Elizabeth bukanlah gadis yang anggun. Apa pun yang dilakukannya selalu mengikuti kata hati dan pikirannya, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Dan ya, akibat ulahnya itu, ia harus berurusan dengan Altezza Pamungkas—pria dengan sejuta pesona.
Meski tampan dan dipuja banyak wanita, Elizabeth sama sekali tidak tertarik pada Altezza. Sayangnya, pria itu selalu memiliki seribu cara agar membuat Elizabeth selalu berada dalam genggamannya.
"Aku hanya ingin berkenalan dengannya, kenapa tidak boleh?"
"Karena kamu adalah milikku, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Seperti sebelumnya, Elizabeth akan sarapan bersama lalu berangkat kerja. Ini adalah hari kedua dia menjadi sekertaris Altezza. Berkali-kali dia berdoa agar tidak melakukan hal yang merugikan.
"Jangan ceroboh, jangan ceroboh ...." Dia mengulang beberapa kali sambil berjalan menuju mobil.
"Jalan, Pak!"
"Siap!"
Sang sopir segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pagi ini agak macet karena memang jam berangkat orang beraktivitas.
Elizabeth turun setelah mobilnya berhenti di depan gedung kantor. Dia menenteng tote bag berisi bekal yang disiapkan oleh Geisha tadi.
"Pagi, Bu."
"Pagi." Elizabeth tersenyum menyapa orang-orang. Ternyata para karyawan di sini begitu ramah, tidak ada yang bersikap semena-mena seperti di tempat kerjanya dulu.
Ketika hendak masuk ke ruangannya, suara seseorang membuat langkah Elizabeth terhenti.
"Eliza, saya mau kirim jadwal Pak Altezza hari ini." Baskara, asisten Altezza. Sebenarnya bukan tugas Baskara mengatur jadwal Altezza, tapi, Altezza yang memintanya kemarin, jadi mau tidak mau Baskara menurutinya. Untuk beberapa hari ke depan, dia yang akan mengatur jadwal Altezza, setelah itu dia serahkan pada Elizabeth.
"Ah, iya. Mari masuk, Pak." Elizabeth mempersilahkan Baskara masuk ke ruangannya. Setelahnya Elizabeth mengirim alamat email nya pada Baskara agar pria itu mengirim nya ke sana.
"Baik, sudah masuk. Terimakasih, Pak," ucap gadis itu.
Baskara mengangguk. "Kalau begitu saya permisi."
"Iya, silakan." Elizabeth tersenyum ramah. Setelah Baskara keluar, Elizabeth segera melihat jadwal Altezza hari ini. Ternyata tidak terlalu padat. Hanya akan ada rapat—
"RAPAT?!" pekiknya. Demi apapun, dia lupa mempelajari berkas yang Altezza berikan kemarin.
Elizabeth langsung mencari di mana berkas itu. Dia mengobrak-abrik tasnya, lemari dan juga tumpukan buku. Tapi tidak ada.
"Ya Tuhan ... apa lagi ini?!" Dia mengacak-acak rambutnya frustasi, ingin menangis saja rasanya.
Mejanya benar-benar berantakan, semua buku yang awalnya ditumpuk, kini sudah berantakan. Bahkan Elizabeth sampai tidak sadar jika ponselnya berdering.
"Di mana map nya?!" kesalnya. Matanya berkaca-kaca karena saking takut dan kesal nya. Dia takut Altezza marah nanti.
Elizabeth terdiam menunduk mencoba mengingat-ingat dimana dia meletakkan map pemberian Altezza kemarin. Dua puluh detik setelahnya, dia melotot.
"KAMAR?!" pekiknya. Dia melihat jam tangannya, pukul delapan pagi dan rapat akan diadakan pukul sembilan. Dia tidak ada waktu banyak sekarang.
Buru-buru Elizabeth keluar dari ruangannya, namun, tepat saat pintu terbuka, Altezza berdiri di sana hingga membuat Elizabeth menabrak tubuhnya. Hampir saja terjatuh jika Altezza tidak menahan pinggangnya.
"M–maaf, Pak!" ucap Elizabeth. Agak ketar-ketir melihat wajah datar Altezza. Ia mundur dua langkah agar sedikit berjarak.
Altezza menatap Elizabeth lalu beralih pada ruangan gadis itu. Satu kata, berantakan. Bahkan dia bisa melihat rambut Elizabeth acak-acakan. Apa yang terjadi?
"Kamu sedang apa?" tanyanya.
Eliza menunduk, tidak berani mengangkat kepalanya. "Umm ... i–itu ..."
Altezza melangkah masuk untuk melihat dengan jelas.
"Kamu mencari sesuatu?"
Elizabeth memejamkan matanya. "Dia pasti bakal marah," batinnya menggerutu.
"Iya, Pak," jawabnya gugup.
Altezza berbalik. Dia memicingkan matanya, kenapa gadis ini terlihat aneh?
"Saya telpon kamu berkali-kali, kenapa tidak dijawab?" Altezza menghela nafas. "Rapat dimajukan, saya ada pertemuan dengan klien di luar kota hari ini."
"HAH?!" Elizabeth menutup mulutnya karena telah berteriak tiba-tiba. "Maaf, Pak. T–tapi, bukannya jadwal Pak Al hari ini hanya rapat lalu bertemu klien di cafe, ya?"
"Benar. Tapi ada perubahan, saya yang akan ke luar kota untuk menemui klien, sekalian melihat proyek kita di sana." Altezza menatap Elizabeth dengan curiga saat melihat gerak-gerik gadis itu.
"Ada apa, Elizabeth?"
Elizabeth menghela nafas pelan, dia berusaha tenang agar tidak semakin takut. Demi apapun, hanya dengan tatapan mata Altezza, Elizabeth merasa dikuliti.
"M–maafkan saya, Pak ... map yang Bapak kasih ke saya kemarin hilang dan saya belum mempelajari apapun." Elizabeth menunduk takut, dia sama sekali tidak berani menatap wajah Altezza.
Altezza menghela nafas kasar, dia memijat pelipisnya yang berdenyut. Dia kesal karena kecerobohan Elizabeth. Altezza itu tidak suka orang yang ceroboh hingga merugikan orang lain.
"S–saya sudah cari kemana-mana, ternyata map nya ada di kamar. Saya lupa membawanya, Pak ...." Elizabeth mengusap air matanya yang mengalir. Siapapun yang berada di posisinya saat ini, mereka pasti akan merasakan hal yang sama, yaitu takut. Takut dimarahi dan takut dipecat.
Altezza menghela nafas. Dia menunduk memijat pangkal hidungnya. Lagi-lagi Elizabeth ceroboh. Apa gadis ini selalu ceroboh?
Dia pun kembali menatap Elizabeth yang sibuk mengusap air mata. "Tidak usah menangis. Ayo ikut ke ruangan saya." Altezza melangkah keluar tanpa menatap Elizabeth lagi.
Elizabeth menarik ingusnya lalu segera mengikuti Altezza dengan cepat, takut jika pria itu semakin marah.
Altezza menyuruh Elizabeth agar berdiri di belakangnya, sedangkan pria itu duduk di kursinya yang berada di depan komputer.
Ternyata Altezza memiliki file salinan berkas yang ditinggalkan Elizabeth.
"Saya rasa tidak ada waktu lagi untuk mempelajari semuanya. Jadi— "
"Saya bisa, Pak!" Elizabeth mengusap wajahnya yang masih ada jejak air mata. "Saya bisa pelajari semuanya. Satu jam, sudah cukup untuk saya."
Altezza menatap sekertaris nya dengan tatapan ragu. "Kamu yakin?" tanyanya.
Elizabeth mengangguk. Hidungnya yang memerah membuat Altezza menahan senyum geli nya. Pria itu bangkit dan berdiri di samping Elizabeth.
"Tunggu apa lagi?" Dia mengendikkan dagunya menyuruh Elizabeth duduk di kursi.
"H–hah? Tapi, Pak— "
"Tidak ada waktu lagi, Elizabeth."
Mau tidak mau, Elizabeth menurut. Dengan ragu dia duduk di kursi kebesaran Altezza yang tentunya lebih empuk dan nyaman dibandingkan kursi miliknya. Tanpa menunggu lama lagi, Elizabeth menggulir mouse komputer untuk mempelajari apa yang ada di layar komputer tersebut.
Selagi Elizabeth fokus, Altezza memilih menuju jendela kaca yang ada di ruangan tersebut, memandangi gedung-gedung tinggi yang ada di sana. Wajahnya datar tanpa ekspresi sama sekali. Sesekali dia melihat jam untuk memastikan sisa berapa menit lagi menuju rapat.
Hingga tak lama dari itu, suara pintu diketuk mampu membuat konsentrasi Elizabeth buyar, tanpa sadar dia mengeram kesal.
Altezza melirik Elizabeth sekilas lalu menatap Baskara yang baru saja masuk. "Ada apa?" tanyanya.
Baskara cukup terkejut melihat Elizabeth duduk di kursi kebanggaan Altezza, namun dia kembali fokus pada tujuannya, ia pun melangkah mendekati Altezza yang berdiri di dekat jendela.
"Sepuluh menit lagi rapat dimulai. Semua tamu sudah berkumpul di ruang rapat, Pak. Dan ini, file yang Anda minta."
Mendengar itu, Elizabeth semakin ketar-ketir, dia menegakkan tubuh dan semakin fokus pada layar di depannya, ia bahkan tak mendengar lagi apa yang kedua pria itu bahas. Bibir Elizabeth komat-kamit membaca deretan huruf di layar komputer.
Sebenarnya memahami atau mempelajari materi untuk rapat bukanlah sesuatu yang sulit untuk Elizabeth, yang membuatnya terhambat adalah waktu, dia butuh waktu banyak untuk mempelajari semuanya, jadi, satu jam ini harus bisa dia gunakan dengan baik.
"Sudah selesai?" Elizabeth tersentak kecil mendengar suara bariton Altezza yang tiba-tiba.
"S–sudah, Pak," jawabnya setelah menetralkan rasa kagetnya. Dia segera beranjak dari kursi Altezza dan berdiri di samping meja, memperhatikan Altezza yang sedang mematikan komputer. Ia baru sadar kalau Baskara sudah keluar dari ruangan ini.
"Kita ke ruang rapat sekarang." Altezza membenarkan jas nya lalu segera keluar dari sana dan diikuti Elizabeth yang agak tegang.
Dalam hati, Elizabeth benar-benar berdoa agar semuanya berjalan lancar nanti.
****
"Tegang sekali, ada masalah, ya?"
Elizabeth terkejut saat seorang wanita duduk di sampingnya tiba-tiba. Dia tersenyum tipis lalu menggeleng pelan.
"Tidak ada," jawabnya.
Perempuan bernama Lucina itu terkekeh. "Jujur saja, pasti sedang ada masalah, kan? Masalah pribadi atau kantor?"
"Kenapa dia kepo sekali?!" batin Elizabeth. Bibirnya tersenyum meski hatinya jengkel.
"Mbak bisa kepo juga ternyata," ujar Elizabeth lalu terkekeh.
Lucina langsung melotot mendengar panggilan dari Elizabeth. "Jangan panggil saya Mbak! Kita seumuran tau! Kamu dua puluh lima, kan?"
Elizabeth mengangguk sambil memakan makanannya. Saat ini dia memang sedang makan siang di kantin, dan perempuan di sampingnya ini tiba-tiba bergabung.
"Kalau begitu santai saja, aku hanya ingin mengobrol dengan karyawan baru. Kamu juga pasti belum dapat teman, kan, di sini?"
Lagi-lagi Elizabeth mengangguk.
"Oke, kalau begitu, mulai sekarang kita temanan!" Lucina mengulurkan tangannya pada Elizabeth. "Aku Lucina, posisiku di bagian resepsionis. Salam kenal, ibu sekertaris." Dia mengedipkan sebelah matanya menggoda Elizabeth.
Elizabeth tertawa kecil mendengar ucapan Lucina. Dia pun menyambut tangan Lucina hingga mereka bersalaman. "Aku Elizabeth, salam kenal juga."
Lucina mengangguk, dia melepas jabatan tangan mereka lalu mengaduk minumannya. "Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya jadi sekertaris Pak Altezza?"
"Bagaimana apanya? Aku biasa saja," jawab Elizabeth.
"Kamu tidak bosan melihat wajah Pak Al yang datar begitu? Tapi dia tampan, aku saja tidak merasa bosan melihat wajahnya setiap hari." Lucina terkekeh. "Rata-rata, karyawan di sini mengincarnya," bisiknya kemudian.
"Aku sudah tidak heran lagi," balas Elizabeth dengan senyum remeh.
"Termasuk kamu, ya?" Lucina menyenggol pundak Elizabeth dengan senyum menggoda.
Elizabeth mendengkus. "Dia memang tampan, tapi ada yang lebih tampan lagi. Aku tidak tertarik dengan bos sendiri, intinya aku di sini hanya ingin kerja saja."
Lucina terlihat terkejut dengan respon Elizabeth, baru kali ini ada yang menolak pesona seorang Altezza Pamungkas.
Dia reflek menempelkan tangannya ke kening Elizabeth. "Kamu sakit? Demam? Ayo aku antar ke ruang kesehatan!"
Elizabeth mengerutkan keningnya bingung. Dia menepis pelan tangan Lucina dari keningnya. "Aku baik-baik saja!" ujarnya.
"Eliza, OMG! Kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan? Baru kali ini aku menemukan perempuan yang tidak tertarik dengan Pak Altezza! Demi apapun, aku benar-benar tidak menyangka dengan kamu akan menjawab seperti itu!" Lucina geleng-geleng takjub.
Elizabeth memutar bola matanya malas. "Kamu terlalu lebay! Selera orang berbeda-beda, tau!"
Lucina mengangguk paham. "Iya, benar. Tapi, kan ... kamu yakin tidak tertarik dengan Pak Altezza?" Sekali lagi dia memastikan.
"Iya! Apakah aneh jika aku tidak tertarik dengannya?Tolong tidak usah lebay!" balas Elizabeth.
"Oke. Kalau begitu, mau bertaruh?" Kedua alis Lucina naik turun.
"Taruhan itu haram!" Elizabeth buru-buru menyelesaikan makannya agar bisa cepat-cepat pergi dari Lucina. Ternyata perempuan itu tak jauh beda dengan Thea dan Senna.
"Aku tidak akan macam-macam, El. Aku hanya ingin membuktikan kalau tidak akan ada yang bisa menolak pesona Pak Altezza," kata Lucina. Melihat Elizabeth yang diam, dia pun melanjutkan perkataannya. "Kalau kamu sampai menyukai Pak Al, berarti aku yang menang, bagaimana?"
"Gila!" Elizabeth melotot galak. "Aku tidak mau!"
"Kalau tidak mau berarti kamu kalah! Harusnya kamu terima taruhannya kalau kamu memang tidak tertarik dengan Pak Al. Tapi, kelihatannya kamu—"
"Oke, deal!" seru Elizabeth memotong ucapan Lucina.
Mendengar itu, tentu saja Lucina tersenyum puas. Dia mengulurkan tangannya pada Elizabeth. "Deal? Yakin?"
Elizabeth berdecak, dia pun menjabat tangan Lucina dengan malas. "Hm!"
Lucina semakin melebarkan senyumnya, dia tidak sabar melihat Elizabeth tergila-gila karena pesona seorang Altezza Pamungkas. Lagi pula, siapa sih yang tidak terpesona dengan pria yang satu itu?
Sedangkan Elizabeth hanya diam dengan pikiran berkecamuk.
bersambung...