Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Permata Telaga Bintang
Cira Keling. Itu nama seorang gadis aneh. Aneh karena dia memilih menutupi wajahnya dengan cat hitam yang nyaris menghitamkan seluruh kulit wajahnya itu. Kulit wajahnya yang tidak kena cat terlihat sangat cemerlang berada di antara warna hitam.
Gadis pendekar bayaran itu mengenakan pakaian serba hitam. Ada satu pedang menggantung di pinggang kirinya.
Selaku pendekar bayaran, dia mendapat perintah dari guru junjungannya untuk membuktikan kesaktian Ani Saraswani. Katanya, Ani telah menyempurnakan kesaktiannya sebagai manusia dan wanita abadi.
Ani Saraswani kini melayang di atas air dalam posisi berdiri. Tepatnya melayang di udara, tapi kaki putih mulusnya hanya sejarak sejengkal dari permukaan aliran air Sungai Rindu Keramat.
Ani Saraswani adalah seorang wanita muda yang cantik jelita alias cantiknya keterlaluan. Dia punya hidung kecil tapi mancung sempurna dan bibir bawah model belah, meski dagunya tidak belah. Itulah uniknya. Ditambah alis yang panjang dengan ketebalan sedang. Giwang permata birunya berkilau ketika mendapat bias yang tepat dari matahari siang. Rambutnya yang panjang lurus, berkibar-kibar tertiup oleh angin alam.
Saat ini, mantan Ratu Kerajaan Pasir Langit itu tampil sangat menggoda. Untung saja, lelaki yang ada di tempat itu hanya ada dua, yaitu ayahnya yang bernama Galang Digdaya dan guru ayahnya yang ternama dengan nama Guru Sambar Bintang, yang usianya sudah tidak layak untuk berlakon mata keranjang.
Ani Saraswani dalam tampilan hanya memakai kemban seatas dada dan sarung yang hanya selutut. Jadi kulit dada atas, bahu, tangan serta sepasang betis yang berwarna bersih dan terang terbuka bebas. Jarang-jarang Ani Saraswani tampil terbuka seperti itu. Di masa hidupnya, dia termasuk seorang wanita yang berpakaian tertutup, meski tidak berhijab. Masa itu, hijab belum jadi tren dan mode.
Sehubungan itu tuntutan untuk kesempurnaan kesaktiannya, tentunya tampilan demikian bukan hal yang perlu dipermasalahkan.
“Kau sudah sempurna sebagai wanita yang sakti mandraguna dan memiliki sifat-sifat abadi!” seru Sambar Bintang kepada Ani beberapa waktu yang lalu.
Ani yang berdiri melayang di atas permukaan air tanpa menginjak air hanya tersenyum setipis kulit kentang.
“Terima kasih, Guru!” ucap Ani Saraswani. Lalu katanya kemudian, “Namun, aku ingin pembuktian, Guru.”
Karena permintaan Ani Saraswani itulah, Cira Keling diwajibkan mengeluarkan kesaktian tertingginya untuk membuktikan kesaktian wanita cantik tersebut. Meski sebenarnya berat karena faktanya Cira Keling hampir tidak pernah mengerahkan kesaktian tertingginya, tetapi kali ini harus karena Sambar Bintang sudah mengancam.
“Aku akan tahu jika kau mengeluarkan kesaktian nomor duamu, Keling,” kata kakek sakti itu sebelumnya.
Maka itu, Cira Keling terpaksa harus mengeluarkan ilmu tertingginya yang bernama Pedang Tanpa Singgah. Jangan tanya kenapa namanya setidak jelas penantian! Pokoknya lihat saja seperti apa cara kerja dan kehebatannya. Apakah ilmu itu mampu melukai dan memberi sakit kepada Ani Saraswani?
Ternyata, untuk mengeluarkan ilmu Pedang Tanpa Singgah, Cira Keling harus menggunakan pedang miliknya yang sangat jarang dia pakai. Saking jarangnya dipakai, pedang itu terkesan hanya untuk gaya-gayaan saja. Wujud pedang pun biasa saja, seperti pedang dari kelompok jenis rakyat biasa.
Zess!
Setelah wajah hitam itu mengecup sisi lebar pedang, sang pedang langsung menyalakan sinar hijau terang tanpa menimbulkan hawa panas atau menjadi sumber angin, ya biasa saja. Namun meski demikian, energi yang dikeluarkan sangat terasa kekuatannya tinggi. Sambar Bintang pun tahu itu.
Cira Keling menatap tajam kepada Ani Saraswani yang melayang dengan tenang tanpa gentar sedikit pun.
Ani yang sudah pernah mati itu sudah tidak takut untuk mati lagi. Secara teori, dia sudah yakin bahwa dirinya tidak akan menderita kematian lagi oleh kesaktian apa pun, tetapi karena kesaktian itu baru saja dia miliki, jadi dia perlu pembuktian.
Zuasss!
Tanpa seruan peringatan lebih dulu, Cira Keling menusukkan pedangnya ke arah posisi Ani Saraswani yang berjarak beberapa tombak. Maka, dari tusukan jarak jauh itu, ada dua sinar berwujud garis panjang yang melesat. Ternyata kedua sinar itu agak lain. Dia tidak melesat lurus, tetapi berbelok zigzag seperti gerakan ular di atas permukaan air sungai.
Gerak serang kedua sinar panjang itu sangat cepat, hanya mata yang keawasannya di atas rata-rata yang mampu menangkap sedikit lebih jelas. Mata yang rabun kerak telor tidak akan mampu melihat jelas pergerakan ujung sinar.
Selain Ani Saraswani sendiri, hanya Sambar Bintang dan Nyai Bale yang bisa melihat wujud dua sinar hijau dengan lebih jelas.
Namun, bagi Galang Digdaya selaku ayah Ani Saraswani, dan Surina selaku pemimpin kelompok pengawal wanita, mereka hanya melihat tahu-tahu dua sinar hijau itu memercik di tubuh Ani Saraswani, seolah-olah tidak ada pergerakan transisi antara pedang Cira Keling kepada target.
Adapun hasilnya, kedua sinar hijau itu lenyap setelah memercik di tubuh Ani Saraswani. Sementara air sungai di bawah kakinya meledak hebat seperti ada bom yang meledak tanpa suara ledakan, kecuali suara air yang pecah.
Ani Saraswani sendiri tidak menderita luka apa pun dan tetap melayang satu jengkal di atas air sungai. Dia baik-baik saja. Posisinya pun tidak bergeser, seolah-olah kesaktian yang menghantam tidak memiliki tenaga. Ilmu Pedang Tanpa Singgah tidak ada artinya bagi raga dan kesaktian Ani Saraswani.
“Apakah kau masih belum puas, Cucu Murid?” tanya Sambar Bintang dari tepian sungai.
“Cukup, Guru,” jawab Ani Saraswani. Setelahnya dia bergerak terbang dengan posisi berdiri untuk mencapai daratan.
Sementara Cira Keling harus mengatur pernapasannya karena banyak tenaga yang dia kuras untuk melepas ilmu Pedang Tanpa Singgah.
“Hebat juga kesaktian pedangmu, Keling,” puji Nyai Bale sembari mendatangi gadis berwajah hitam kelam itu.
Nyai Bale adalah sesosok wanita separuh abad lebih satu tahun. Dia menggelung rambutnya di atas kepala, memperlihatkan leher gemuknya yang putih. Dia mengenakan pakaian warna kuning pisang. Di pinggang kanannya ada sebuah ring besi pipih seukuran piring.
Nyai Bale adalah murid sahabat Sambar Bintang yang dipesan khusus untuk menjadi pengawal pribadi Ani Saraswani. Meski kedudukannya adalah murid sahabat Sambar Bintang, tetapi statusnya adalah pendekar bayaran, sama seperti Cira Keling.
“Tentunya masih jauh di bawah Nyai,” kata Cira Keling merendah hati, karena memang dia lebih muda setengah dari usia si emak-emak.
Mereka berdua menengok melihat kepada Ani Saraswani yang sedang didatangi oleh ayah dan ibunya yang merupakan mantan penguasa Kerajaan Pasir Langit.
Ayahnya Ani Saraswani adalah Galang Digdaya. Sosoknya gagah bertubuh kekar berkulit hitam. Sabuknya cokelat berhias rantai emas dengan kain kebat berwarna cokelat-kuning. Pada kedua pipinya ada tato tiga garis warna putih, sehingga wajahnya mirip wajah singa. Rambutnya yang lebat mengembang seperti surai singa. Namun, dia sudah tidak memiliki tangan kanan.
Galang Digdaya yang berusia separuh abad lebih satu dekade itu, didampingi oleh istrinya yang berusia lebih muda sepuluh tahun. Istrinya yang agak gemukan mengenakan pakaian warna putih dengan rambut disanggul. Istrinya bernama Titir Priya, mantan permaisuri Kerajaan Pasir Langit.
Mantan raja sekaligus murid Sambar Bintang tersebut sudah tidak memiliki kesaktian sama sekali. Itu terjadi setelah Raja Kerajaan Sanggana Kecil mengalahkan Prabu Galang Digdaya dalam pertarungan duel dua raja.
Saat berikutnya, Ani Saraswani sudah dalam posisi berlutut di tanah berumput, di depan Sambar Bintang. Sepertinya sang guru akan melakukan sesuatu kepada gadis yang masih sangat muda tersebut.
Galang Digdaya dan istrinya berdiri tidak jauh dari kedua orang itu. Surina dan kesembilan anak buahnya yang semuanya perempuan, berdiri lebih jauh, tetapi perhatiannya tertuju kepada junjungan mereka dan gurunya.
Dari tempatnya berdiri, Nyai Bale dan Cira Keling juga memerhatikan tanpa obrolan.
Sambar Bintang mengeluarkan satu benda kecil yang kini terjepit oleh jari jempol dan jari telunjuk tangan kanannya.
“Ini namanya Permata Telaga Bintang,” ucap Sambar Bintang memperkenalkan batu indah sebesar biji kuaci yang ada di tangannya.
Ani Saraswani tidak berkomentar dan dia pun tidak mau komentar. Sementara sang ayah selaku murid langsung si kakek bungkuk memendam rasa penasaran. Sebagai murid utama, dia pun tidak pernah tahu tentang benda yang dimunculkan oleh gurunya itu.
“Ini barang sakti. Kau pasti sudah bisa menerkanya, Ani. Namun, kau pasti tidak tahu bahwa aku harus melalui beberapa bintang untuk mendapatkan Permata Telaga Bintang ini. Jangan kau tanya bagaimana caranya aku bisa pergi ke bintang yang sangat kecil di langit. Hehehe!” kata Sambar Bintang lalu terkekeh sendiri.
“Guru, putriku sudah jadi manusia abadi yang tidak akan mati, untuk apa Guru beri benda pusaka lagi? Alangkah sangat bergunanya jika Guru memberikan kepadaku yang sangat butuh kesaktian,” kata Galang Digdaya menyela momentum yang terkesan sakral itu.
Seketika tawa Sambar Bintang terhenti dan dia melirik tajam kepada murid besarnya itu.
“Jika ini aku berikan kepadamu, tubuhmu akan hancur seketika. Kau mau?!” sentak Sambar Bintang setengah membentak.
Galang Digdaya jadi terdiam dengan rona muka yang pahit.
“Namun, apa kegunaan Permata Telaga Bintang itu, Guru?” tanya Titir Priya bernada lebih lembut.
Ekspresi wajah sang guru pun ikut melunak. (RH)