Amira menikah dengan security sebuah pabrik di pinggiran kota kecil di Jawa Timur. Awalnya orang tua Amira kurang setuju karena perbedaan status sosial diantara keduanya tapi karena Amira sudah terlanjur bucin maka orang tuanya akhirnya merestui dengan syarat Amira harus menyembunyikan identitasnya sebagai anak pengusaha kaya dan Amira harus mandiri dan membangun bisnis sendiri dengan modal yang diberikan oleh orang tuanya.
Amira tidak menyangka kalau keluarga suaminya adalah orang-orang yang toxic tapi ia berusaha bertahan sambil memikirkan bisnis yang harus ia bangun supaya bisa membeli rumah sendiri dan keluar dari lingkungan yang toxic itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyuni Soehardi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31
Dewi berkunjung ke rumah adik kandung ibunya alm. Sepulang dari rumah uwaknya dia mendapati kakak tirinya sedang melamun di teras rumahnya, tapi dia mengabaikannya saja. Dia masuk ke rumah yang dibangun oleh ibunya dan meneruskan pekerjaannya.
Tak lama terdengar suara motor mendekat ternyata itu pacar kakaknya. Mereka berdua sepertinya sedang janjian mau pergi. Sebelum pergi pacar kakaknya menukar motor bututnya dengan motor baru Dena kemudian pergi berboncengan.
“Mas sampai kapan hubungan kita akan seperti ini?” tanya Dena sambil meniup kuah bakso dihadapannya.
“Sebetulnya aku ingin segera melamarmu dek tapi katanya adikmu juga akan menikah apa ga adikmu duluan yang harus menikah kan sudah hamil?” jawab pacar Dena yang masih sibuk meracik bumbu baksonya dengan kecap manis, sambal dan saus tomat.
“Sepertinya mereka tidak jadi menikah mas, Dewi sudah memutuskan untuk menjadi orang tua tunggal buat anaknya. Pacarnya tidak bertanggung jawab.” Dena menjelaskan situasi Dewi. Fahri manggut-manggut.
“Kasihan Dewi. Andaikan saja ada lelaki lain yang bertanggung jawab terhadap kehamilan Dewi dan bisa menerima anak yang dikandungnya apakah kau akan mengijinkan?” tanya Fahri.
“Aku sih setuju saja daripada aib dia terus saja jadi gunjingan, risih nih kuping.” Jawab Dena.
“Aku tidak memiliki apa-apa yang kau impikan Dena aku hanya memiliki toko kelontong kecil di pasar itu pun makin sepi belakangan ini dan aku memiliki ibu dan adik yang harus menjadi tanggunganku.” Keluh Fahri.
“Kalau kita menikah apakah kau bisa membayar uang kuliahku mas?” tanya Dena hati-hati.
“Boro-boro uang kuliahmu kita masih bisa makan dan membayar SPP Sita saja sudah beruntung. Kau harus mengorbankan kuliahmu dan carilah pekerjaan dengan ijasah SMA untuk membantu ekonomi keluarga.” Jawab Fahri.
“Sial betul aku dapat laki-laki ini. Udah wajah tidak ada gantengnya, miskin lagi.” Batin Dena.
“Kalau begitu lebih baik kalau aku tidak menikah dulu saja mas.” Dena jadi tidak berselera menghabiskan baksonya. Dan meminta cepat-cepat diantar pulang.
Saat mereka tiba di rumah Dena segera masuk tanpa menghiraukan pacarnya. Dia cepat-cepat meminta kunci motornya dan masuk ke dalam.
Pacar Dena mengeluarkan motor bututnya dan saat hendak keluar Dewi akan membuang sampah diluar. Cepat-cepat Fahri mengambil sampah itu dari tangan Dewi. Lalu membuangnya ditempat sampah di luar halaman rumah.
“Terima kasih mas, harusnya tidak perlu wong saya masih bisa kok.” ucap Dewi.
“Tidak apa-apa dik Dewi ndak ilok perempuan hamil malam-malam membuang sampah di luar.” jawab Fahri.
“Mohon maaf apakah dik Dewi ada air dingin? Saya haus sekali. Mau minta minum Dena tidak menyuruh saya masuk.” pinta Fahri.
“Oh….ada mas, mari silahkan masuk.” jawab Dewi.
Fahri mengikuti Dewi dan duduk di kursi tamu yang terkesan luxurious walaupun tempatnya tidak terlalu luas. Kamar tamu itu didesain ruang untuk customer memilih baju-baju yang di display lalu stoknya digantung di lemari kaca yang terletak di sisi kiri dan depan ruang tamu itu. Bau harum lilin aroma therapy dan musik lembut untuk relaksasi mengalun lembut. Membuat yang bertamu kerasan tinggal lama-lama. Di pojok ruangan ada meja kecil tempat kasir sekaligus meja kerja Dewi.
Dewi keluar dengan membawa dua gelas es sirup dengan es batu yang banyak.
“Silahkan diminum mas,” kata Dewi.
Fahri meneguk gelas yang disuguhkan dihadapannya. Begitu juga Dewi pun meminum es sirup miliknya.
“Mmm….maaf saya dengar dik Dewi akan menikah, kok belum ada undangannya apa mas tidak diundang?” Pancing Fahri.
Dewi menunduk lalu menghela nafas panjang. Tapi dia berusaha tegar. Akhirnya dia dengan tegas menjawab “saya tidak jadi menikah mas, saya tidak mau mengemis cinta laki-laki yang tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Saya akan membesarkan anak ini sendirian.”
“Saya ikut prihatin dik Dewi, andaikan saya mampu saya ingin membantu permasalahan dik Dewi.” Kata Fahri.
“Sudah nasib mas, ini juga kesalahan saya yang terlalu cepat percaya pada laki-laki.” Sesal Dewi.
“Dik andaikan ada seseorang yang menyelamatkan namamu dan bersedia menjadi ayah dari anakmu bagaimana? Apakah kira-kira dik Dewi akan menerimanya?” Tanya Fahri hati-hati.
“Ha… ha… ha. Mana ada to mas, kalau ada ya berarti dia adalah laki-laki kiriman Tuhan kalau dia berani melamar saya ya akan saya terima. Tapi bukan saya yang mencari-cari siapa yang mau menikahi saya. Konyol banget mending jadi single mom.” Jawab Dewi.
“Baiklah…. Saya rasa saya harus pulang. Tidak baik saya berlama-lama dengan anak gadis orang. Terimakasih atas minuman dinginnya.” Akhirnya Fahri pamit pulang.
Dewi mengantarnya sampai ke pintu.
Sepeninggal Fahri Dewi meneruskan pekerjaannya dia membuat beberapa design baju, kimono batik, baju batik untuk anak-anak, batik couple.
Dewi memiliki satu model untuk live streaming di tok tok untuk memperluas pemasaran produknya. Walaupun butiknya berada di pelosok desa tapi produknya laris manis dipasaran.
Di pagi hari Dewi memasak dan mencuci baju seluruh rumah pakai mesin cuci sambil bersih-bersih rumah. Kakaknya tidak pernah mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Bangun tidur yang dituju meja makan kalau perutnya sudah kenyang balik ke kamar lagi kecuali ada kuliah baru mandi dan berangkat kuliah.
Setiap pagi Dewi memasak dalam jumlah banyak sekalian supaya bisa dimakan hingga makan malam tinggal menghangatkan saja. Ayah masih mau membantu menjemur baju sebelum berangkat kerja dan menyeterika baju sepulang kerja. Jam kerja ayah tidak terlalu panjang menyesuaikan jam murid SD pulang sekolah.
Sore itu ayah Dewi mampir ke rumah Dewi dan minta dibuatkan kopi.
“Tumben ayah mampir, mau minum apa yah?” tanya Dewi.
“Buatkan ayah kopi nak. Sama roti buatanmu tadi pagi.” Jawab ayah.
“Ayah kalau tidak suka pisang jangan beli pisang napa? Buang-buang duit aja itu pisang beli kan juga pakai duit yah.” Omel Dewi.
“Pisang itu ayah tidak beli nak. Tanaman di halaman belakang sekolah. Kalau panen pasti ayah di beri sesisir.” Jawab ayah.
“Tapi kan Dewi yang repot kalau pisang itu terlalu matang daripada mubazir Dewi buat bolu pisang.” Keluh Dewi.
“Tapi semua orang suka dengan bolu pisang mu kan. Pasti habis kalau kamu bikin bolu pisang.” Jawab ayah.
Dewi menyesap tehnya dan mencomot bolu pisang buatannya. Kalau ayahnya tidak datang berkunjung dia belum tentu berhenti bekerja.
“Wi kalau ada pria yang bersedia menikahimu apakah kau akan menerima nya siapapun dia?” tanya ayah.
“Dewi tidak yakin ada laki-laki yang mau menikahi Dewi ayah. Kalau toh ada itu Dewi anggap mujizat dari Tuhan tapi Dewi tidak berani berharap.” Jawab Dewi.
“Nak ayah sudah menemukan laki-laki yang mau menikahimu dan menerima kondisimu apa adanya. Ayah mohon terimalah dan menikahlah dengan nya nak. Demi anak yang ada dikandunganmu. Paling tidak saat dia lahir dia akan memiliki seorang ayah. Dan saat dia mulai bersekolah tidak ada orang yang menghinanya.” Kata ayah.”
Dewi terisak, selama ini hatinya sangat sakit mendengar gunjingan orang yang ditujukan kepadanya. Setelah beberapa saat Dewi menganggukkan kepalanya. Dia tidak mau berpikir siapa dia dan bagaimana dia. Yang penting anaknya punya ayah dulu.
“Baiklah nak kalau begitu bersiaplah karena hari pernikahan mu telah ditentukan. Hanya pernikahan kecil-kecilan yang penting sah.” Kata ayah.
Dewi hanya mengangguk pasrah dengan laki-laki pilihan ayahnya.
Keluarga bu Asih mendengar Dewi akhirnya akan menikah. Dewi memesan kue-kue yang akan dibagikan ke tetangga-tetangga untuk ucapan syukur pernikahan Dewi. Beberapa hari setelah acara empat puluh hari meninggalnya ibunya Dewi. Pernikahan Dewi digelar secara sederhana dirumah utama pak Jayadi ayah Dewi.
Dewi sudah dirias dan menunggu di kamar ayahnya. Keluarga dari pengantin pria sudah datang tapi terjadi kehebohan di halaman yang segera ditangani oleh Gunadi. Sehingga Dewi tidak mengetahui kejadian itu.
Acara ijab kabul akhirnya dilaksanakan hingga semua yang hadir berkata “SAAH”.
Dewi dituntun keluar oleh Amira dan Ani. Saat temu manten Dewi berteriak.
“Mas Fahri, apa-apaan ini. Ayah apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mas Fahri ada disini dan memakai pakaian pengantin?” tanya Dewi.
“Dewi laki-laki yang melamarmu pada ayah adalah Fahri. Dia sudah ditolak oleh kakakmu. Tidak ada yang membuat kesalahan disini.” Ayah menjelaskan.
Dewi bungkam, dia masih terkejut dengan kenyataan bahwa suaminya adalah mantan pacar kakaknya.
“Kalian sudah sah sebagai suami istri baik secara agama maupun secara negara sekarang lakukanlah kewajibanmu sebagai istri nak. Lakukan takzim kepada suamimu.” Perintah ayah.
Dewi menuruti perintah ayahnya dan dia melakukan takzim pada Fahri yang kemudian mencium kening nya.
Acara dilanjutkan dengan makan bersama dan sesi foto-foto.
Setelah tamu-tamu pulang Dewi dan Fahri pulang ke rumah ibunya Dewi alm. yang menjadi rumah butik usaha Dewi.
Saat mereka baru sampai di ruang tamu. Dena masuk dan akan menjambak sanggul Dewi tapi dihalangi oleh Fahri.
“Tahan. Jangan lakukan ini pada istriku. Dia tidak bersalah. Aku yang melamarnya. Bukankah kita sudah putus saat terakhir kita ketemu? Kau sendiri yang menolakku, sekarang apa masalahnya kalau aku menikahi adikmu?” Kata Fahri.
“Kau laki-laki miskin tidak berguna, buat apa aku bertahan kalau kau tidak bisa membayar biaya kuliahku?” Teriak Dena.
“Nah sudah tahu aku laki-laki yang tidak berguna kenapa kamu marah dan menyerang adikmu hanya karena dia sekarang sudah menjadi istriku? Sudahlah terimalah kenyataan kalau kita tidak berjodoh. Sekarang pergilah jangan ganggu kehidupan kami.” Usir Fahri.
Dena mendengus tapi akhirnya dia meninggalkan rumah Dewi.
Dewi dan Fahri memasuki kamar pengantin yang sudah dihias oleh karyawan Dewi atas perintah ayah Dewi.
Mereka berdua terlihat canggung. Dewi tidak tahu harus berkata apa. Dia diam dan menunduk.
“Dik Dewi, maafkan mas semua begitu mendadak. Usia mas sudah melebihi batas usia menikah dan ibu mas sudah mendesak mas untuk segera menikah tapi kakakmu sudah menolakku. Aku tidak mungkin menemukan calon istri dalam waktu yang singkat.” Kata Fahri.
“Dewi terisak. Aku merasa bersalah pada mbak Dena mas. Tampaknya dia belum ikhlas mas menikahiku.” Ucap Dewi lirih.
“Aku dan Dena sebenarnya adalah pasangan ideal. Jarak kami tidak terlalu jauh. Tapi kalau dia tidak mau jadi istriku yang memiliki banyak keterbatasan ini aku bisa apa?” jawab Fahri.
Fahri menggenggam tangan Dewi. Lalu membawa Dewi kedalam pelukannya.
“Istirahatlah dek, aku akan tidur di sofa diluar.” Kata Fahri yang kemudian bangkit dan keluar dari kamar itu dan menutup pintunya.