Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Pagi yang dingin.
Aku terbangun dari tidurku,ku lihat di sisi kasur tidak ada lagi tubuh besar nan hangat yang memelukku tadi malam. Mengingat betapa nyamannya berada di pelukan Dewa untuk pertama kalinya membuatku, tersenyum kecil. Tersenyum malu dan bahagia. Entahlah aku tidak tau.
Aku mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi, Dewa sedang berada di dalam sana. Ku lihat jam di dinding, menunjukkan pukul enam pagi. Aku segera merapikan tempat tidur dan bergegas menuju dapur.
Hatiku sangat senang, moodku juga sangat baik, mungkin karena pelukan itu? atau karena Dewa mulai peduli padaku. Pagi ini aku memutuskan untuk membuatkannya sarapan. Bukan sarapan mewah, hanya roti yang aku baluri dengan telur dan butter, kemudian aku goreng dan menyiapkan segelas air, saus, lalu memotong beberapa buah.
Aku juga teringat masih ada beberapa potong cookies kering yang sempat aku buat beberapa hari lalu. Aku mengeluarkannya dari toples dan meletakkan ke atas piring. Menunggu Dewa turun untuk sarapan.
Aku menunggu cukup lama di dapur, sembari duduk di kursi. Ku lirik jam di ponselku, sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Aku bingung apa yang membuat Dewa sangat lama bersiap di atas sana. Biasanya dia berangkat ke kantor pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Selalu begitu, aku memperhatikannya.
Aku berdiri dari dudukku dan berjalan ke ruang tamu, berusaha mencari sosok Dewa disana. Namun,seketika aku terdiam. Melihat mobil hitam dari pintu masuk yang terbuka lebar, mobil itu berjalan melewati pagar.
Dewa, pergi begitu saja.
Tanpa sapaan, tanpa sarapan. Seperti biasanya, seolah dia hidup sendirian di rumah ini.
Hatiku menjadi kecil seketika. Mungkin karena aku terlalu berharap pada sosok Dewa? Mungkin aku salah mengartikan semua yang dia lakukan semalam.
Mungkin Dewa melakukan itu semua karena dia tidak tahan melihatku menangis, Karena terakhir kali Dewa mendengar isakan tangisanku, dia pergi entah kemana dan tidak pulang selama dua hari.
Aku kembali Terdiam, tidak bergerak sedikitpun, ku lirik meja makan yang sudah tertata rapi, semua sarapan yang mulai menjadi dingin. Seolah mereka mengejek dan menertawakanku.
......................
Setelah itu aku tetap kembali ke dapur untuk mencuci semua piring dan peralatan memasak yang aku gunakan untuk sebuah ke sia siaan. Membasuh setiap kotoran yang ada di permukaan piring, berharap kesedihan dan kepediahan yang mengalir dalam diriku ikut terhanyut oleh air.
"Selamat pagi,non." Mbak yang akupun tidak tau namanya itu datang menghampiri, membawa tas belanjaan berisi sayuran dan perlengkapan dapur.
"Pagi,mbak...oh iya, saya sempat membuat sarapan tadi, mungkin mbak belum makan. Itu sarapannya dimakan aja mbak." Aku melihat ke atas meja. Sarapan yang masih utuh dan tak tersentuh.
Mbak menghampiri sarapan di atas meja dan matanya berbinar. "Wah, ini tidak papa saya yang makan,non?" tanya nya kembali memastikan.
"Tidak apa apa mbak," Aku menyudahi mencuci piring kotor dan menghelapkan tanganku ke serbet dapur.
"Mbak, kamu masak untuk makan malam aja yah nanti, saya mau makan siang di luar." Ucapku, lalu pergi meninggalkan dapur.
Entahlah, berada di rumah ini membuat rasa sakit yang mengalir di dalam diriku semakin terasa. Jadi aku memutuskan untuk makan siang di luar, mungkin makan bersama Hans akan sedikit menghiburku? Atau mungkin aku akan melanjutkan sesi konselingku dengannya.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu