhancer di lapangan. Mereka sedang berada di dekat kolam renang, sisi utara. Jauhi mereka. Kalian harus masuk ke rumah melalui pintu kaca perpustakaan. Sisi barat."

​Kami bergerak, berjongkok rendah, berlari dari bayangan satu semak ke semak lainnya. Rumah itu menjulang di depan kami, gelap dan mengancam.

​Kami tiba di pintu kaca geser perpustakaan. Terkunci. Panel akses kecil berkedip merah di sampingnya.

​"Sari," bisikku.

​"Aku tidak bisa," balas Sari, suaranya tegang. "Ini adalah sirkuit tertutup. Tidak terhubung ke jaringan utama. Mereka pintar."

​"Waktu untuk 'membujuk'," geram Adhitama, melangkah maju.

​"Tunggu," kataku. "Itu akan menimbulkan suara. Biar aku."

​Aku meletakkan telapak tanganku di atas panel kunci. Aku teringat pelajaranku dengan jam tangan. Aku tidak fokus pada seluruh kunci. Aku fokus pada satu hal: mekanisme elektromagnetik di dalamnya. Aku merasakan sirkuitnya. Aku merasakan pin digitalnya.

​Aku tidak menghapusnya. Aku hanya... memutarnya. Aku memerintahkan sirkuit itu untuk percaya bahwa kode yang benar telah dimasukkan.

​Klik.

​Lampu panel berubah dari merah menjadi hijau.

​Aku menggeser pintu kaca itu terbuka tanpa suara.

​Adhitama menatapku. "Oke. Aku harus akui. Itu lebih baik daripada 'membujuk'."

​Kami melangkah masuk ke dalam rumah. Udara di dalam dingin oleh AC. Bau semir kayu dan pembersih lantai.

​"Kalian di dalam," bisik Sari. "Timer misi lima belas menit... dimulai. Sekarang."

​Jantungku berdebar. 15:00... 14:59...

​"Patroli internal," lanjut Sari, "satu orang. Dia baru saja meninggalkan dapur. Dia bergerak menyusuri koridor utama... menuju kalian."

​Kami bertiga membeku di kegelapan perpustakaan.

​"Bersembunyi!" desisku.

​Aku dan Adhitama melompat ke balik rak buku besar yang gelap. Kami mendengar langkah kaki yang berat dan teratur di lantai marmer di luar perpustakaan. Semakin dekat.

​Aku menahan napas.

​Penjaga itu—seorang pria besar berwajah keras—berhenti tepat di depan pintu perpustakaan yang terbuka. Dia menatap ke dalam kegelapan. Dia tidak melihat kami. Tapi dia merasakan sesuatu.

​Dia melangkah masuk ke dalam perpustakaan.

​Dia berjalan perlahan, tangannya di atas pistol di sarungnya. Dia akan menemukan kami.

​"Sari," bisikku putus asa. "Alihkan dia."

​"Bagaimana?!"

​"Apa saja!"

​Hening sejenak. Lalu...

​BIP! BIP! BIP!

​Suara alarm microwave tiba-tiba terdengar dari arah dapur di ujung lain rumah.

​Penjaga itu berhenti. Dia mendengarkan. Dia mendengus kesal. Jelas ini bukan pertama kalinya alarm palsu berbunyi.

​"Sistem bodoh," geramnya pelan. Dia berbalik dan berjalan keluar dari perpustakaan, menuju dapur untuk mematikan alarm microwave yang diretas Sari.

​Aku menghembuskan napas yang sedari tadi kutahan.

​"Itu... nyaris," bisik Adhitama.

​"Waktu terbuang. 13:20," kata Sari. "Ayo bergerak. Adhitama, lantai dua, koridor barat, pintu ketiga di kiri. Itu ruang kerja. Bima, rak buku di depanmu. Itu palsu. Cari buku 'Perang dan Damai'. Tarik."

​"Klasik," bisikku. Aku menemukan buku itu, menariknya.

​Sebuah rak buku bergeser tanpa suara, memperlihatkan tangga sempit yang menuju ke bawah.

​"Oke," kataku pada Adhitama. "Ini saatnya kita berpisah."

​Dia menatapku, ekspresinya serius. "Selesaikan misinya, Bima. Bawa mereka keluar."

​"Kau juga," balasku. "Jangan hancurkan brankasnya. Kita butuh data itu."

​Dia tersenyum tipis. "Akan kucoba... membisikinya dulu."

​Dia berbalik dan menyelinap keluar dari perpustakaan, menuju tangga utama ke lantai dua.

​Aku ditinggal sendirian. Aku menatap tangga gelap yang menuju ke bawah. Menuju ruang aman. Menuju tujuanku.

​"Bima," bisik Sari. "Aku kehilanganmu dari kamera. Begitu kau turun, kau sendirian. Aku tidak bisa melihat apa-apa di sana."

​"Aku tahu," bisikku. "Tetap awasi Adhitama. Aku akan kembali."

​Aku menarik napas dalam-dalam dan melangkah ke dalam kegelapan, menuruni tangga menuju jantung pertahanan musuh.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!