Arya Satria (30), seorang pecundang yang hidup dalam penyesalan, mendapati dirinya didorong jatuh dari atap oleh anggota sindikat kriminal brutal bernama Naga Hitam (NH). Saat kematian di depan mata, ia justru "melompat waktu" kembali ke tubuh remajanya, 12 tahun yang lalu. Arya kembali ke titik waktu genting: enam bulan sebelum Maya, cinta pertamanya, tewas dalam insiden kebakaran yang ternyata adalah pembunuhan terencana NH. Demi mengubah takdir tragis itu, Arya harus berjuang sebagai Reinkarnasi Berandalan. Ia harus menggunakan pengetahuan dewasanya untuk naik ke puncak geng SMA lokal, Garis Depan, menghadapi pertarungan brutal, pengkhianatan dari dalam, dan memutus rantai kekuasaan Naga Hitam di masa lalu. Ini adalah kesempatan kedua Arya. Mampukah ia, sang pengecut di masa depan, menjadi pahlawan di masa lalu, dan menyelamatkan Maya sebelum detik terakhirnya tiba?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon andremnm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4. pertarungan blok c...
Darah Arya Satria serasa berhenti mengalir. Ia terjebak.
Ia merapatkan tubuhnya ke dinding beton yang dingin, bersembunyi di celah sempit di balik rak besi berat yang baru saja ia geser. Buku besar bersampul kulit hitam—'Daftar Hitam'—ia dekap erat di dadanya. Udara di Blok C terasa berat oleh debu dan aroma kematian yang mendekat.
Cahaya senter yang kuat menyapu kegelapan, menusuk matanya. Langkah kaki berat terdengar di lantai semen.
"Kau cek tumpukan palet di kiri, Riko," perintah suara serak yang mematikan itu. Suara yang sama yang menghantui Arya selama dua belas tahun. Itu adalah Bargas—si pria plontos, algojo Naga Hitam di Kota Cakra Manggala.
Riko, pria bertubuh kurus namun tinggi dengan jaket 'NH' yang kebesaran, menyalakan senternya sendiri.
Riko: (Suaranya gugup) "Kau yakin bocah itu menipu kita, Bos? Dia kelihatan... nekat. Mungkin dia benar-benar punya informasi."
Bargas: (Tertawa dingin, suaranya seperti kerikil) "Dia nekat karena dia bodoh. Dia pikir dia bisa mengulur waktu dengan Komandan Jaya di Sarana Biru. Dia menyebut 'Daftar Hitam'. Itu berarti dia tahu sesuatu. Dan jika dia tahu, dia harus mati."
Arya menahan napas. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia takut Bargas bisa mendengarnya. Ia bukan lagi pria 30 tahun yang putus asa; ia adalah remaja 18 tahun yang terkepung. Ia tidak bisa melawan mereka secara fisik. Bargas adalah mesin pembunuh.
Cahaya senter Riko menyapu tumpukan palet kayu tua.
Riko: "Kosong di sini, Bos. Hanya sampah dan beberapa drum bahan kimia tua."
Bargas: "Bocah itu pasti ada di sekitar sini. Dia tidak mungkin kabur secepat itu. Aku akan periksa area arsip."
Langkah kaki Bargas mendekat.
Sinar senternya yang terang kini menyapu rak-rak arsip. Cahayanya menari-nari di atas rak besi berat tempat Arya bersembunyi. Arya memejamkan mata, mematikan senter ponselnya, dan berdoa dalam hati.
Bargas: "Tunggu..."
Bargas mengarahkan sinarnya ke lantai.
Bargas: "Riko, lihat ini."
Riko mendekat. Bargas menunjuk ke lantai semen. "Bekas gesekan. Masih baru. Rak ini baru saja digeser."
Sial!
Bargas menempelkan tangannya yang besar dan penuh kapalan ke rak besi itu. Dia mendorongnya sedikit.
KRRIIK!
Suara logam berdecit yang memekakkan telinga memenuhi ruangan. Celah tempat Arya bersembunyi menyempit satu inci.
Bargas: "Hmph. Berat sekali. Dia pasti ada di baliknya."
Riko: "Kita dorong bersama, Bos! Kita jepit dia!"
Arya terkepung. Tidak ada jalan keluar. Otaknya berputar cepat. Mati di sini? Tidak. Tidak lagi.
Tangannya meraba-raba lantai beton yang retak di sampingnya. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang dingin dan keras—sebuah pipa besi kecil yang tergeletak di antara puing, mungkin bekas kaki rak yang patah.
Saat Bargas dan Riko mengambil posisi untuk mendorong rak besi itu...
Arya: (Berteriak sekuat tenaga) "MEREKA DI SANA!"
PRAAANG!!
Arya melemparkan pipa besi itu sekuat tenaga ke sudut terjauh ruangan, menghantam tumpukan kaleng cat tua yang berkarat. Suara benturan itu menggema seperti ledakan kecil di dalam gudang yang sunyi.
Refleks, Bargas dan Riko berbalik, mengarahkan senter mereka ke sumber suara.
Bargas: "Siapa itu?! Ada orang lain?!"
Riko: "Mungkin temannya! Cek!"
Keduanya berlari kecil menuju sudut gelap itu.
Itu adalah celah dua detik yang Arya butuhkan.
Tanpa berpikir dua kali, Arya melesat keluar dari balik rak, memeluk erat 'Daftar Hitam', dan berlari menuju satu-satunya pintu keluar Blok C.
Riko: (Melihat gerakan) "Bos! Dia lari! Bocah itu!"
Bargas: (Berbalik, matanya menyala marah) "KEJAR DIA! JANGAN SAMPAI LOLOS!"
Arya meledak keluar dari pintu Blok C, kembali ke kegelapan area Gudang K-7, dengan dua pembunuh profesional tepat di belakangnya.
Arya meledak keluar dari pintu baja Blok C. Udara malam yang dingin terasa seperti tamparan di wajahnya. Ia memeluk erat 'Daftar Hitam' di balik jaket kulit Parade Malam-nya.
Di belakangnya, Bargas dan Riko menyusul, suara sepatu bot mereka menghantam kerikil.
Bargas: (Menggeram marah) "KURUNG DIA, RIKO! JANGAN BIARKAN DIA SAMPAI KE GERBANG UTAMA!"
Arya tahu kompleks gudang ini seperti labirin. Tumpukan kontainer berkarat, drum-drum oli kosong, dan bangkai mesin tua menciptakan bayangan-bayangan yang sempurna untuk bersembunyi, sekaligus untuk disergap.
Riko: "Aku ambil sisi kiri, Bos! Lewat tumpukan ban!"
Bargas: "Bagus! Aku potong dia di dekat pagar utama!"
Mereka berpisah. Taktik standar untuk mengepung mangsa.
Arya tidak berlari menuju gerbang utama; itu adalah bunuh diri. Bargas, sang algojo, sedang menuju ke sana. Ia memacu tubuh remajanya yang bugar, berbelok tajam ke kanan, menuju area pembuangan di belakang kompleks. Ia harus mencari jalan keluar lain.
Napasnya terengah-engah, adrenalin memompa darahnya. Ia adalah pria berusia 30 tahun yang terjebak dalam pertarungan fisik yang tidak mungkin ia menangkan. Ia hanya bisa mengandalkan kecepatan dan kelicikan.
Riko: (Terdengar lebih dekat) "Ke mana kau, bocah tikus? Kau tidak bisa sembunyi selamanya!"
Arya melihat celah sempit di antara dua kontainer pengiriman raksasa. Celah itu terlalu sempit untuk Bargas, tapi Riko yang kurus mungkin bisa melewatinya. Arya mengambil risiko.
Dia melesat masuk ke celah itu.
SRAK!
Jaket kulitnya bergesekan keras dengan logam berkarat. 'Daftar Hitam' di dadanya terasa aman.
Riko: "ITU DIA!"
Riko mengikutinya ke dalam celah. Seperti yang diduga Arya, bahu Riko yang lebih lebar sedikit tersangkut, memberinya waktu sepersekian detik.
Riko: (Mengumpat) "Sialan! Bos! Dia menuju area pembuangan!"
Arya keluar dari celah sempit itu dan langsung terhenti. Di depannya ada jalan buntu. Sebuah pagar kawat berduri setinggi empat meter, menjulang di bawah cahaya bulan yang redup, menghalangi jalan keluarnya. Di sebelahnya hanya ada tumpukan palet kayu tua yang lapuk. Ia terjebak.
Riko melangkah keluar dari celah, menghalangi satu-satunya jalan keluar. Dia tersenyum kejam, napasnya terengah.
Riko: "Nah, mau ke mana lagi, jagoan? Berikan buku itu, dan aku akan buat kematianmu cepat. Kau melawan, aku akan patahkan lenganmu dulu."
Langkah kaki berat Bargas terdengar mendekat dari arah berlawanan. Waktu Arya habis.
Arya: (Berpura-pura panik, menekan punggungnya ke pagar) "Buku ini? Bosmu (Bargas) tidak akan suka kalau dokumen ini rusak. Dia mau dokumen ini utuh, kan?"
Riko: (Tertawa) "Kau pikir kau bisa negosiasi? Kau hanya bocah. Aku akan patahkan lenganmu, ambil bukunya, lalu patahkan lehermu. Bos hanya peduli hasilnya."
Riko menerjang.
Arya, dengan insting yang diasah oleh pengalaman masa depan, tidak melawan. Dia mengelak ke kiri, membiarkan Riko menabrak tumpukan drum kosong.
BRAK!
Riko: "Diam kau!"
Riko berbalik, kini benar-benar marah. Dia mencabut pisau lipat dari sakunya.
Pada saat yang sama, Bargas muncul di ujung gang.
Bargas: "Sudah dapat dia, Riko? Habisi!"
Arya terkepung. Riko dengan pisau di depannya, Bargas menutup jalan keluar, dan pagar kawat berduri di belakangnya.
Riko: "Habislah kau."
Riko menerjang lagi, pisaunya mengarah ke perut Arya.
Arya tidak punya pilihan. Ia tidak mengelak ke samping. Ia melompat ke belakang—ke tumpukan palet kayu lapuk di samping pagar.
KRAK!
Kayu tua itu berderit dan patah di bawah berat badannya, tapi Arya terus memanjat, menggunakan adrenalin sebagai bahan bakar.
Riko: "Hei!"
Arya mencapai puncak tumpukan palet yang goyah. Dia sekarang sejajar dengan bagian atas pagar.
Bargas: (Menyadari niat Arya) "JANGAN BIARKAN DIA MEMANJAT!"
Tanpa ragu, Arya melompat dari palet kayu, mengabaikan kawat berduri yang tajam, dan melemparkan dirinya ke atas pagar.
Waktu seolah berhenti. Arya ada di puncak tumpukan palet. Bargas dan Riko ada di bawahnya, membeku sepersekian detik karena kaget.
Bargas: "JANGAN BIARKAN DIA MEMANJAT!"
Arya tidak menunggu. Ia melompat dari tumpukan kayu lapuk itu, mengabaikan rasa takut, dan melemparkan tubuhnya ke atas pagar kawat berduri setinggi empat meter.
SRAAAKK!
Suara robekan kain dan daging. Kawat berduri itu mengoyak jaket kulit Parade Malam-nya dan menancap dalam di paha serta lengannya. Rasa sakit yang menyengat langsung membakar sistem sarafnya.
Riko: (Mencoba memanjat palet yang goyah) "Dia... dia nekat!"
Arya tidak peduli. Ia memegang erat 'Daftar Hitam' di dadanya. Dengan satu dorongan terakhir yang dipenuhi adrenalin, ia berguling melewati puncak pagar yang tajam dan membiarkan gravitasi mengambil alih.
Ia jatuh empat meter.
BRUK!
Arya mendarat dengan keras di kerikil tajam di luar kompleks gudang. Ia berguling, mencoba menyerap benturan, tetapi pergelangan kakinya terkilir parah. Rasa sakitnya luar biasa.
"Argh!" desisnya. Darah mengalir dari luka-luka robek di lengan dan kakinya.
Di dalam pagar, Bargas mengumpat keras. Bargas: "BOCAH SIALAN! RIKO, KE GERBANG UTAMA! POTONG JALANNYA! DIA TIDAK AKAN JAUH!"
Arya memaksakan diri untuk berdiri. Pergelangan kakinya berdenyut nyeri, membuatnya pincang. Ia tidak punya waktu. Ia harus mencapai Dion.
Ia berlari tertatih-tatih menuju jalan utama, meninggalkan jejak darah kecil di aspal yang retak.
Arya: (Berteriak sekuat tenaga) "DION! NYALAKAN MESIN! SEKARANG!"
Di seberang jalan, di bawah lampu jalan yang remang-remang, raungan mesin motor butut memecah keheningan malam Kota Cakra Manggala. Dion, yang hampir menyerah menunggu, melihat sosok Arya yang berlari pincang.
Dion: "Astaga, Arya! Kau... kau berdarah!"
Arya: "JANGAN BANYAK TANYA! GAS!"
Arya melompat ke jok belakang, nyaris tidak berhasil. Tepat pada saat itu, Bargas dan Riko meledak keluar dari gerbang utama Gudang K-7, sekitar lima puluh meter di belakang mereka.
Bargas: (Melihat motor yang menyala) "TIDAK! JANGAN BIARKAN MEREKA KABUR!"
Mata Bargas bertemu dengan mata Arya dalam sepersekian detik. Kebencian murni terpancar dari sang algojo.
Bargas: "AKU AKAN MENEMUKANMU, BOCAH SIALAN! KAU DAN GADISMU TIDAK AKAN HIDUP SAMPAI BESOK!"
Ancaman itu menghantam Arya lebih keras daripada pendaratannya. Maya.
Arya: (Memukul punggung Dion) "PERGI, DION! PERGI!"
Dion memutar gas sepenuhnya. Ban motor berdecit di aspal saat mereka melesat ke dalam kegelapan, meninggalkan kedua anggota Naga Hitam itu dalam kepulan asap knalpot.
Mereka melaju kencang melewati jalanan industri yang sepi. Adrenalin Arya mulai memudar, digantikan oleh rasa sakit yang menusuk di sekujur tubuhnya dan dinginnya malam.
Dion: (Berteriak melawan angin) "ARYA, KAU GILA! APA YANG KAU BAWA ITU?! KAU BARU SAJA MELAWAN BARGAS SI ALGOJO!"
Arya mencengkeram 'Daftar Hitam' di balik jaketnya yang robek. Dokumen itu kini ternoda oleh darahnya sendiri.
Arya: (Terengah-engah, menahan sakit) "Aku... aku membawa senjata kita, Dion. Senjata untuk menghancurkan mereka."
Ia menatap ke belakang, ke arah gudang yang kini mengecil di kejauhan.
Arya: Ini baru permulaan. Aku mendapatkan bukunya. Sekarang, perang sesungguhnya dimulai. Aku harus menggunakannya sebelum Bargas menemukan Maya.