"Ini putri Bapak, bukan?"
Danuarga Saptaji menahan gusar saat melihat ponsel di tangan gadis muda di hadapannya ini.
"Saya tahu Bapak adalah anggota dewan perwakilan rakyat, nama baik Bapak mesti dijaga, tapi dengan video ini ditangan saya, saya tidak bisa menjamin Bapak bisa tidur dengan tenang!" ancam gadis muda itu lagi.
"Tapi—"
"Saya mau Bapak menikah dengan saya, menggantikan posisi pacar saya yang telah ditiduri putri Bapak!"
What? Alis Danu berjengit saking tak percaya.
"Saya tidak peduli Bapak berkeluarga atau tidak, saya hanya mau Bapak bertanggung jawab atas kelakuan putri Bapak!" sambung gadis itu lagi.
Danu terenyak menatap mata gadis muda ini.
"Jika Bapak tidak mau, maka saya akan menyebarkan video ini di media sosial!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4. Mantan Calon Mertua
Beby memgemudikan motornya menuju sebuah cafe tempatnya membuat janji temu dengan Galih. Ayah Revan yang mungkin mengira akan diberi uang dalam jumlah besar malam ini.
Ketika melangkah masuk, ia tak kesulitan mencari posisi pria tua yang rambutnya sudah penuh uban itu, jadi Beby memiringkan senyumnya saat menuju ke meja itu.
"Huh, Bapak tidak sabar ya, mau makan uang haram hasil pemerasan?" ejek Beby saat tiba di dekat meja yang telah Galih pesan.
Galih terkekeh, mengambil cangkir berisi kopi yang telah ia pesan sebelumnya. "Kamu berkata seperti itu seakan-akan telah berhasil mendapatkan uangnya saja!"
Beby duduk dengan nyaman dan bahkan memesan. Ia mengabaikan Galih yang masih setia dengan senyum mesumnya hingga ia selesai memesan. Dia ingin menguji kesabaran Galih sebagaimana dirinya telah dipermainkan sebegitu hebatnya.
"Atau jangan-jangan, kau kemari hanya untuk menyerahkan tubuhmu saja padaku?" Galih menaikkan pandangan matanya naik turun, sedikit lebih lama di tempat tertentu. "Kata Revan, kamu masih perawan, apa itu benar?"
Beby menarik napas dalam, lalu menegakkan tubuhnya. Pandangan matanya yang sebenarnya risih itu terpaksa ia kuat-kuatkan demi membuat Galih malu.
"Benar!" jawab Beby dengan suara berat dan dalam. "Oleh sebab itu rasanya tidak pantas kehormatan saya, saya jual rendah pada anda dan saya obral murah pada putra tercinta anda!"
Galih kembali terkekeh. "Benda itu tidak berharga sama sekali jika suatu saat telah dipakai orang banyak semahal apapun harganya!"
"Tapi Bapak malah mau beli keperawanan saya senilai 500 juta, apa itu uang yang sedikit bagi anda?" balas Beby sarkastik. "Benarkah keperawanan saya sangat berharga? Anda bahkan tampak terobsesi."
Galih terenyak. Ia terjebak oleh penyataan Beby dan jawabannya sendiri.
"Tapi Bapak tidak usah pusing memikirkan urusan vendor jika Bapak kesulitan keuangan hingga vendor 200 juta itu Bapak lipatgandakan menjadi 500 juta!"
Lagi-lagi Galih terdiam seribu bahasa mendengar ucapan tengil Beby.
"Saya sudah bayar seluruh biaya vendor! Ini bukti pembayaran yang saya terima barusan!" Beby menyodorkan selembar kuitansi pada Galih. "Karena Bapak hanya bilang untuk melunasi vendor, maka setelah saya lakukan semua itu, maka saya tidak punya tanggung jawab untuk memberi anda sepeserpun, benar?"
"Kesepakatan kita 500 juta—"
"Kesepakatan apa?" potong Beby santai. "Mana bukti kalau kita punya kesepakatan? Dan saya sudah bilang mau bayar vendor ini sudah saya bayar, lalu Bapak masih kurang? Bapak nggak puas ya sama istri Bapak yang biduan itu?"
Galih kaget bukan main mendengar apa yang Beby katakan.
"Bagaimanapun, Revan sudah memberitahu saya segalanya tentang keluarga besarnya. Bahkan Bu Evi sudah menuntut cerai dari Bapak karena biduan cantik bernama Yolanda Samara itu saya juga sudah tahu, Pak! Mau saya lempar gosip ini ke media? Ke publik? Tau kan netizen jaman sekarang ganas-ganas?"
Galih benar-benar tidak sangka akan diancam balik seperti ini oleh gadis bau kencur begini.
"Jadi Bapak masih menuntut saya lunasin uang dekor yang Bapak karang bebas itu?"
Galih bungkam. Bahkan ia tak mampu memberi Beby sebuah pengelakan yang pas. Ia hanya bisa menggerakkan bibir tanpa makna karena syok.
Beby tertawa kecil, "saya pulang dulu, Pak ... pesanan saya kalau tidak tertelan oleh tenggorokan Bapak, sebaiknya dibungkus saja! Hati-hati dijalan, jangan sampai kena stroke ya, Pak! Bye!"
Beby melenggang keluar, dengan Galih gelagapan memanggilnya. Namun meski mendengar Beby pura-pura tuli, justru senyum miringnya makin tinggi.
"Rasain kamu Tua Bangka?" desisnya puas saat melirik Galih yang dihentikan oleh pelayan restoran karena belum membayar pesanan.
"Bapak, pesanan sudah siap, mau di take away atau bagaimana, Pak?"
Ucapan pelayan resto itu membuat Galih urung melanjutkan langkah. Ia menatap posisi yang ditinggalkan Beby dan menggeretakkan gigi demi menahan amarah.
"Pak—"
"Buang saja! Aku udah nggak selera makan!" Galih merogoh sakunya, mengeluarkan dompet. "Berapa semuanya!"
Pelayan itu segera mengambil bil dan menyerahkan pada Galih. "Semuanya enam ratus sepuluh ribu!"
Galih kaget, apa yang Beby pesan sampai habis sebanyak itu? Namun, ia memilih segera membayar, meski rasanya ia sangat dongkol, lantas segera memutar badan dan melangkah lebar-lebar meninggalkan ruangan.
"Pak, kuitansinya ketinggalan?" kejar pelayan itu hingga ke pintu, membuat Galih berdecak dan membuang muka.
"Buang saja! Itu hanya sampah!"
Pelayan itu melongo melihat kuitansi yang tampaknya sangat penting tersebut. Namun, karena sudah diperintahkan membuang, maka pelayan itu membuangnya ke tempat sampah terdekat.
Disisi lain, dalam sebuah meja bar yang tinggi, Revan terus memijat kening karena pusing. Sehari setelah kabar pernikahan itu batal, banyak sekali orang bertanya kenapa bisa batal dan lain sebagainya sehingga membuat bibirnya nyaris dower saking capek membalas satu-satu telepon yang masuk. Jari-jarinya juga nyaris keriting karena membalas pesan yang menumpuk—sebagian lagi ia abaikan. Soalnya, dia tidak bisa memposting pengumuman pembatalan pernikahan secara meluas. Sebab ia tidak mau orang yang tidak dia undang tahu pernikahan itu dibatalkan dan membuat malu seluruh keluarga.
Ya Tuhan, ternyata efek membatalkan pernikahan seribet ini.
Ditambah lagi Beby tidak bisa dihubungi sejak kemarin. Nomornya aktif tapi puluhan bahkan ratusan pesan tidak pernah mendapat balasan. Panggilan telepon darinya juga diabaikan bahkan ditolak. Lebih sekedar sial daripada diblokir menurutnya. Dia bisa melihat Baby tapi tidak bisa menjangkaunya.
"Mungkin aku harus segera ke rumahnya lagi." Revan berniat segera menghabiskan minumannya lalu ke rumah Beby lagi setelah kemarin dia kesana tapi Beby tidak ada di rumah, pun dengan sesiangan ini meski sudah ia tunggu sampai sore, Beby tidak muncul juga.
"Sayang ...." Clara datang saat Revan menenggak habis cairan kekuningan dalam gelasnya yang mulai mengembun. Mata Revan bergerak malas menanggapi Clara yang senyumnya sangat lebar hingga ke telinga. Ia meletakkan gelas dalam sebuah hentakan kasar.
"Udah tau belum, Beby hari ini tetep lanjutin nikahnya loh!" Clara mengerling Revan dengan seringai kebahagiaan menguar dari paras ayunya.
Revan berdecak pelan usai menatap Clara dengan kekagetan yang mampu mengguncang hatinya. Benar-benar malas menanggapi Clara yang biasanya hanya membicarakan omong kosong. Memangnya siapa yang akan Beby nikahi? Anak itu hanya bucin padanya saja. Bahkan Beby tak punya teman pria yang bisa dikatakan dekat. Semua pria pasti insecure duluan begitu tahu siapa pacar Beby.
"Kamu cemburu?" pancing Clara
"Beby nggak mungkin semudah itu nikah sama orang lain!" sembur Revan ketus. Mukanya bersungut-sungut menatap Clara. "Jadi untuk apa aku cemburu? Beby bukan cewek gampangan—"
"Yakin?" Clara memotong ucapan Revan seraya mengambil ponsel dari tasnya. Membuka sosial media dimana Beby mengupload kegiatannya sehari-hari. "Dia upload banyak foto dan video pernikahannya tadi kok. Masa iya ini disebut susah move on?"
Clara mengulurkan ponsel ke muka Revan, membuat Revan menyipitkan mata.
"Meski diblur, tetap saja aku yakin itu bukan akal-akalan!" Clara mengompori. "Makanya aku selalu tanya ke kamu apa kamu yakin hanya kamu orang yang dia cintai? Sekarang terbukti kan, kalau dia tidak sebaik yang kamu kira?"
Revan berdecak. Tetap saja dia tidak percaya Beby seperti yang Clara katakan. Ia lebih kenal Beby dari siapapun termasuk Clara.
"Jadi, saranku sebaiknya kita juga segera menikah, biar Beby tidak sok dan besar kepala! Biar dia nggak menghina juga merendahkan kamu, Van! Apalagi kita akan segera punya anak, jadi lebih baik kita segera meresmikan hubungan kita."
Revan menaikkan mata untuk menatap Clara. Ia ragu pada dirinya sendiri yang memang sangat kecewa atas keputusan Beby. Pun dengan keputusan ayahnya yang setuju saat Beby pergi begitu saja membatalkan pernikahan.
"Yah, setelah Papi resmi dilantik nggak apa-apa, kita bisa nikah siri dulu." Clara menyarankan. "Asal aku nggak hamil diluar nikah aja."
"Yakin kamu hamil?" Revan tentu tidak mau diakali oleh Clara. Dia masih ingin mengejar Beby. Baginya Beby tetaplah yang terbaik. Kemarin hanyalah selingan sebelum ia benar-benar memiliki Beby sepenuhnya. Ia hanya memenuhi kebutuhan biologis yang katanya lebih baik disalurkan dengan cara yang benar dari pada pakai tangan.
"Sudah pasti lah, kan kita melakukan itu bukan hanya kemarin saja! Mana tanpa pengaman pula semuanya! Dan aku nggak mau anakku lahir tanpa pengakuan dari ayahnya. Nanti masa depannya suram! Lihat Beby, dia yatim piatu, orang tuanya nggak jelas, hidupnya sekarang juga nggak jelas kan? Dia hanya mengandalkan uang pacarnya saja!"
"Stop kata aku ya!" Revan kesal Beby disebut-sebut melulu.
Clara menggantung ucapannya. "Kamu kenapa sih, Van? Sensi banget kalau Beby disebut-sebut? Kamu mau balikan sama dia? Kamu masih cinta sama wanita yang udah nikah sama orang lain?"
Revan kaget atas teriakan Clara, sehingga ia berdiri untuk meredakan kemarahan Clara. "Jangan keras-keras bicaranya, banyak yang dengar itu!"
"Biar saja semua orang tahu kalau aku udah hamil anakmu! Kenapa kamu takut? Kamu pasti nggak—mmmhh!"
Mulut Clara dibekap oleh Revan hingga dia tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Kita akan nikah nanti, tapi tenang dulu! Setidaknya kita harus bicara dengan ayah ibuku lebih dulu!"
Clara menepis tangan Revan dari mulutnya dan menghadiahi Revan tatapan kesal.
"Aku akan bilang sama Papi dan mengatur pernikahan kita secepatnya! Terserah kamu mau terus ngejar Beby sialan itu, aku nggak peduli, selama kamu nikah sama aku!"
"Clara—" Revan tidak bisa mencegah kepergian Clara yang dipenuhi kemarahan. Kepalanya serasa ingin pecah memikirkan semuanya. Sejujurnya dia hanya ingin kembali pada Beby lebih dari apapun.
Revan mengacak rambutnya kasar lalu segera melanjutkan niatnya untuk ke rumah Beby. Dia harus memperjelas semuanya hari ini. Kendati benar Beby telah menikah, Revan tidak akan peduli. Ia bisa rebut Beby dengan cara yang paling halus juga kasar sekalian.