Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
Diandra duduk terdiam di ruang kerjanya. Pandangannya kosong menatap tumpukan berkas, tetapi pikirannya berkelana ke berbagai arah. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan: rencana selanjutnya, langkah apa yang harus ia ambil, dan bagaimana menyikapi kenyataan tentang keluarga suaminya yang baru saja ia ketahui.
Sepuluh tahun lalu, keluarga Wijaya dan Aditama dikenal sebagai dua pengusaha besar yang menjalin kerja sama erat. Mereka bahkan merintis sebuah megaproyek yang meliputi pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, hingga pusat perbelanjaan. Proyek itu nyaris rampung, dan semua orang memuji kebesaran visi keduanya. Namun, tiba-tiba proyek tersebut runtuh begitu saja.
Kegagalan itu diduga karena penggelapan dana besar-besaran. Dari dalam, kata banyak orang. Sejak saat itu, alih-alih mencari penyelesaian, kedua keluarga justru saling tuding dan menyalahkan. Api perselisihan tak kunjung padam karena ada terlalu banyak "kompor" yang meniup bara kebencian di antara mereka.
Dan sebulan yang lalu, Diandra menemukan satu nama yang diduga kuat menjadi dalang di balik kehancuran proyek itu: Bayu Purnomo yang tidak lain adalah omnya sendiri.
“Mikirin apa?” suara berat Lingga membuat Diandra tersentak. Ia menoleh, menatap suaminya yang baru saja masuk ke ruang kerja.
Sejenak Diandra terdiam. Haruskah ia menanyakan langsung kepada Lingga? Namun, pertanyaan itu bisa saja membuka luka lama yang tidak pernah benar-benar sembuh. Terlebih, kini omnya justru tampak begitu akrab dengan ayah mertuanya. Hal itu justru semakin menguatkan keyakinan Diandra bahwa Bayu Purnomo memang punya kaitan dengan tragedi sepuluh tahun lalu.
“Tadi kamu dari mana?” akhirnya Diandra membuka suara.
“Ketemu Kanaya.” Lingga berjalan santai ke sofa dan menjatuhkan tubuhnya dengan lelah.
“Kamu tadi makan siang bareng mereka?” tanya Lingga balik.
Diandra mengangguk singkat. “Iya, aku nggak enak mau nolak.” Jawabnya sekenanya, lalu kembali menunduk, pura-pura sibuk membuka laporan pasien.
Lingga menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya berkata pelan, “Kamu pasti merasa aneh dengan keluarga saya kan?"
Kalimat itu membuat Diandra spontan menghentikan gerakan tangannya. Namun, ia tetap berpura-pura menekuni berkas, meski telinganya kini terfokus penuh pada Lingga.
“Hubungan saya sama keluarga memang nggak seharmonis yang terlihat. Bahkan bisa dibilang… saya sama ayah itu saling bermusuhan.” Lingga tertawa kecil, tapi tawanya terdengar hambar.
Untuk pertama kalinya, Lingga membuka sedikit tabir kehidupannya. Diandra tercekat, bingung harus merespons bagaimana.
“Kanaya menikah dengan Felix Gunawiharja itu bukan karena cinta. Pernikahan mereka cuma alat memperluas relasi bisnis.” lanjut Lingga, tenang namun dingin.
Pernyataan itu membuat dada Diandra mengeras. Jadi benar dugaannya, semua perkawinan dalam keluarga besar itu hanya permainan kepentingan.
“Tidak jauh berbeda dengan kita, kan?” suara Diandra tiba-tiba terdengar tegas. Tatapannya menembus ke arah Lingga. “Kita menikah juga terpaksa, dan aku yakin kamu memiliki tujuan dari pernikahan ini,"
Lingga menoleh, menatap Diandra dalam-dalam. Ada sesuatu di matanya, seperti campuran keraguan, ketegasan, dan perasaan yang sulit ditebak.
“Kalau memang begitu,” suara Diandra bergetar, namun mantap, “lebih baik kita sudahi saja pernikahan ini. Percuma juga.”
Keheningan merayap. Ruangan seakan membeku, hanya suara detak jam yang terdengar samar.
Akhirnya Lingga membuka suara. Pelan, tapi tegas. “Tentu, setiap tindakan yang saya ambil memang memiliki tujuan dan alasannya, Diandra. Termasuk pernikahan ini."
Napas Diandra tercekat. Ia menatap suaminya tajam. “Apa?” tanyanya, suaranya rendah, penuh desakan.
Lingga tidak segera menjawab. Ia menghela napas, lalu bersandar, menatap istrinya tanpa berkedip. “Di sini bukan hanya saya yang memanfaatkan pernikahan ini."
Alis Diandra berkerut. “Maksud kamu?”
“Kamu bukan perempuan yang bisa diatur, Diandra.” Lingga menyipitkan mata, seolah ingin menembus pikirannya. “Keputusanmu menerima pernikahan ini… bukan hanya karena ancaman dari saya bukan. Tapi kamu juga memanfaatkan pernikahan ini bukan?"
Pertanyaan itu membuat Diandra tercekat. Bibirnya terkatup rapat, otaknya berputar mencari jawaban, tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar.
Lingga terkekeh, getir namun penuh keyakinan. “Jadi… mari kita sama-sama manfaatkan pernikahan ini.”
'Sialan!' umpat Diandra dalam hati. Rahangnya mengeras, matanya menatap Lingga dengan tajam, penuh api yang ia tahan.
_____
“Lo beneran ngomong gitu ke Diandra?” tanya James, terkejut. Matanya membesar, menatap Lingga dengan ekspresi tidak percaya.
Lingga hanya menghela napas, lalu menegakkan duduknya. “Lo tau sendiri, Jem, keluarga gue penuh konflik. Gue cuma nggak mau Diandra ada di antara mereka. Terutama setelah dia ketemu sama Om Yudhis.”
“Om Yudhis?” James mengulang dengan kening berkerut.
Lingga mengangguk pelan. “Iya. Mereka bahkan sempet adu argumen soal Kanaya. Jadi, ini satu-satunya cara gue biar Diandra nggak terlalu dekat sama keluarga gue.”
James terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan sahabatnya itu.
Sebenarnya, jauh di dalam hati, Lingga sadar alasan pernikahannya dengan Diandra jauh lebih rumit. Ia memang menikahi Diandra sebagai bentuk pemberontakan terhadap keluarganya. Pernikahan tidak pernah masuk ke dalam rencana hidupnya; ia bahkan tidak pernah tertarik. Namun, sejak pertama kali bertemu Diandra dan melihat tatapannya yang penuh perlawanan entah mengapa hatinya terguncang. Seakan ada sesuatu yang menuntunnya untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Selain itu, Lingga juga punya tujuan lain. Ia masih harus menyelidiki kasus besar sepuluh tahun lalu kasus yang menyeret kedua nama besar di kalangan pengusaha. Dan dengan menikahi Diandra, otomatis ia masuk ke dalam lingkaran itu. Aksesnya menjadi lebih mudah, informasi lebih gampang ia peroleh.
“Yang bikin gue kaget,” lanjut Lingga, suaranya sedikit merendah, “Diandra pun menikah sama gue bukan tanpa alasan.”
James mengernyit. “Maksud lo?”
“Awalnya gue cuma menduga. Tapi sekarang gue makin yakin.” Lingga menatap kosong ke arah gelas kopi di meja. “Dia nerima tawaran gue buat menikah… karena dia juga punya tujuan. Sama kayak gue.”
James menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Cerdik juga, ya, ternyata dia.”
Lingga menoleh, sorot matanya tajam namun samar menyimpan kekaguman.
“Memang. Dia bukan perempuan lemah dan polos. Dia tahu apa yang dia mau,” ujar Lingga tegas, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
James terdiam beberapa saat, memperhatikan perubahan raut wajah sahabatnya itu. Ada sesuatu di balik ketegasan Lingga yang tidak bisa ia abaikan.
“Gue kenal lo, Ngga,” kata James akhirnya, suaranya pelan tapi mantap. “Biasanya lo nggak peduli sama urusan perempuan. Tapi sekarang… cara lo ngomongin Diandra, tatapan lo waktu nyebut namanya, itu beda.”
Lingga mengerutkan kening, berusaha menahan ekspresinya agar tetap dingin. “Jangan mulai, Jem. Lo tau tujuan gue. Pernikahan ini strategi. Nggak lebih.”
James menyunggingkan senyum miring. “Strategi? Atau lo mulai ngerasa lebih dari sekadar tujuan?”
Lingga terdiam. Hening sejenak, hanya suara denting sendok mengenai cangkir yang terdengar di antara mereka. Ia meneguk kopinya, mencoba mengalihkan.
“Jangan bodoh, Jem. Gue nggak akan jatuh ke permainan itu,” katanya akhirnya, nadanya dingin, tapi ada sedikit getar yang tidak luput dari telinga James.
James menghela napas panjang, lalu menatap sahabatnya dengan penuh arti. “Hati itu susah diatur, Ngga. Kadang justru yang kita anggap permainan, malah berubah jadi sesuatu yang nyata.”
Lingga menoleh, sorot matanya tajam, berusaha menutup celah yang mungkin dibuka James. “Kalau sampai gue beneran jatuh… berarti gue kalah. Dan gue nggak suka kalah.”
James tersenyum tipis, tidak membantah, hanya menepuk bahu Lingga. “Kita lihat aja, Ngga. Kadang kekalahan itu justru kemenangan dalam bentuk lain.”