Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Setelah salat Subuh, Galuh bangkit dengan semangat. Ia berniat membantu membuat sarapan. Saat melangkah ke dapur, tercium aroma bawang goreng yang harum dan suara panci mendidih. Rupanya Bi Juju sudah sibuk memasak.
“Bi, aku bantu, ya?” tanya Galuh sambil menggulung lengan bajunya.
Bi Juju tersenyum, “Sudah, Neng. Biar Bi saja. Neng Galuh istirahat dulu, masih pengantin baru.”
Galuh terkekeh malu, sementara wajahnya sedikit memerah. Berbeda dengan di rumah Galuh, keluarga Bagja memang mempekerjakan seorang pembantu untuk mengurus rumah dan memasak. Hal itu wajar, sebab kedua orang tua Bagja sama-sama bekerja. Sedangkan Mama Euis, ibunda Galuh, memilih berhenti bekerja sejak dulu agar bisa fokus mengurus rumah dan keluarga.
Ingatan Galuh melayang. Ia masih kecil saat Mama Euis memutuskan berhenti dari pekerjaannya di instansi pemerintah daerah. Kejadian itu bermula ketika Galuh sempat menghilang sehari semalam. Seluruh keluarga bahkan warga se-desa ikut mencarinya. Ternyata ia hanya ketiduran di sebuah gubuk di tengah sawah, kelelahan setelah seharian bermain dan mencari belalang.
Sejak saat itu, Mama Euis memutuskan berhenti bekerja. Meski begitu, Galuh tetap saja susah diatur, senang bermain ke hutan, sungai, ladang, bahkan naik ke atap genteng.
Bagja, sejak kecil, berbeda. Ia tidak suka hal-hal ekstrem. Baginya bermain di lapang atau sawah dekat rumah sudah cukup. Tapi ketika Galuh menantang naik ke genteng untuk main layangan, Bagja ikut juga. Saat naik, ia santai, tapi saat harus turun, ia panik dan menangis kejer karena ditinggal Galuh di atas genteng. Mih Ella mengomel panjang lebar, sementara Nini Ika justru membela cucu kesayangannya itu.
Apakah Bagja kapok? Tidak. Meski sering jadi korban keisengan Galuh, ia tetap mau bermain bersamanya. Apalagi Galuh memang bisa menyatu dengan teman-teman laki-laki—main bola, kelereng, gangsing, atau main adu gambar.
“Hayoh, melamun aja!” Sebuah tepukan di pundaknya membuat Galuh tersentak.
“Ish, Aa! Ngagetin aja.” Galuh mengusap dadanya yang berdebar.
Bagja terkekeh, “Kita olahraga pagi, yuk!”
“Ayo!” jawab Galuh semangat, matanya berbinar.
Ketika mereka hendak keluar rumah, Bu Kania mendapati pasangan muda itu sudah siap-siap. “Kalian mau ke mana?” tanyanya sambil menata kerudungnya.
“Mau olahraga pagi, Bu,” jawab Galuh sopan, sementara Bagja hanya nyengir tanpa banyak kata.
Begitu melangkah ke luar, Galuh melihat Mama Euis tengah menyapu halaman. Sontak ia dan Bagja menghampiri.
“Mau ke mana kalian? Sudah sarapan?” tanya Mama Euis dengan nada penuh perhatian.
“Nanti saja, Ma. Kita mau lari pagi dulu,” jawab Galuh.
Tatapan Mama Euis jatuh pada motor vespa Bagja yang sudah siap dengan rantang tergantung di sisi. Alisnya terangkat. “Lho, kok Bagja bawa vespa?”
Galuh menoleh, baru menyadari. “Aa, itu apa?” tanyanya curiga.
Bagja dengan tenang menutup rantang lalu tersenyum nakal. “Kita sarapannya di rumah saja.”
Galuh melotot kecil. “Bukannya kita mau lari pagi dulu?”
“Kita ke rumah dulu, baru olahraga,” jawab Bagja enteng sambil mengedipkan mata. Tidak lupa senyum manis menghiasi wajahnya yang terlihat bersinar.
Galuh mendengus, tetapi akhirnya tetap naik ke motor, dibonceng suaminya itu. Dari belakang, Mama Euis berseru, “Galuh, hari ini kamu masuk kerja, kan?”
“Iya, Mah!” balas Galuh keras-keras.
Rupanya Bagja punya maksud lain. Bukannya lari pagi, ia justru memboyong Galuh pulang ke rumah mereka. Olahraga pagi versi Bagja ternyata membuat Galuh kehabisan tenaga.
“Dasar Bagja! Sudah tahu hari ini aku masuk kerja, malah dibuat lemas begini,” teriak Galuh dengan wajah kesal setelah semua usai.
Bagja hanya terkekeh sambil menyapu halaman rumah. Suaranya riang menyapa orang-orang yang lewat, seolah tak merasa bersalah sedikit pun.
Galuh yang masih merapikan rambutnya hanya bisa mendengus. Untung jarak rumah ke sekolah dekat, hanya butuh dua menit. Ia pun berangkat dengan semangat meski tubuhnya masih terasa letih.
Di sekolah, suasana sudah ramai. Galuh disambut riuh oleh murid-murid SD Negeri Mulia I yang sangat merindukannya. Saat ia masuk ke ruang guru, Ryan sudah menunggu.
“Pengantin baru langsung masuk kerja. Kalian nggak pergi honeymoon?” goda Ryan sambil menaikkan alis.
Galuh tersenyum kecil. “Aku dan Bagja honeymoon setiap hari.”
Selama tiga hari ini mereka memang tidur di tempat berbeda, rumah orang tua Galuh, rumah sendiri, dan rumah orang tua Bagja.
Ucapan itu membuat Ryan dan Dewa cekikikan. Mereka salah paham, apalagi melihat rambut Galuh yang lembap dan harum sampo.
“Kayaknya aku harus bacakan mantra biar wanita lain enggak mendekat. Soalnya Denok sudah punya kekasih,” canda Dewa.
Galuh menepuk meja, tertawa. “Aku dukung kamu, cari wanita lain!”
Ryan ikut menimpali, “Eh, kayaknya mantra Dewa mulai manjur deh. Soalnya Koh Ahong sekarang udah enggak suka marah-marah lagi sama aku.”
“Yang bener?!” Galuh tersenyum senang, ikut larut dalam canda mereka.
Hari itu, meski tubuhnya lelah karena ulah Bagja, hati Galuh terasa ringan. Hidupnya seperti dipenuhi tawa dan kejutan baru setiap harinya.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....