Judul Alternatif: "Serpent's Vengeance: Rise of the Unbroken".
Selamat datang di dunia fantasi yang mempesona, di mana makhluk-makhluk mitologi hidup berdampingan, dan dendam menjadi pengobar semangat dari petualangan epic yang tak terlupakan. Novel ini akan membawa Anda ke dalam kisah yang menggabungkan latar belakang kelam, aksi mendebarkan, dan perjalanan penuh tantangan.
Di tengah dunia yang penuh misteri, terdapat seorang pemuda bernama Faelan. Dia adalah seorang yatim piatu yang diasuh oleh seorang ayah angkat yang baik hati. Namun, kehidupannya hancur ketika orang-orang yang selalu mem-bully-nya memberikannya sebuah tragedi traumatis.
Kini, Faelan adalah pewaris kekuatan naga yang legendaris dan menjadi pemimpin "The Unbroken," sebuah kelompok makhluk mitologi yang bersatu dalam hasrat untuk membalaskan dendam naga kuno, the ancient dragon yang telah jatuh.
Sambutlah pertarungan epik yang tak terlupakan ini, di mana kegelapan dan cahaya serta dendam dan penerimaan menjadi satu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K-U-Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Baru, Markas Baru
Sylva memeluk Faelan begitu erat.
Sylva sampai menggosok-gosokkan pipinya di dada Faelan.
Kini raut wajah Sylva terlihat memerah.
Saking eratnya, semua orang yang ada di sana sampai mengira kalau itu bukanlah pelukan biasa. Itu lebih seperti pelukan seorang kekasih yang sudah bertahun-tahun tak bertemu.
“Cih! Wanita ini hanya mengambil kesempatan. Bahkan aku saja yang sudah lama bersama tuan belum pernah sampai segininya” gerutu Rikka.
“Untuk yang satu ini, aku sepakat denganmu Rikka” Kata Elysia.
“Hei, telinga lancip lakukan sesuatu. Bukankah dia itu dari rasmu. Ataukah semua ras elf itu selalu dipenuhi hasrat seperti ini?”
“Jaga mulutmu wanita kekar! Aku tidak begitu”
“Cih! Setidaknya dia harus bersikap seperti ratu!”
“Ma.ma.maafkan aku. Aku terlalu terbawa suasana” ujar Sylva, pipinya memerah. “Kau memaafkanku kan, tuan pahlawan?” Kini Sylva menatapi Faelan dengan tatapan menggoda.
“Eee.. Anuu... Mmmm...” Faelan terbata-bata.
“Sudah sudah sudah!” Mithra menengahi. “Sepertinya Faelan perlu istirahat. Terlebih lagi ia baru sampai di sini. Kau tahu, semua orang pasti akan kesulitan ketika baru pertama kali ke sini”
“Oh tentu saja” Sylva tersenyum manis.
“Dan Sylva....”
“Iya??”
“BERHENTI MEMLUKNYA! TUNJUKKAN WIBAWAMU SEDIKIT!” Mithra menarik telinga Sylva dengan keras, menggeretnya menjauhi Faelan.
“HEI! BERHATI-HATILAH! TELINGAKU BISA PUTUS NANTI!”
“Tenang saja! Itu tak akan putus. Kau seharusnya bersyukur aku tidak menanamkan sihir di jariku. Sekalipun telingamu putus, kau akan dengan mudah menumbuhkannya”
“KAU KIRA AKU KADAL API HAH?”
“Setidaknya kau sama liarnya dengan makhluk tak punya otak itu”
Elysia kini muncul dan sontak memeluk Faelan.
Rikka juga langsung merangkul tangan Faelan.
Kini mereka bertiga menatapi Mithra dan Sylva yang sedang berdebat hebat.
Rikka dn Elysia sama-sama cemberut.
Sementara Faelan tersenyum dengan cara yang aneh.
“Master, apa aku tidak salah lihat kalau kau sedang senang?”
“Tuan, bukankah kau baru saja diL3c3hkan?”
“Maksudmu” Kata Faelan. Senyumnya masih terlihat sama.
“JANGAN CENGENGESAN” hardik Elysia dan Rikka.
***
Malam itu, Faelan dan Rikka beristirahat di kamar khusus tamu. Salah satu pelayan ratu yang mengantar mereka. Sebenarnya Sylva bersikeras untuk mengantar Faelan sendiri, tapi Mithra tidak setuju dengan hal itu, sehingga sang ratu terpaksa mempercayakan hal itu kepada salah satu orang yang paling ia percayai.
Kamar tidur tamu terdapat di lantai dua, satu lantai dengan kamar para penasehat dan jajaran petinggi istana lainnya. Untuk pertama kalinya Faelan tidur di kamar yang mewah.
Kamar tidur di istana Aeria adalah perpaduan sempurna antara kemewahan dan keanggunan. Ruangan ini terhias dengan panel kayu mengkilat yang diukir dengan motif artistik pada dinding dan lantainya yang memberikan kesan yang sejuk dan luas. Tempat tidur utama terbuat dari dipan kayu yang kokoh serta kasur dan bantalnya terbuat dari kain sutra dan berisi bulu-bulu angsa sehingga menekankan kesan elegan serta memberikan kenyamanan yang luar biasa. Ada dua kasur lagi yang sedikit lebih kecil namun tetap terlihat mewah. Di sanalah tempat Rikka duduk, sementara Faelan berada di tempat tidur utama. Lampu kristal yang cantik dan jendela-jendela kaca besar menyajikan pemandangan menakjubkan ke pulau terbang Aeria.
Baik Faelan, Rikka dan Elysia tak hentinya berdecak kagum pada kemewahan yang ada di depan matanya.
“Bukankah kamar ini terlalu mewah?” ungkap Faelan dengan polosnya.
“Aku mengakui itu, Tuan” balas Rikka, “tapi aku tetap tidak akan sepakat jika kemewahan yang ditawarkan oleh ratu Sylva membuatmu terlena”
“Hei kenapa kau tiba-tiba berkata begitu? Apa salahnya kita menerima kebaikan orang lain?”
“Jadi, apakah master tidak merasakan ada niat lain dari elf bernama Sylva itu?” sela Elysia.
“Aku baru kemarin menjadi dewasa. Lagipula masa-masa remajaku tidak pernah berjalan normal seperti remaja lainnya. Bagaimana aku akan tahu tentang hal-hal merepotkan seperti itu?”
Rikka dan Elysia kini saling tatap. Lalu secara bersamaan mereka menatap Faelan dengan penuh curiga.
“Apa arti tatapan kalian itu?” Tanya Faelan.
“Sudahlah” kata Rikka, “Hei Elysia. Walaupun kalian sama-sama elf, kalian tampak sedikit berbeda?”
“Kenapa? Aku lebih cantik kan?” Elysia tersenyum.
“Aku sedang tidak niat memuji orang”
“Apa susahnya bilang iya. Dasar! Meskipun aku dan Sylva adalah ras Elf, tapi aku dari keturunan High Elf. Semua Elf memiliki ciri fisik yang sama. Tetapi hanya High Elf yang dikaruniai rambut putih perak, berumur lebih panjang, kapasitas otak yang lebih baik dan tetap terlihat muda meski di usia tua”
“Waaaaw. Itu sama saja tidak adil”
“Tapi, hal tersebut justru akan menjadikan High Elf memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap elf pada umumnya, dan selalu diincar oleh orang-orang yang berniat jahat. Para wanita High Elf memiliki stereotip sebagai ras yang cocok untuk dijadikan budak pemuas nafsu atau paling beruntung menjadi selir”
“Aku akan berpikir ulang untuk iri padamu Elysia. Jadi itu alasannya kenapa si Sylva itu begitu kegirangan sampai memeluk tuan Faelan?”
“Maksudmu?”
“Karena dia kurang dalam hal kecerdasan”
“Aku tidak bilang elf biasa itu bodoh ya. Kepintaran itu relatif. Tapi, aku yakin Sylva adalah wanita yang pintar”
“Lalu kenapa dia begitu agresif?”
“Yah. Semua elf cepat tertarik pada laki-laki kuat”
“Kalau itu sih, Goblin juga sama”
“Atau jangan-jangan semua wanita di dunia ini seperti itu?”
Rikka dan Elysia menatap ke arah Faelan. Raut wajah dua perempuan itu nampak khawatir.
“Ada apa?” Tanya Faelan, “tumben kalian akur”
“DIAM!” ucap Elysia dan Rikka secara bersamaan.
Tok tok tok...
Seseorang mengetuk pintu dri luar.
“Siapa?” Tanya Faelan.
“Aku Sylva. Bolehkah aku masuk?”
Faelan menatap ke arah Elysia dan Rikka.
Kedua perempuan itu menggeleng dengan tatapan mengancam.
“Aku hanya ingin berbicara” ucap Sylva dari luar.
“Baiklah. Silakan masuk!” jawab Faelan.
Saat pintu terbuka, Sylva terlihat mengenakan gaun putih yang lentur. Rambut biru panjangnya terurai sampai ke pinggang. Di tangannya, ia memegangi lilin dengan penyangga dari tembaga yang terlihat mewah. Wajah cantiknya terlihat merona saat pantulan api lilin seperti menari menerpa kulit mulusnya.
Sylva lantas masuk duduk di kursi di depan kasur. “Aku tadi hanya lewat dan kemudian mendengar bahwa kalian berdua sedang berbicara. Jadi kuputuskan untuk mengetuk pintu. Maaf kalau aku mengganggu”
“Ratu sama sekali tidak mengganggu kok” ujar Faelan.
“Panggil aku Sylva saja” Sylva tersenyum, “Sama seperti masyarakat di sini, berita tentang datangnya sang juru selamat telah menyebar meskipun kami sebenarnya telah berusaha untuk menutupinya. Kami semua sedang sangat gembira, termasuk aku. Maaf kalau aku mengganggu malam-malam begini”
“Sungguh. Tidak apa-apa kata” tekan Faelan.
“Mithra tadi bercerita banyak tentangmu. Tapi aku belum tahu dari desa mana tuan pahlawan ini berasal?”
“Panggil saja aku Faelan. Aku berasal dari desa Frostwood”
“Frostwood? Itu adalah kali pertama aku mendengarnya”
“Itu hanya sebuah desa kecil yang berada di pinggir hutan”
“Apakah itu jauh?”
“Lumayan. Itu adalah sebuah pulau yang berada di sebelah utara benua Ignaria”
“Bukankah itu masih berada di bawah kekuasaan Shadowvale?”
“Sepertinya kau tahu banyak hal. Bisakah kau menceritakan lebih banyak tentang dunia ini kepadaku?”
“Kau mau mulai dari mana, Fae?”
“terserah kamu”
“Baiklah aku akan memulai dari kerajaan yang menguasai desamu terlebih dahulu. Jadi...”
Saat itu Sylva menceritakan tentang bagaimana kerajaan Shadowvale yang kini hanyalah menjadi topeng bagi para naga kegelapan untuk menguasai dunia. Sylva juga bercerita bagaimana desa-desa tertentu ditekan dengan aturan pemberlakuan larangan sihir serta ancaman hukuman eksekusi di tempat jika ketahuan melanggar. Terlebih lagi aturan itu sangat efektif jika di kalangan ras manusia biasa, sebab manusia biasa adalah ras yang paling lemah.
“Manusia adalah yang paling lemah katamu?” Tanya Faelan.
“Iya. Mereka adalah yang paling lemah. Tapi, justru karena keterbatasan itu mereka menjadi sangat cerdas dan pintar. Tapi sayangnya, kepintaran tanpa kebijakan hanya akan mengantarkan semua makhluk pada rasa ketamakan. Untuk itulah kerajaan Shadowvale jatuh pada rayuan naga kegelapan. Meskipun mereka kini adalah kerajaan yang paling berkuasa, tetapi rajanya sendiri tidak sadar bahwa ia sedang dimanfaatkan oleh naga kegelapan”
“Maksudmu kerajaan Shadowvale dipimpin oleh manusia biasa?”
“Iya. Tentu saja”
Tiba-tiba pikiran Faelan teringat pada Roderick dan Frederick. Suatu saat ia pasti akan menuntut balas pada ayah dan anak itu.
“Aku dengar dari Mithra kalau kalian sempat bertemu dengan Kaida”
“Iya. Apa kau mengenalnya?”
“Iya, tentu saja aku mengenalnya dengan baik. Itu setidaknya dulu”
“Apa maksudmu?”
“Sebagian besar penduduk Aeria adalah pendatang, termasuk aku dan Mithra. Ras manusia harimau adalah ras yang terkenal karena ketangkasan dan kekuatannya. Kaida bersama klannya dulu tinggal di sini. Kaida waktu itu merupakan yang paling muda, masih anak-anak. Ia sering diam-diam bersembunyi di kabin barang saat orang-orang dewasa di klannya sedang melakukan misi. Namun, pada salah satu misi besar, saat itu klannya diutus untuk melalukan misi penyelamatan, nahasnya klan itu harus bertemu dengan naga kegelapan Azorth. Seluruh klannya terbantai. Kaida yang waktu itu terkunci di kabin barang berhasil selamat”
“Lalu apa yang membuatnya mengkhianati kerajaan Aeria?”
“Ia melihat seluruh klannya terbantai dari bilik kecil tempatnya bersembunyi. Kedua orang tuanya terbunuh di depan matanya. Dan bagi anak kecil, itu sudah cukup menjadi alasan untuk berubah haluan. Hal itulah yg membuatnya mempertanyakan arti perjuangan, bahkan ia sampai membenci Kerajaan Aeria. Ia lalu memutuskan untuk mendapatkan hidup baru dan memilih apatis, hidup untuk dirinya sendiri. Bagaimanapun, ia akhirnya tumbuh menjadi seorang lelaki yang terlampau kuat. Ia hanya seorang prajutut gila yang tak bertuan”
“Ratu” kata Rikka tiba-tiba.
“Iya. Ada apa?” balas Sylva.
“Apa laki-laki bernama Kaida itu sudah punya pacar?”
“Hah?! Apa-apaan pertanyaan itu tiba-tiba?” Faelan terlihat kaget.
Sylva kini bingung mau bereaksi seperti apa.
Tapi, Rikka. Justru pipinya tampak memerah. “Lupakan pertanyaanku tadi” ucapnya sambil menarik selimut menutupi sekujur tubuh dan wajahnya.
***
Keesokan harinya, Faelan bertemu dengan para petinggi kerajaan di aula utama. Sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan ukiran para Naga Langit dan kelompok The Unbroken yang terpajang dengan gagah berani.
Sylva berdiri di depan mimbar besar bersama Faelan. Di depan mereka berdiri setiap jajaran petinggi kerajaan Aeria dengan wajah penuh antusias.
Sylva mulai berpidato. “Selamat pagi semuanya, para petinggi kerajaan Aeria. Mungkin kalian sudah tahu, tapi biar kuperkenalkan ulang. Laki-laki yang bersamaku sekarang ini adalah Faelan. Dia adalah laki-laki yang dipilih oleh Naga Agung Argentia. Kehadirannya sungguh kabar gembira bagi kita dan bagi dunia yag di ambang kehancuran ini. Sudah tugas kita sebagai support society yang dari dulu memang telah mendukung gerakan The Unbroken untuk membantu apapun kebutuhan Faelan, membantu setiap gerakan pembebasan. Dan Faelan...”
Kini Sylva menatap wajah Faelan. Auranya begitu terlihat berbeda ketika berbicara di depan bawahannya. Sylva di penuhi dengan karisma. “Di sini kau boleh menjadikan tempat ini sebagai markas utama The Unbroken kelak. Tapi, kita sama-sama tahu, kau perlu mengumpulkan orang-orang pilihanmu dulu sebelum memulai peperangan besar jilid dua”
Faelan terlihat bergetar saat ia mendengar kata peperangan besar dari mulut Sylva yang sebelumnya terlihat sebagai wanita normal baginya.
Justru Sylva menyebutkan peperangan besar itu tanpa ragu sedikitpun. Seolah ia sudah bersiap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi.
Pertemuan itu berlangsung ukup lama. Sekitar 5 jam. Yang paling banyak dibahas adalah tentang misteri terputusnya akses ke negeri para naga.
Sylva berkata “Semenjak beberapa waktu yang lalu, portal menuju negeri para naga telah tertutup. Apa yang terjadi?”
“Negeri itu telah hancur karena serangan naga kegelapan Azorth” jawab Faelan singkat.
Semua orang langsung terdiam. Masing-masing merasakan kengerian yang kuat.
“Apa???! Kenapa kau bisa berkesimpulan seperti itu?” Tanya Sylva dengan raut bergetar.
“Aku di sana saat negeri itu di ambang kehancuran”
“Bagaimana kau bisa selamat?”
“Kami bertiga kabur”
“Benarkah itu Mithra?” kini Sylva bertanya pada Mithra yang duduk bersama kepala penjaga perpustakaan.
“Tidak!” kata Mithra, “Aku tidak ikut. Aku bahkan baru tahu hal itu sekarang”
“Waktu itu, aku bersama Rikka dan Elysia” jawab Faelan.
“Apa kau baru saja menyebut nama Elysia?” Sylva terlihat kaget.
“Iya! Apa kau mengenalnya?”
“Semua Elf dan penduduk Aeria mengenalnya. Dia adalah satu-satunya High Elf yang tersisa. Seharusnya dialah yang berhak memimpin kerajaan Aeria ini. Bukan Mithra, apalagi aku. Sebab ia adalah keturunan langsung yang telah diberkati oleh Naga Agung Aeris The Skyshifter. Kami sudah lama mencarinya. Tapi keberadaannya dan desa Valornia seperti lenyap tertelan bumi. Kami berasumsi itu karena setiap waktu sang High Elf agung selalu mengaktifkan mantra persembunyian. Kami bisa merasakan perihnya kehidupan sehari-hari Nona Elysia, harus bersembunyi sambil bertahan hidup sendirian. Kemana Nona Elysia sekarang?”
“Banyak hal yang terjadi” Faelan terlihat sedih. “Sekarang sebagian kesdaran Elysia berada dalam tubuhku. Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkannya. Elysia mengorbankan nyawanya untuk memberi kami kesempatan untuk kabur”
“Bisakah aku bertemu dengannya?”
“Sayangnya tidak bisa. Tapi dia bisa mendengarkanmu”
“Elysia? Kau mendengarkannya, kan?”
“Iya!” Jawab Elysia singkat.
Faelan bisa merasakan bahwa saat ini Elysia sedang sedih dan senang secara bersamaan.
“Jadi itu alasannya kenapa kau memiliki bau seorang Elf?” Tanya Mithra.
Faelan mengangguk dengan ekspresi sedih.
Sylva. Mithra dan seluruh petinggi kerajaan menunduk dan memberi hormat, “Tolong sampaikan salam
kami pada Nona Elysia. Katakan padanya, bahwa kami pasti akan melanjutkan perjuangannya.”
***
Sylva dan Mithra mengantarkan Faelan menuju tempat relik Aeris tersimpan. Itu adalah sebuah kuil yang dinding-dindingnya memiliki ukiran yang mirip seperti yang ada di gua di tengah hutan saat Faelan mengalahkan Minotaur dulu.
“Di sini, dulu terdapat portal menuju Grotto. Tentu saja, portal itu kini sudah tidak berfungsi lagi” papar Sylva. “Tidak seperti relik Ignatius yang dijaga Elder Phoenix, relik Aeris tersimpan di dalam kuil ini. Kami, penduduk Aeria yang menjaga langsung reliknya”
Sylva dan Mithra menarik dua tuas secara bersamaan, yang terdapat di depan sebuah tempat yang mirip dengan miniatur altar di negeri para naga.
Dalam sesaat altar itu bergetar dan lantainya terbuka, membelah menjadi dua. Dari bawah lantai itu lalu muncul sebuah kotak yang terbuat dari batu dengan ukiran rumit. Batu itu berwarna cokelat muda dengan ornamen ukiran berwarna oranye. Tepat di bagian atas kotak itu terdapat pahatan yang berupa telapak tangan.
“Kami tak perlu menjelaskan apa yang harus kau lakuakan kan, Fae?” ujar Mithra.
Faelan mengangguk dan melangkah maju. Ia lantas meletakkan telapak tangannya di atas pahatan itu. sekujur dada Faelan tampak berpendar biru. Sebuah cahaya biru keemasan yang menyilaukan keluar dari mata relik naga yang terdapat di ukiran tembok kuil, memenuhi ruangan dengan kemilau yang terasa begitu hangat dan menenangkan. Kotak batu di depan Faelan perlahan terbuka.
Di dalam kotak itu terdapat sebuah batu yang bercahaya putih. Itu adalah relik Aeris.
Lumayan seru