Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Gideon memberhentikan mobilnya di mulut gang sempit. Lampu jalan berpendar remang, dan hanya terlihat deretan rumah kecil berjejer rapat.
Chesna buru-buru melepas sabuk pengaman. “Makasih, ya.” ucap Chesna.
Belum sempat ia membuka pintu, Gideon mencondongkan tubuh, menahan dengan suara tegas.
“Aku temani kamu jalan sampe depan kosmu.”
Chesna menatapnya tidak percaya. “Nggak usah, serius. Ibu kos aku galak. Tar kalau liat aku dianterin cowok bisa mikir yang macam-macam loh. Pasti diaduin ke mama.”
Gideon menatap datar. “Loh kan aku cuma nganter. Aku nggak akan tenang kalau cuma ninggalin kamu di pinggir jalan.”
Chesna menghela napas berat, akhirnya menyerah. Mereka turun dari mobil, lalu berjalan beriringan menyusuri gang yang hanya bisa dilewati motor.
“Mama kamu ke mana? Kenapa kamu tinggalnya sendirian?”
“Mama lagi kerja di luar kota.”
“Kamu cuma punya mama?”
“Iya. Tapi… sebenarnya aku punya kembaran. Dia cowok.”
“Terus dia dimana?’
“Dia tinggal dengan papanya. Maksudku, papa kandung kami.”
“Oh ya?” Gideon merasa tidak enak mendengar hal itu. “Ga apa-apa Ches. Banyak kok orang tua yang bercerai.”
“mama tidak bercerai. Mereka emang ga menikah. Jadi akupun ga benar-benar kenal sama papaku.”
Gideon terlihat menaruh rasa prihatin setelah mengetahui kondisi keluarga Chesna. Dirinya sendiri belum tentu baik-baik saja kalau saja ga punya papa atau mama seperti kedua orangtuanya..
Akhirnya, mereka sampai di depan pintu kos sederhana Chesna. Gadis itu buru-buru menunduk, memasukkan kunci. “Terima kasih sekali lagi ya… dan maaf karna mengacau di pesta kamu.”
“Aku yang berterima kasih karna kamu sudah datang, ya Ches. Aku senang.”
Chesna membalas dengan senyuman. “Sama-sama.” lalu berbalik
Gideon menatap punggungnya lama, lalu berucap pelan sebelum berbalik.
“Selamat malam, Chesna. Jangan biasain diri kamu merasa sendirian.”
Chesna menutup pintu seraya tersenyum. Ia sama sekali tidak menyadari senyumannya itu mampu membuat jantung sang kakak kelas berdisko panjang.
___
Disisi lain, dalam perjalanan Miko dan Alan, pulang dari pesta Gideon. Lila sudah pulang lebih awal bersama supir.
Miko melirik sekilas, memperhatikan wajah Alan. Ia bisa membaca kalau anak lelakinya itu tidak sepenuhnya tenang sejak pesta tadi “Alan…” suara Miko akhirnya memecah keheningan. Nadanya tenang.
Alan menoleh sekilas, lalu kembali memandang keluar jendela. “Ya, Pa?” jawabnya datar.
Miko tidak langsung menanggapi. Tangannya menggenggam kemudi lebih erat, lalu ia menarik napas panjang. “Papa mau tanya sesuatu… soal gadis itu.”
Alan refleks menoleh cepat. “Gadis… siapa maksud Papa?” tanyanya, mencoba terdengar biasa, meski suaranya sedikit bergetar.
Miko menahan senyum tipis, seolah sedang menguji. “Gadis yang tadi, yang membuat suasana sedikit heboh di pesta. Yang sampai membuat Gideon, teman baikmu melepaskan jasnya. Papa lihat… kamu juga bergegas menghampirinya. Sebenarnya siapa dia, buat kamu?”
Alan terdiam. Ia mencoba menutupi perasaannya. “Hanya… teman sekolah, Pa. Aku cuma refleks membantu karena… ya, kasihan saja. Lagipula semua orang juga menatap.”
Miko mendengus pelan. “Teman sekolah, ya?” Ia mengulang dengan nada penuh arti, seakan tidak puas dengan jawaban itu. “Tapi Papa bisa lihat cara kamu menatapnya. Ada sesuatu di matamu, Alan. Seperti… kamu mengenalnya lebih jauh daripada sekadar teman.”
Alan buru-buru menggeleng. “Tidak, Pa. Jangan salah paham. Aku… aku bahkan tidak begitu dekat dengannya.” Namun, suaranya terdengar gugup, berbeda dari biasanya. Miko yang sudah cukup berpengalaman menangkap keganjilan itu, Ia memperhatikan ekspresi Alan, lalu berkata lebih lembut, “Nak, kamu bukan orang asing buat papa. Papa tahu kamu punya perasaan lain ke dia. Papa hanya mau kamu terus terang. Tidak perlu disembunyikan.”
Alan terdiam lama, menelan ludah. Di dalam hatinya, perang besar sedang berkecamuk. Bagaimana mungkin ia jujur? Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa gadis yang dimaksud Miko papanya itu bukan sekadar seseorang yang membuatnya tertarik, tapi adalah darah dagingnya sendiri, kembaran yang selama ini ia rindukan? Akan semarah apa Miko kalau tahu selama ini Alan menyambunyikan fakta lain? Alan tidak sanggup memikirkannya.
Alan mengepalkan tangannya di atas paha “Bukan karena aku suka dia, Pa. Lebih ke… entahlah, ada sesuatu yang nggak bisa aku jelaskan.”
Miko menoleh sekilas, mencoba membaca sorot mata anaknya. “jadi kamu suka dia sebagai apa?”
Alan menunduk, menahan emosi. Hatinya terasa sesak. Mau Jujur tapi takut, terus berbohong juga ia sendiri merasa bersalah.
“Sudahlah Pah, ga usah bahas lagi” jawab Alan dengan suara rendah.
“Tapi Gideon suka dia, kan? Sabar ya Nak, kalau sudah 17 tahun kamu juga boleh punya pacar. Jangan rebutan sama Deon. Kalian sudah seperti kakak-adik.”
___
Pagi-pagi di hari Minggu … Chesna baru saja bangun, rambutnya masih acak-acakan, mata setengah terpejam. Suara ketukan pintu yang cukup keras membuatnya terlonjak.
Tok… tok… tok!
“Siapa pagi-pagi begini…” gumamnya serak.
Dengan malas ia menyeret langkah membuka pintu. Seketika matanya terbelalak melihat tiga pria berseragam rapi, tampak seperti staf hotel atau catering mahal, berdiri tegak sambil membawa beberapa kotak makanan dan dua kardus penuh botol susu.
“Selamat pagi, Nona Chesna.” Salah satu dari mereka menunduk sopan. “Kami diperintahkan Tuan Muda Gideon untuk mengantarkan sarapan dan minuman bergizi.”
Chesna refleks melongo. “Haah? Tuan… Muda?” Matanya langsung menatap tumpukan susu yang kayaknya bisa buat sebulan penuh. “Eh, salah alamat kali, ya? Saya nggak pesan beginian.”
“Tentu tidak salah, Nona. Nama dan alamat Anda jelas ada di catatan kami.”
Chesna makin pusing. Ia buru-buru menerima sekotak makanan. “Eh… jangan-jangan! Ini berlebiha. Saya nggak bisa terima semua ini.”
Namun para staf hanya tersenyum, meletakkan semua kotak di depan pintu kos, lalu pamit dengan sopan. Tinggallah Chesna menatap bingung, kos sempitnya kini dipenuhi aroma wangi croissant, buah segar, sup panas, dan dua kardus susu berjejer rapi.
Dengan wajah frustasi, ia langsung meraih ponsel.
📞 Tuuut… tuuut…
Telepon tersambung. Suara di seberang terdengar santai. “Halo, Chesna. Sarapannya udah nyampe?”
“Gideon!” suara Chesna meninggi. “Kamu tuh apa-apaan?! Kenapa kirim semua ini ke aku?”
Terdengar tawa kecil dari ujung telepon. “Kamu kan nggak bisa makan sembarangan. Aku cuma pastikan kamu dapat makanan dan minuman bergizi setiap hari.”
Chesna memijat pelipisnya, hampir putus asa. “Aku bukan anak kecil yang harus dipaksa minum susu tiga kali sehari. Kamu tuh…”
“Terserah kamu ngomong apa,” potong Gideon ringan, tapi nada suaranya tegas. “Pokoknya kamu harus makan yang benar. Aku nggak mau lihat kamu jajan es teh lagi di pinggir jalan”
Chesna terdiam sejenak. Ia sempat terharu tapi gengsinya lebih besar. “Aku serius, Kamu jangan kayak gini. Aku bisa ngurus diri sendiri.”
Gideon hanya terkekeh. “Iya aku paham Ches. Tapi untuk sekarang, habiskan sarapanmu. Susu jangan lupa.”
___
Bersambung…