Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Lady Armelle
Paviliun Ravellyn — Jamuan Teh untuk Para Bangsawan Wanita
Cahaya sore menyaring melalui tirai tipis berwarna gading, menyiram ruangan berlangit kaca itu dengan cahaya keemasan yang hangat. Meja panjang dihiasi porselen bermotif bunga musim semi, dan berbagai kudapan halus tersusun rapi dalam susunan tiga tingkat. Harum teh melati dan kayu manis memenuhi udara, menyatu dengan suara tawa pelan dan dentingan cangkir.
Vanessa, yang kini sepenuhnya berperan sebagai Ratu Vivienne Aurenhart, duduk di ujung meja, mengenakan gaun biru safir dengan bordir benang perak. Penampilannya tenang dan terjaga, rambutnya disanggul anggun namun tidak terlalu kaku. Senyum tipis terukir di bibirnya—bukan senyum basa-basi, tapi senyum milik seseorang yang mengamati segala sesuatu dengan cermat.
Di sekelilingnya duduk para wanita dari keluarga bangsawan terkemuka. Lady Selhurst selaku tuan rumah duduk tak jauh darinya, dengan ekspresi yang hangat meski hati-hati. Di sisi kanan, Lady Yseult mengamati bunga di cangkirnya, sementara Lady Caliste duduk dengan posisi lurus, tangan dilipat anggun di pangkuannya.
Dan di ujung kiri meja, duduk Lady Armelle dari keluarga Lysandre—anggun, tapi sorot matanya tajam dan menyelidik. Senyumannya tak pernah sampai ke mata.
Topik pertama yang mengalir ringan—seputar kebun musim panas Lady Selhurst dan pesta dansa yang akan digelar bulan depan. Obrolan itu hanya basa-basi sopan, hingga akhirnya Lady Yseult, yang sejak tadi diam, menyentuh topik yang lebih menarik.
“Aku mendengar… ada insiden di pasar beberapa waktu lalu,” ucapnya pelan sambil menoleh ke Vanessa. “Ada yang mengatakan… Ratu kita turun tangan menyelamatkan seseorang dengan cara yang tak biasa.”
Beberapa wanita langsung saling melirik—terutama mereka yang selama ini skeptis akan perubahan Vivienne. Lady Armelle tertawa kecil, manis tapi mengejek.
“Ya. Aku pun mendengarnya. Konon, dengan sigap dan… penuh keahlian.” Ia memiringkan kepalanya ke arah Vanessa, senyumnya licik. “Bakat yang sangat mengagumkan untuk seseorang yang dikenal tak pernah belajar ilmu pengobatan.”
Vanessa menyesap tehnya perlahan, sebelum menjawab. “Aku tidak pernah menempuh pendidikan resmi… tapi ketertarikan pada dunia pengobatan bukan hal yang baru. Hanya saja baru sekarang aku diberi kesempatan untuk menyalurkannya.”
Nada suaranya tenang dan tulus. Tapi Lady Armelle tidak menyerah.
“Kesempatan yang datang… tiba-tiba,” katanya sambil menatap wanita-wanita lain. “Sungguh menginspirasi. Dari seorang ratu yang dulu terkenal keras kepala dan suka mencampuri urusan politik, kini berubah jadi penyelamat rakyat.”
Tawa kecil terdengar dari ujung meja, namun tidak semua ikut serta. Lady Caliste jelas tak menyukai arah pembicaraan itu. Namun sebelum sempat berkata apa-apa, Lady Armelle kembali melontarkan sesuatu yang lebih menusuk.
“Namun, Yang Mulia…” katanya lembut, “Bukankah tanggung jawab seorang ratu… yang terutama, adalah memberi ahli waris bagi tahta Aragon? Sudah lima tahun berlalu, tapi kerajaan kita belum juga dikaruniai penerus. Tentu sebagai rakyat… kami hanya berharap yang terbaik.”
Beberapa wanita mulai menunduk tak enak hati. Lady Selhurst membuka mulut, seolah hendak menengahi, namun Lady Armelle belum selesai.
“Jika Yang Mulia belum mampu memberikan warisan untuk Aragon… bukan hal yang salah, bukan, jika sang Kaisar mempertimbangkan pilihan lain? Bahkan, mungkin rakyat akan lebih tenang.”
Suasana menjadi hening. Udara terasa kaku, dan semua mata kini tertuju pada Vanessa.
Namun berbeda dengan yang diharapkan Lady Armelle, Vanessa tidak menunjukkan kemarahan, tidak pula rasa malu. Ia hanya meletakkan cangkir tehnya perlahan, lalu menatap langsung ke mata Armelle.
“Aku kagum,” ucapnya tenang. “Karena jarang sekali ada tamu jamuan teh yang berani mengajukan usulan pemerintahan di antara scone dan teh melati.”
Lady Caliste menahan tawa pelan di balik tangan.
Vanessa melanjutkan. “Tapi aku mengerti. Rasa khawatir terkadang membuat orang lupa etika. Apalagi… jika dirinya sendiri pernah menjalani tahun-tahun pernikahan yang tak kunjung membuahkan keturunan. Empati yang kau tunjukkan hari ini… luar biasa.”
Lady Armelle menegang. Matanya melebar, dan beberapa wanita mulai berbisik pelan. Vanessa tahu apa yang ia sentuh—sebuah skandal lama yang dulu nyaris tersembunyi: Lady Armelle pernah kehilangan kedudukannya karena tidak kunjung memiliki keturunan dengan suami terdahulu… yang akhirnya menceraikannya secara diam-diam.
Namun Vanessa tidak selesai di situ.
“Kau benar, Lady Armelle. Tanggung jawab seorang ratu memang besar. Tapi lebih besar lagi adalah menjaga kehormatan. Dan bagi kami yang memegang kedudukan tinggi, tak semua harus dijawab dengan rahim. Ada yang lebih penting: akal sehat… dan keanggunan dalam menjaga mulut.”
Lady Armelle langsung diam. Matanya merah, tapi tak bisa berkata apa-apa.
Vanessa meneguk tehnya sekali lagi, lalu menoleh ke Lady Selhurst. “Teh Anda sangat harum, Lady Selhurst. Saya berharap kita bisa berbicara tentang musim panen atau seni bordir setelah ini. Topik yang… lebih sesuai.”
Lady Selhurst, yang sejak tadi canggung, kini langsung mengangguk dengan senyum lega. “Tentu, Yang Mulia. Saya pikir itu ide yang sangat baik.”
Lady Caliste, dengan anggun, berkata, “Dan saya pikir… tidak semua orang di meja ini tahu cara berbicara kepada seorang ratu.”
Vanessa menoleh padanya dan tersenyum kecil. “Untungnya, beberapa masih tahu.”
——
Beberapa wanita mencoba mencairkan suasana dengan mengangkat topik-topik ringan seperti jenis bunga musim gugur atau gaun terbaru dari penjahit ibu kota. Namun, sebagian dari mereka masih mencuri pandang ke arah Vanessa—antara kagum dan tak percaya bahwa wanita yang dulu mereka hina kini bisa menjawab dengan begitu tajam namun tetap tenang.
Lady Caliste mendekat sedikit, cangkir tehnya nyaris menyentuh bibir. “Saya tak yakin siapa yang lebih pedas, tehnya… atau balasan Anda tadi, Yang Mulia,” ucapnya pelan, dengan senyum tipis.
Vanessa menoleh padanya. “Teh biasanya tak melukai siapa pun. Tapi lidah manusia… itu cerita lain.”
Lady Caliste tertawa ringan. “Sepertinya banyak yang perlu belajar lebih banyak etika sebelum bicara soal garis keturunan.”
Sementara itu, Lady Armelle masih duduk diam. Wajahnya sudah tak setegang tadi, tapi sorot matanya gelap. Ia memutar cangkir di jemarinya, lalu perlahan berdiri dari kursinya.
“Mohon maaf, Lady Selhurst, aku baru ingat ada janji dengan sepupuku sore ini,” ucapnya sambil sedikit membungkuk. “Jamuan Anda… sangat berkesan.”
“Semoga bukan terlalu berkesan,” gumam Lady Caliste, cukup pelan untuk hanya didengar Vanessa.
Vanessa hanya menatap Lady Armelle meninggalkan ruangan dengan tenang. Tak perlu menang dengan suara keras. Kadang kemenangan datang lewat diam yang tepat sasaran.
Tak lama kemudian, Lady Yseult mendekat. Ia membawa nampan kecil berisi potongan kue buah dan diletakkan di dekat Vanessa.
“Saya pribadi sangat menghargai kedatangan Anda hari ini, Yang Mulia,” katanya sopan. “Sudah lama kami mendambakan percakapan yang jujur. Meski… saya tak menyangka bisa menyaksikan duel kata yang lebih tajam dari pesta dansa di istana.”
Vanessa mengangguk pelan. “Saya hanya ingin memulai dari nol. Jika ada yang harus saya benahi, maka saya lebih memilih melakukannya langsung di hadapan mereka… bukan dari balik tirai.”
Lady Yseult tersenyum ramah, tapi tidak menjawab. Hanya menatap Vanessa sejenak, lalu kembali ke tempat duduknya.
Vanessa menarik napas panjang dan mengedarkan pandangan. Satu per satu wanita mulai bangkit dari kursinya, memberi salam perpisahan. Tak semua menyukai kehadirannya. Tapi tak satu pun berani lagi meremehkannya begitu saja.
Dan ketika Vanessa berjalan keluar dari Paviliun Ravellyn, angin sore menyapu gaunnya pelan. Tapi bukan angin yang membuat kulitnya merinding.
Ada tatapan yang ia rasakan menembus punggungnya. Tatapan tajam, dingin, menyimpan luka dan amarah.
Dari jendela belakang paviliun, Lady Armelle masih berdiri. Mengawasi Vanessa pergi. Bibirnya tertutup rapat, tapi jemarinya menggenggam kuat pinggiran jendela kayu.
——
Angin dingin menembus celah-celah dinding batu tua. Di dalam vila, cahaya lentera kuning redup menerangi ruangan dengan aroma herbal pahit dan debu buku-buku tua. Di pojok ruangan, sebuah lambang tua terukir samar pada batu dinding—bunga malam bermahkota duri di atas buku terbuka—lambang keluarga Cendervale yang lama disingkirkan dari istana karena sihir darah dan praktik pengobatan terlarang.
Seorang pria tua duduk di balik meja ukiran berat, jubah hitamnya bertepi merah darah. Matanya tajam, tatapannya menusuk seperti belati. Dialah Lord Haldegar Cendervale, ayah dari Lady Armelle, dan pemimpin kelompok kecil yang ingin mengembalikan kehormatan keluarga mereka—dengan menjatuhkan nama Aurenhart.
Di hadapannya berdiri Selene, mengenakan gaun gelap sederhana namun anggun, rambutnya digelung rapi, dan sikapnya tak kalah tenang dibanding pria tua itu. Mereka baru saja menyelesaikan diskusi, ketika pintu terbuka keras.
Langkah tergesa, suara gaun berderak. Lady Armelle masuk, wajahnya merah karena amarah, dan suara sepatunya membelah keheningan malam.
“Vivienne mempermalukanku!” hardiknya, langsung tanpa salam. “Di depan para wanita bangsawan, di meja jamuan, di atas porselen kerajaan—aku dipermalukan seperti pelayan pasar!”
Lord Haldegar mengerutkan alis. “Armelle…”
“Tunggu ayah! Biarkan aku bicara!” Mata Armelle berkilat, lalu ia menatap sinis ke arah Selene. “Dan kau…” katanya tajam, “Bukankah seharusnya kau yang paling bertanggung jawab? Kau, yang katanya begitu dekat dengan Kaisar. Kau yang kami harapkan untuk mengembalikan kendali dari dalam. Tapi apa yang kudengar hari ini?”
Ia maju selangkah, penuh kemarahan. “Katanya Kaisar dan wanita itu kini tidur dalam satu ranjang. Bahkan hubungan mereka terlihat semakin baik!” ucapnya seperti mengejek. “Kau gagal, Selene. Bahkan setelah semua kesempatan, semua waktu yang kau habiskan bersamanya. Dan sekarang kau hanya berdiri di sini dan diam?”
Selene tidak bereaksi. Hanya diam, lalu menatap Armelle dengan pandangan dingin… seolah yang berdiri di hadapannya hanyalah anak kecil yang merengek.
“Sudah selesai?” tanyanya lembut, tapi penuh ancaman.
Armelle membuka mulut, tapi Selene melanjutkan, suaranya lebih rendah namun menekan:
“Kau kehilangan kedudukan karena suamimu dulu mencampakkanmu. Dan sekarang kau kehilangan martabat karena lidahmu terlalu tajam dan kepalamu terlalu kosong.”
Ia menunduk sedikit, menatap Armelle tepat di mata.
“Kau ingin menghancurkan Vivienne, tapi satu-satunya hal yang kau hancurkan hanyalah reputasimu sendiri.”
Lord Haldegar mendengus kecil tapi tak ikut campur.
Selene kembali berdiri tegak, berbalik menghadap keduanya. “Aku tidak gagal. Aku hanya belum selesai.”
Ia melangkah ke meja batu di tengah ruangan, lalu membuka lembaran kertas kasar yang telah ia bawa. “Ada sesuatu yang sedang dilakukan Vivienne bersama Tabib Alana.”
“Apa itu ?” tanya Haldegar, akhirnya bersuara.
Selene mengangguk. “Entahlah. Tapi kuperhatikan pergerakan mereka… terlalu tertutup. Bahkan para pelayan tak tahu apa yang terjadi di dalam ruang kerja mereka.”
Armelle menyipitkan mata. “Lalu?”
Selene menatap keduanya. Matanya yang teduh kini berubah menjadi pantulan rencana kelam. “Jika dia benar-benar sedang membuat ramuan seperti yang kudengar… dan jika ramuan itu bisa dibelokkan arah penggunaannya… maka kita tidak perlu mencemarkan nama Vivienne dengan fitnah.”
Senyumannya menyimpang.
“Kita hanya perlu menunjukkan… bahwa Ratu mereka sendiri membahayakan nyawa rakyatnya.”
luar biasa
semangat Thor.. up selanjutnya kami tunggu 😊❤️