hana, seorang gadis remaja yang tiba-tiba menikah dengan seorang mafia tampan karena desakan posisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon vatic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
harus di rawat
Tanpa sepatah kata pun, Nathan tahu harus membawa Asya ke mana. Ia harus memastikan gadis muda itu tetap hidup , karena yang berhak menjatuhkan hukuman padanya hanyalah bos mereka sendiri, Sean.
Sementara itu, di tempat lain, suasana hening menguasai ruangan yang dipenuhi aroma obat dan antiseptik.
Di tengah cahaya putih lampu ruangan, Sean duduk di sisi ranjang, pandangannya tak pernah lepas dari sosok Hana yang terbaring lemah di depannya.
Selang infus menancap di tangan wanita itu. Sesekali, cairan bening di dalamnya menetes pelan, seiring dengan detak jantung Hana yang terdengar lewat monitor di samping tempat tidur.
Dengan lembut, Sean menggenggam tangan Hana. Jemarinya mengusap punggung tangan yang dingin itu perlahan, seolah takut jika sentuhannya terlalu keras akan membuatnya pecah. Di balik tatapannya yang tegas, tersimpan sesal yang begitu dalam.
“Ah...” Hana mengerang pelan. Napasnya tersendat sebelum matanya terbuka sedikit.
“Hana! Kamu sudah bangun...?” suara Sean terdengar parau tapi penuh harap.
“Ak—akh... perutku... sa... sakit...” gumam Hana lemah, wajahnya meringis menahan nyeri.
Dengan cepat Sean menekan tombol di sisi ranjang, memanggil dokter dan perawat.
Tak lama, tiga orang masuk tergesa. Dua di antaranya perempuan perawat dan satu dokter wanita berjas putih.
“Tenang, sayang... mereka akan membantumu,” ucap Sean lembut, berusaha menenangkan Hana yang terlihat gelisah.
Namun tangan Hana justru menggenggam semakin erat tangan Sean, seolah tak ingin dilepas sedetik pun. “Jangan pergi... tetap di sini...” katanya dengan suara bergetar.
“Aku di sini, Hana. Aku nggak akan ke mana-mana,” balas Sean cepat, suaranya menenangkan.
Para perawat mulai mempersiapkan peralatan medis. Dokter itu tampak sibuk di bagian bawah, memeriksa sumber pendarahan. Hana mulai menggeliat, merasakan sakit yang semakin menjadi.
“Mereka... mereka mau apa...? Kenapa semuanya... menyentuh milikkku...?” tanyanya dengan nada panik.
Sean segera menenangkan. “Tidak apa-apa, sayang. Tenanglah, semuanya perempuan... mereka hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Hana menelan ludah, tapi wajahnya masih meringis. “Iya... tapi... akh... sakit sekali...”
Melihat itu, Sean menoleh tajam ke dokter. “Apa yang kalian lakukan?! Hati-hati, dia kesakitan!” serunya dengan nada menahan amarah.
Sang dokter sontak menunduk. “Maaf, Tuan Sean... saya tidak bermaksud membuatnya kesakitan. Tapi kami harus menghentikan pendarahannya.”
“Sean... jangan marah...” suara Hana terdengar lirih. Ia menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Aku cuma kaget tadi... tolong jangan buat mereka takut...”
Sean menghela napas panjang. Rasa marah di dadanya pelan-pelan mereda. Ia menunduk, dan Hana segera menariknya lebih dekat, lalu memeluk lehernya erat.
“Aku nggak apa-apa... cuma takut,” bisiknya di telinga Sean.
Sean memeluk balik tubuh lemah itu dengan lembut. Ia menempelkan keningnya di bahu Hana, sementara bibirnya menempel di kulit leher istrinya, memberikan kecupan kecil di sana, bukan untuk menggoda, tapi untuk menenangkan. “Ssshhh... sudah... aku di sini,” bisiknya pelan. “Kamu aman sekarang.”
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Tapi ketegangan belum hilang. Hana berusaha menahan rasa sakitnya dengan kuat. Jemarinya menggenggam erat pakaian Sean, punggungnya tegang, napasnya pendek-pendek.
“Sayang... apakah sesakit itu?” tanya Sean pelan.
“Tidak...” jawab Hana cepat, meski wajahnya jelas menahan perih. “Aku... kuat kok.”
Sean tahu ia berbohong. Ia bisa merasakan tubuh wanita itu gemetar di pelukannya. Tapi ia tak memaksa, hanya mengusap lembut rambutnya.
“Sebentar lagi, Bu. Ini sudah hampir selesai,” ucap dokter dari bawah, mencoba menenangkan.
Beberapa menit kemudian, perawat menutup alat medis mereka. “Sudah, Tuan Sean. Kami akan biarkan beliau beristirahat. Tolong jaga agar tidak banyak bergerak dulu, ya.”
“Baik,” jawab Sean pendek, namun dengan nada penuh hormat.
Begitu dokter dan perawat keluar, Sean kembali menatap wajah Hana. Ada lelah, ada sakit, tapi juga kelegaan di matanya.
“Aku ingin pulang...” bisik Hana pelan.
Sean tersenyum kecil, mengusap pipinya. “Nanti, sayang. Setelah kamu sedikit lebih kuat. Dokter bilang kamu harus istirahat dulu di sini beberapa hari. Setelah itu baru aku bawa pulang... ke rumah kita.”
Hana mengangguk pelan. “Asal kamu nggak pergi...”
Sean menatapnya dalam, lalu mengecup keningnya “Tidak akan. Aku akan tetap di sisimu”.
****
Sementara di tempat lain, Suasana dingin dan pengap memenuhi ruang bawah tanah yang gelap dan sempit itu. Bau besi berkarat dan obat kimia bercampur jadi satu, menyesakkan dada siapa pun yang bernapas di dalamnya.
Lampu redup menggantung di langit-langit, bergoyang pelan karena embusan kipas tua yang berderit seperti sedang sekarat.
Asya duduk di lantai, kedua tangannya terikat di belakang. Napasnya tersengal, matanya berputar gelisah, mencoba memahami di mana dia berada.
“Siapa kalian...?” suaranya pecah di antara ketakutan. “Kenapa kalian membawaku ke sini? Apa yang kalian mau dariku?”
Di seberangnya, berdiri sosok Nathan yang tegap, dingin, dan tanpa ekspresi. Bayangan tubuhnya menutupi cahaya lampu, membuat wajahnya hanya tampak setengah.
“Ini karena kamu sudah membuat bos Sean... marah,” jawab Nathan datar, tapi dalam nada suaranya tersimpan tekanan yang membuat bulu kuduk meremang.
“Sean?” ulang Asya cepat. Matanya melebar. “Maksudmu... Sean, suaminya Hana ?”
Nathan mengangguk perlahan. “Benar.”
Asya menggigit bibir, mencoba mengingat apa yang sudah ia lakukan. “Tapi aku tidak merasa melakukan apa pun padanya... aku tidak bersalah...” katanya gugup.
Nathan melangkah mendekat. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi berat di lantai semen yang basah. Ia menatap tajam ke arah Asya, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku belakangnya. sebuah pisau lipat kecil yang berkilat di bawah cahaya temaram.
Asya menahan napas. Suara logam ketika pisau itu dibuka terdengar menembus telinganya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
“Mau... mau apa kamu?” suaranya bergetar, hampir tidak keluar.
Nathan berjongkok di depannya, menempelkan ujung pisau itu di sisi pipi Asya. Sentuhannya dingin, membuat tubuh Asya kaku dan air matanya mulai menggenang.
“Bukankah kamu sendiri yang bertanya... kapan kamu membuat Sean marah?” ucap Nathan lirih, suaranya seperti bisikan iblis di telinga.
Asya menelan ludah dengan susah payah. “I-iya... tapi... kenapa kamu... yang bertindak seperti ini? Apa urusannya denganmu...?”
Nathan menatap tajam ke matanya. Sekilas, tatapan itu seperti ragu, namun cepat berubah menjadi batu. “Karena ini adalah... perintah bos saya,” ucapnya pelan tapi tegas. “Dan aku... tidak punya pilihan lain.”
Pisau itu tak bergerak, tapi tekanan di udara semakin terasa berat. Detik demi detik terasa lambat. Suara kipas tua, bunyi tetesan air dari pipa bocor, dan napas ketakutan Asya berpadu jadi satu , membentuk orkestra ketegangan yang menyesakkan.
Asya bergetar. “Jadi... kamu akan... membunuhku...?”
Nathan tak langsung menjawab. Matanya kosong menatap Asya, seolah menimbang sesuatu di dalam pikirannya. Lalu perlahan, ia menurunkan pisaunya.
“Tidak,” katanya akhirnya. “Bukan aku yang akan menghukummu.”
Asya menatapnya bingung. “Maksudmu...?”
Nathan bangkit berdiri. Wajahnya kini tampak lebih dingin dari sebelumnya. “Yang akan menghukummu... adalah dia sendiri.”
“Dia...?” Asya mematung. “Sean?”
Nathan tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju pintu besi berat di ujung ruangan, membuka gemboknya dengan bunyi berderak yang memecah keheningan. Sebelum keluar, ia menatap Asya sekali lagi dengan tajam, tapi entah mengapa, seolah ada sedikit rasa iba di dalamnya.
“Tunggu saja. Saat dia datang... kamu akan tahu.”
Pintu itu tertutup kembali dengan suara dentuman keras.
Dan Asya pun tinggal sendiri, dalam ruang gelap yang semakin dingin, hanya ditemani suara detak jantungnya sendiri dan rasa takut yang mulai tumbuh jadi ngeri.
so be smart don't be stupid