NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 4

Pagi itu langit di atas Pondok Nurul Falah berwarna pucat, seakan ikut menyimpan rahasia. Embun menempel di dedaunan mangga, memantulkan cahaya tipis matahari yang baru terbit. Suara ngaji anak-anak madrasah dasar di surau belakang terdengar sayup, membaur dengan aroma kayu bakar dari dapur pondok.

Dilara sedang menyapu aula dengan gerakan pelan, pikirannya masih mengulang kejadian semalam. Kata-kata ustadzah, tatapan Wulan, dan janji Gus Zizan untuk “bicara” terus bergema. Ia tak yakin janji itu adalah kabar baik atau justru awal masalah yang lebih besar.

Sementara itu, di sudut lain pondok, Wulan duduk di teras asrama putri, dikelilingi dua temannya yang tampak terhibur oleh ceritanya.

“Kalau gosipnya udah sampai Ummi Latifah, selesai sudah,” ujar Wulan sambil menyeruput teh hangat. “Gus Zizan itu memang disayang Kyai, tapi kalau sampai nama pondok tercoreng, pasti ada yang harus jadi kambing hitam.”

Temannya yang berkacamata tertawa pelan. “Ya dan kambingnya sudah jelas siapa.”

Menjelang Dzuhur, Dilara dipanggil ke perpustakaan pondok oleh Ustadzah Siti, seorang ustadzah muda yang dikenal ramah. Ruangan itu sejuk dan tenang, penuh rak kitab kuning yang tersusun rapi.

“Duduk, Lara,” ujar Ustadzah Siti sambil menutup kitab yang sedang ia baca. “Aku dengar gosip yang beredar… dan aku tahu itu tidak benar.”

Dilara menatapnya, nyaris lega. “Ustadzah percaya saya?”

“Tentu. Tapi di sini, kebenaran bukan cuma soal apa yang terjadi, tapi juga soal apa yang orang mau percayai.”

Kalimat itu membuat dada Dilara semakin sesak. “Jadi… saya harus bagaimana?”

“Jangan terburu-buru membela diri. Kadang kalau terlalu keras menyangkal, orang justru makin curiga. Yang penting, tetap tenang dan jaga sikap. Nanti yang salah akan terbuka sendiri.”

Ucapan itu terasa menenangkan, tapi juga seperti sebuah peringatan badai ini belum selesai.

Sore harinya, Gus Zizan terlihat berbicara di beranda kantor ustadzah dengan wajah serius. Dilara yang baru saja selesai mengambil air wudhu sempat melihatnya dari kejauhan. Tapi sebelum ia sempat mendekat, suara Salsa memanggilnya dari belakang.

“Lara! Jangan ke sana dulu,” bisik Salsa. “Kalau kamu kelihatan dekat lagi sama Gus, itu sama saja kamu kasih bensin ke api gosip.”

Dilara menelan rasa ingin tahunya. “Aku cuma mau—”

“Tidak. Percayalah, kali ini lebih baik diam.”

Dilara mengangguk, mengikuti apa yang di katakan oleh Salsa.

Salsa tersenyum, "udah yuk, kita ke bilik aja. Biarkan saja Gus Zizan yang menyelesaikan semuanya, aku yakin Gus Zizan pasti bisa menyelesaikannya." Kata Salsa.

"Yaudah, ayo."

Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar asrama mereka, beberapa santri menatap mereka sinis, dan ada pula yang ramah dan menyapa keduanya,

Salsa dan Dilara tidak memperdulikan mereka yang sinis, keduanya tetap berjalan ke kamar mereka.

Sampai di kamar, keduanya sudah di sambut oleh Mita dan juga Dewi yang pastinya sudah mendengar kabar tentang Dilara.

Dewi memeluk Dilara. "Lara, yang kuat ya. Kamu pasti bisa melewati fitnah ini." Ucap Dewi sambil terisak pelan, membuat Dilara tertegun di tempatnya, tubuhnya membeku,

"His, Wulan jahat banget sih mulutnya, kayaknya nggak.bisa berpikir positif sama orang. Baru aja Lara masuk, eh ada fitnah yang lebih kejam. Dasar Wulan." Timpal Mita yang sangat kesal dengan Wulan.

Dilara mengusap air matanya yang menetes, entah mengapa ia tertegun dengan sikap ketiga teman barunya itu. Mereka bahkan menganggap Dilara ada, dan bukan orang asing tidak seperti paman dan bibinya yang malah tega membuangnya ke pondok pesantren ini..

Dewi melepaskan pelukannya. "Kalau jumpa pengen banget aku tampar–"

"Hei, nggak boleh." Sela Salsa cepat, gadis itu melotot. "Wi, kamu boleh marah, tapi nggak baik berbuat kekerasan, apalagi sampai menyakiti. Kamu nggak ingat apa yang di katakan oleh Ustadzah. "Jika ada yang berbuat kejahatan maka kita membalasnya dengan kejahatan pula, maka apa bedanya kita sama dia? Sama!! Nggak ada yang beda.. Bahkan Allah tidak suka dengan orang yang seperti itu."" Ucap Salsa membuat Dewi mencebikkan ujung bibirnya.

Dilara menganggukkan kepalanya setuju. "Apa yang di bilang sama Salsa benar. Semuanya tidak harus dengan balasan. Kita pasrahkan saja sama Allah, dia bahkan tau yang lebih baik."

Ketiganya terpaku, lalu berhamburan memeluk Dilara.

"Aaaa kamu baik banget."

Dilara menangis. "Makasih ya, kalian memang teman aku."

Dan untuk kali ini ia benar-benar mendapatkan teman.

Namun, diam bukan berarti aman.

Malam itu, setelah pengajian Isya, Ummi Latifah sendiri datang ke aula putri. Semua santri duduk rapi, dan udara di ruangan terasa berat. Ummi Latifah, dengan jilbab lebar putih dan sorot mata tegas, membuka pembicaraan tanpa basa-basi.

“Ada kabar yang membuat saya prihatin. Tentang santri yang keluar pondok tanpa pendamping yang seharusnya.”

Beberapa kepala mulai saling melirik. Wulan menunduk, menyembunyikan senyum tipisnya.

“Pondok ini dibangun di atas kepercayaan dan kehormatan. Sekali itu rusak, sulit untuk diperbaiki,” lanjut Ummi. “Saya tidak mau dengar lagi ada yang main-main dengan aturan.”

Tatapannya menyapu ruangan, berhenti sejenak di wajah Dilara. Karena ia sudah mendengar semuanya, bahkan ia tau santri yang di maksud.

“Dan saya ingatkan, gosip adalah dosa besar. Kalau ada yang menyebar fitnah, Allah yang akan membalas.”

Kata-kata terakhir itu membuat Wulan menggigit bibirnya. Entah karena merasa tersindir atau karena sedang merancang cerita baru.

Beberapa hari berikutnya, suasana pondok terasa seperti tali yang ditarik kencang. Dilara mulai jarang berbicara dengan siapa pun, hanya pada ketiga temannya, ia memilih menghabiskan waktu di aula atau perpustakaan. Gus Zizan juga terlihat lebih menjaga jarak, meski sesekali tatapannya mencari Dilara saat pengajian.

Tapi ketenangan itu pecah ketika suatu sore, seorang santri putra dari bagian logistik datang membawa kabar.

“Gus Zizan dipanggil Kyai tadi siang,” katanya sambil menaruh kardus perlengkapan di teras aula.

Bisik-bisik langsung pecah di antara para santri. Ada yang bilang Kyai ingin menegur, ada pula yang menduga Kyai justru akan membela. Tak ada yang tahu pasti.

Dilara mendengar kabar itu sambil mengelap meja. Tangannya berhenti bergerak, napasnya memburu.

Jika Kyai ikut turun tangan, maka gosip ini bisa berakhir… atau justru menjadi lebih parah dari yang ia bayangkan.

Dan di kamar asrama malam itu, Wulan tersenyum sendiri, menatap bayangan di cermin. “Kalau Kyai sudah ikut bicara,” gumamnya, “pertunjukan baru saja dimulai.”

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!