Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepuluh Musuh dan Sang Arsitek
...Chapter 4...
Anak itu, lemah dan sendirian, menapaki jalan panjang menuju kekuasaan yang melampaui dewa, menjatuhkan sepuluh antagonis utama dalam enam arc yang membentuk fondasi cerita.
Theo tahu setiap detail perjuangan itu, mengerti bagaimana dunia ini bekerja, paham apa yang menanti di setiap babak—namun pengetahuannya kini tidak lagi menjadi keunggulan, melainkan beban.
Ia hidup dalam kisah yang seharusnya berakhir ketika kredit permainan berhenti bergulir.
Yang paling membingungkannya adalah satu hal yang tak pernah bisa ia pahami, bahkan sebelum dunia ini menelan kenyataannya.
Semua dari sepuluh antagonis utama dalam Flo Viva Mythology—musuh besar yang seharusnya menjadi simbol kejahatan, kehancuran, dan kehendak liar alam semesta—selalu direpresentasikan sebagai wanita.
Tidak ada penjelasan logis, tidak ada alasan naratif nan memadai.
Mungkin itu hanya estetika, mungkin simbol keseimbangan, atau mungkin pesan tersembunyi dari sesuatu yang jauh lebih tinggi daripada dirinya sebagai penulis?
Namun kini, ketika dunia game itu telah menjadi kenyataan, misteri itu terasa seperti ancaman nan sedang menunggu di ambang kesadaran—seolah para antagonis itu tidak pernah benar-benar menjadi tokoh dalam kisah, melainkan bagian dari kenyataan yang sejak awal menulis ulang dirinya sendiri.
'Beberapa skenario pada arc kesatu ini belum sepenuhnya terjadi. Itu artinya, belum ada invasi dari sepuluh antagonis utama.
Kalau urutannya masih sama, berarti ancaman terbesar berikutnya datang dari—’
Hussssh!
‘Seakan-akan aku menulis ulang sejarah dunia tanpa adanya naskah yang mengatur.
Untuk meneruskan perjalanan, harus kutemukan jawaban atas hal-hal belum terekam sejarah, peristiwa-peristiwa nan belum ada, dan hal-hal yang semestinya dicegah terjadi.’
Tsreeek!
"Bergegas kemari, Erietta Bathee?"
"...."
Melupakan segalanya—bahwa dunia telah berubah, bahwa bumi kini tinggal legenda dalam cerita yang ia sendiri tulis—Theo tetap menulis.
Di bawah cahaya samar nan temaram, jemarinya menari di atas kertas lusuh, mengguratkan kisah yang seolah berusaha menolak kenyataan baru.
Tiap huruf bagai mantra, tiap kalimat bagai doa agar realitas mau tunduk kembali pada logika.
Namun di sela desir angin nan membawa aroma lembab tanah asing dan bisik dunia yang bukan lagi miliknya, Theo tak sadar bahwa sesuatu tengah bergeser di balik pandangannya.
Sebuah keheningan nan terlalu sempurna menggantikan bunyi pena—dan dari dalam bayangan, seseorang muncul.
Dia berdiri di hadapan Theo, tidak menimbulkan suara sekecil apa pun.
Gadis itu memandangi sang penulis dengan mata sejernih dan sedingin kaca yang tak mengenal pantulan emosi.
Erietta Bathee—nama yang seharusnya hanya hidup di antara layar, kini hadir di depan mata, menuntut keberadaan yang tak bisa dijelaskan oleh nalar manusia mana pun.
Rambutnya menjuntai panjang, berwarna hijau segar bagai rerumputan yang baru disiram hujan pagi, setiap helaian seolah punya pantulan cahaya sendiri.
Kulitnya—putih tanpa noda, tanpa rona, putih yang bukan milik dunia ini.
Terdapat keheningan abadi yang memeluk sosoknya, seolah udara sendiri enggan mengusik keberadaannya.
Theo terdiam.
Dunia di sekitarnya, yang sudah tak lagi manusiawi, mendadak terasa lebih nyata justru karena kehadiran gadis itu.
Ia tahu betul siapa Erietta Bathee—tokoh pendukung Ilux Rediona, si anak yatim yang tumbuh menjadi pengguncang dunia.
Dalam game, Erietta adalah pengawal setia, saksi tanpa perasaan, tangan kanan nan selalu berjalan tanpa ragu.
Theo dulu menulisnya sebagai lambang dari kesempurnaan tanpa jiwa—sebuah paradoks yang mengagumkan sekaligus mengerikan.
Namun kini, melihat Erietta berdiri beberapa langkah darinya, Theo merasakan sesuatu yang berbeda.
Yang ada adalah kesadaran jernih.
‘Ciptaan mereka kini hidup dengan nyawa yang bukan pemberian mereka.’
Erietta tidak berkata apa-apa.
Matanya kosong, tapi tajam.
Bibirnya rapat, namun menyimpan sesuatu yang belum sempat diutarakan dunia.
Ia menatap Theo seakan menembus tubuhnya, menelusuri urat-urat kesadaran di balik wajah yang kebingungan.
Angin berhenti berhembus, pena berhenti menulis, dan waktu—untuk sesaat—membeku.
Hanya suara detak jantung Theo yang terdengar, samar tapi jelas, mengingatkannya bahwa di tengah kenyataan yang telah dicuri oleh game ciptaan orang lain, ia masih manusia.
Dan di depan manusia itu, berdiri Erietta Bathee—bukti bahwa batas antara fiksi dan realitas telah musnah, dan dunia kini hidup dengan caranya sendiri.
"Sepertinya aku mulai paham kenapa dunia ini tak bisa lepas dari ironi.
Terlebih daripada itu, senang berbisnis denganmu, Nona Bathee."
'Emas di dunia Flo Viva Mythology … lebih nyata daripada rasa kantukku di dunia lama.'
"Menggelikan."
"Lepaskan rasa malumu.
Dan sekali lagi, kuucapkan terima kasih atas kedermawananmu.
Kau sungguh tidak tahu betapa bernilainya kebaikanmu bagi seorang yang ragu akan keberadaan hidupnya sendiri."
"Aku memilih untuk mengabaikannya."
Tanpa jeda, tanpa suara, Erietta Bathee mengangkat tangan, gerakannya ringan dan efisien seperti mesin yang tak mengenal ragu.
Dua karung kecil melayang di udara, terpantul samar oleh cahaya nan menembus jendela berdebu gudang tua.
Gerakan itu sederhana, tapi di antara serpihan debu yang beterbangan, karung-karung itu tampak seperti simbol dari dunia yang sudah sepenuhnya bergeser ke absurditas—mata uang suci nan dulu hanya punya nilai di balik layar kini mengudara dalam realitas yang tak lagi mengenal batas antara data dan daging.
Theo, dengan naluri yang terasah dari ribuan jam bermain game dan menulis kisahnya sendiri, langsung mengulurkan tangan, menangkap keduanya tanpa ragu, seolah tubuhnya sendiri telah terprogram untuk memahami maknanya.
Kedua karung itu kini berada di depan dada, terasa nyata di genggamannya.
Beratnya tidak seberapa, tapi gemerincing di dalamnya menyalakan gema yang aneh di dalam kepalanya.
Dulu, di dunia nyata, mata uang hanya sebatas nilai ekonomi, angka, dan sistem—sementara di dunia ini, dua karung kecil itu seperti membawa aura kehidupan.
Theo menatapnya lekat-lekat, menelusuri permukaan kain kasar yang diikat dengan tali hitam.
Ada aroma tanah bercampur darah kering, aroma dunia yang bukan dunia manusia.
Perlahan, Theo merasakan sesuatu merayap di sepanjang kulit tangannya, semacam energi hangat nan hidup, menjalar dari benda itu menuju nadinya, lalu berdesir masuk ke jantungnya sendiri.
Lalu Theo berdiri.
Perlahan, tapi tegas.
Tubuhnya tegak dalam cahaya samar yang memantulkan bayangan panjang di dinding retak.
Senyumnya muncul, namun bukan senyum manusia yang tengah berterima kasih atas kemurahan hati seseorang.
Itu adalah senyum yang lahir dari keanehan—dari ketegangan antara kesadaran dan kegilaan, antara rasa syukur dan godaan kuasa.
Tatapan matanya berkilau, seolah dalam detik itu Theo bukan lagi penulis yang tersesat di dunia game orang lai , melainkan sesuatu yang sedang lahir dari ketidaksengajaan semesta.
Ia membuka bibir, menyusun kata-kata lembut yang menandai rasa terima kasih, tapi di antara nada suaranya, tersemat getir yang tak bisa dijelaskan.
‘Terima kasih kepada ciptaan, atau kepada takdir yang telah memutar segalanya menjadi naskah yang hidup.’
Erietta menanggapi sesekali.
Sampai saat ini dia hanya berdiri, terus mematung di tempatnya—datar tanpa perubahan raut sedikit pun.
Namun jika diperhatikan lebih seksama, matanya memantulkan sesuatu.
Entah pantulan cahaya dari karung di tangan Theo, atau pantulan dari sesuatu yang jauh lebih dalam.
'Erietta Bathee benar-benar menyebalkan.
Jika ada ranking karakter paling menyakitkan di Flo Viva Mythology, dialah juara mutlak tanpa pesaing.
Bayangkan, aku—Theo Vkytor—hanya penulis dari dunia normal, yang sekarang harus hidup terkutuk sebagai Eshura Birtash.
Eshura yang di arc awal cuma jadi figuran pengganggu jalan cerita Ilux Rediona.
Eshura nan mata duitan, doyan wanita, dan akhirnya jadi pengkhianat tingkat dewa—menjual Ilux ke tempat mematikan yang tak bisa ditembus Human Change mana pun.'
Bersambung….