Bayu, seorang remaja yang sedang dalam proses pencarian jati diri. Emosinya yang masih labil, membuat ia mudah tersulut emosi dan juga mudah terhasut.
Suatu malam, Bayu pulang dalam keadaan mabuk. Sang ayah yang kecewa dan marah, tanpa sadar memukulinya.
Termakan hasutan tetangga, Bayu tega melaporkan ayahnya dengan tuduhan kekerasan anak. Hubungan ayah dan anak yang sebelumnya sudah goyah, menjadi semakin buruk. Namun, pertemuannya dengan seorang gadis sedikit membuka mata hatinya.
Sebuah rahasia besar terungkap ketika ibunya pulang kembali ke kampung halaman setelah dua tahun menjadi TKW di luar negeri.
Apa rahasia besar itu?
Mampukah rahasia itu menyatukan kembali hubungan ayah dan anak yang terlanjur renggang?
Ikuti kisah selengkapnya dalam 👇👇👇
MAAFKAN AKU, AYAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4: Pak Ahmad Dibawa Polisi
.
Mentari semakin naik, ketika Pak Ahmad masih mondar-mandir dengan gelisah di teras rumahnya yang sederhana. Sejak pagi ia menunggu kepulangan Bayu yang tak kunjung tiba. Hatinya semakin gelisah, seharusnya hari ini Bayu masuk sekolah, tapi sampai sekarang belum juga terlihat batang hidungnya.
Ahmad sudah bertanya pada para tetangga yang barangkali melihat Bayu, namun tak satupun ada jawaban memuaskan. Ia juga sudah menemui Rizki dan Rudi, anak tetangga yang menjadi teman sekolah Bayu, tapi semua berkata tidak tahu.
“Ya Allah, kamu ke mana, Nak? Tadi malam tidur di mana? Sudah sarapan apa belum?” Berbagai pertanyaan yang hanya semakin membuat dirinya cemas. Bahkan seharusnya tadi pagi ia pergi ke pasar, membeli bumbu dan rempah untuk jualan nasi gorengnya. Tapi ia tak pergi hanya demi menunggu kepulangan Bayu.
“Apa aku pergi ke sekolahnya saja, ya? Barangkali tadi malam dia tidur di rumah temannya, lalu paginya langsung pergi sekolah," gumamnya.
Ahmad masuk ke dalam rumah guna mengganti pakaian dengan yang lebih layak. Dia akan menunggu di depan gerbang sekolah nanti.
Namun, baru saja ia akan berangkat dengan sepeda motor bututnya, tiga orang polisi berseragam lengkap tiba di depan rumah Pak Ahmad. Mereka menyapa dengan sopan, namun sapaan itu terasa seperti palu godam yang menghantam jantung Pak Ahmad.
"Selamat pagi," ucap salah seorang polisi, suaranya tenang namun tegas. "Benar ini rumah Bapak Ahmad?"
Pak Ahmad, yang baru saja baru akan mengunci pintu, menatap ke arah mereka dengan wajah bingung. "Selamat pagi. Benar, saya Ahmad. Ada apa ya, Pak?"
"Maaf mengganggu, Pak. Kami dari kepolisian ingin meminta Bapak untuk ikut ke kantor polisi. Ada laporan yang perlu kami tindak lanjuti," jawab polisi itu.
Pak Ahmad mengerutkan keningnya. "Laporan apa ya, Pak? Saya tidak mengerti."
"Nanti akan kami jelaskan di kantor polisi. Mohon Bapak bersedia ikut dengan kami," kata polisi itu lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
Pak Ahmad merasa jantungnya berdebar semakin kencang. Firasat buruk mulai menghantuinya. "Tapi... tapi ada apa ini, Pak? Apa yang terjadi?"
"Nanti Bapak akan tahu sendiri. Mari, Pak," ajak polisi itu, memberikan isyarat agar Pak Ahmad segera ikut.
Dengan wajah bingung, Pak Ahmad mengangguk lalu hendak mengunci pintu. Namun ia urungkan mengingat Bayu tidak membawa kunci cadangan. Ia pergi dengan rumah tidak dikunci agar sewaktu-waktu Bayu pulang bisa masuk.
Di luar, beberapa warga sudah berkerumun, menyaksikan kejadian itu dengan rasa ingin tahu. Bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka.
"Lho, Si Ahmad kenapa itu?"
"Iya, kok dibawa polisi? Ada masalah apa ya?"
"Apa mungkin melakukan tindak kejahatan? Kayaknya gak mungkin, deh. Dia kan orang baik."
"Tapi kok bisa sampai dibawa polisi begitu?"
Pak Ahmad hanya bisa menundukkan kepala, merasa malu dan bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Ia tidak menyangka, pagi itu akan menjadi pagi yang begitu kelabu dalam hidupnya.
Saat Pak Ahmad digiring menuju mobil polisi, Pak Hasan yang sedang duduk di gardu tak jauh dari rumah pak Ahmad, terlihat menyunggingkan senyum sinis. Melihat Pak Ahmad dalam kesulitan, ia merasa puas.
.
Sesampainya di kantor polisi, Pak Ahmad langsung dibawa ke ruang interogasi. Seorang polisi dengan tatapan tajam duduk di hadapannya.
"Selamat pagi, Pak Ahmad. Saya akan mengajukan beberapa pertanyaan terkait laporan yang kami terima," kata polisi itu membuka percakapan.
"Laporan apa, Pak? Saya benar-benar tidak tahu apa-apa," jawab Pak Ahmad dengan suara bergetar.
"Laporan dari putra Bapak, Bayu. Dia melaporkan telah mengalami tindak kekerasan dari Bapak," ucap polisi itu, membuat Pak Ahmad terkejut.
"Bayu? Anak saya?" Pak Ahmad tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tidak mungkin, Pak. Saya memang menamparnya semalam, tapi itu juga bukan sengaja untuk menyakiti."
"Baik, katakan kenapa Bapak melakukan itu? Itu sudah termasuk tindakan KDRT.” Polisi menatapnya dengan sorotata yang tajam.
"Saya benar-benar tidak sengaja untuk melakukan itu, Pak. Saya hanya emosi sesaat. Dan saya menyesalinya.” Pak Ahmad mencoba meluruskan.
Seorang ayah yang sedang dalam persimpangan dilema. Bagaimana caranya menjelaskan? Ia ingin membela diri, tapi juga tak ingin membuka keburukan anaknya.
"Kekerasan tetaplah kekerasan, Pak. Apapun alasannya, tidak dibenarkan melakukan tindakan tersebut," balas polisi itu dengan tegas.
Pak Ahmad menunduk, air matanya mulai menetes. "Saya tahu saya salah, Pak. Tapi saya melakukan itu karena saya sayang sama dia. Saya tidak mau dia terjerumus ke jalan yang salah."
"Tapi ananda Bayu mengatakan bahwa Bapak melakukan itu bukan hanya baru sekali. Tapi sudah berulang kali, dan Dia merasa tidak diperlakukan dengan baik," kata polisi itu lagi.
Ahmad tercenung, menggelengkan kepala tanpa suara. Hanya air mata yang turun perlahan. Bayu mengatakan seperti itu? Padahal, seumur hidup putranya, baru tadi malam itulah dirinya sampai mengangkat tangan. Kenapa Bayu tega memfitnahnya?
“Pak, bisakah izinkan saya bertemu dengan anak saya? Saya ingin bicara dengannya, menjelaskan semuanya.”
Pak Ahmad memohon dengan suara lirih,
Polisi yang bertugas tampak berpikir sejenak. "Baiklah, Pak Ahmad. Kami akan usahakan. Tapi, ingat, jangan mencoba untuk menekan atau mengancam Bayu. Biarkan dia berbicara dengan bebas."
Pak Ahmad mengangguk cepat. "Saya mengerti, Pak. Saya hanya ingin bicara dari hati ke hati."
Maka, polisi pun menyuruh seorang rekannya untuk menghubungi Pak Hasan, selalu wali yang tadi mengantar Bayu
Di rumah Hasan, mereka berdua sedang sarapan yang sebenarnya sudah kesiangan saat handphone Hasan berdering. Pria licik itu segera mengangkatnya saat mengetahui yang menelpon adalah pihak kepolisian.
Bayu yang duduk di kursi yang berseberangan dengannya menatap penasaran.
"Bayu, ini tadi polisi menghubungi. Mereka minta kamu datang karena ayahmu ingin bicara denganmu,” ujar Pak Hasan dengan nada prihatin.
Bayu tampak terkejut dan sedikit gugup. "Ada apa lagi, Pak?"
"Mungkin ayahmu ingin membela diri, mencari alasan atas perbuatannya," jawab Pak Hasan, nadanya terdengar lemah, namun, matanya memancarkan tatapan licik yang tersembunyi.
"Tapi... apa yang harus aku katakan, Pak?" tanya Bayu, merasa bimbang.
Pak Hasan meletakkan tangannya di atas punggung tangan Bayu, menatapnya dengan tatapan lembut yang penuh tipu daya. "Dengarkan apa yang ingin dia katakan. Tapi, jangan mudah percaya dengan kata-katanya. Ingat, Bayu, dia mungkin hanya ingin membuatmu merasa kasihan dan mencabut laporanmu. Jika itu terjadi, dia tidak akan pernah jera."
"Maksud Bapak?" Bayu mengerutkan keningnya.
"Ayahmu mungkin akan berjanji untuk berubah, untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Tapi, apakah kamu yakin dia akan menepati janjinya? Atau dia hanya mengatakan itu agar terhindar dari hukuman?" Pak Hasan terus menghasut, memompa kebencian dalam hati Bayu.
"Jadi, aku harus bagaimana, Pak?" Bayu semakin bingung.
"Kamu penuhi saja panggilan polisi. Bapak akan mengantarmu, tapi Bapak akan menunggu di luar. Ingat! Kamu harus tetap teguh pada pendirianmu, Bayu. Kekerasan tidak bisa dibenarkan. Ayahmu harus diberi pengertian tentang hukum. Ini bukan hanya tentang dirimu," kata Pak Hasan dengan nada meyakinkan.
"Kalau kamu mencabut laporan ini, ayahmu bisa saja melakukan kekerasan pada orang lain di kemudian hari. Coba kamu bayangkan, jika ayahmu melakukan itu pada orang lain. Kira-kira apa hukuman yang akan ayahmu terima?"
Bayu terdiam, merenungkan setiap kata yang diucapkan oleh pak Hasan. Dan semua memang benar. Bayu tak ingin itu terjadi. Ia tak ingin ayahnya terus melakukan kesalahan.
Pak Hasan tersenyum tipis, merasa puas karena Bayu kembali termakan hasutannya. "Ingat, Bayu, Bapak selalu ada di pihakmu.”
*
*
*
Selamat bermalam di hotel prodeo pak Hadan...👊👊👊👊👊👊
Mo kabur...????? oooo..tidak bisa.....
kalian sdh dibawah pengawasan....🤭🤭🤭🤭