Cinta membuat seorang gadis bernama Suratih, menentang restu ayahnya. Damar, pemuda yang membuat hatinya lebih memilihnya daripada apa yang dikatakan orang tuanya, membuatnya mengambil keputusan yang sebenarnya mengecewakan sang ayah. Apakah Suratih akan bahagia membangun rumah tangga bersama Damar, setelah jalan yang dia tempuh salah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irawan Hadi Mm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 12
Sreek sreek sreeek.
Udara sejuk begitu terasa di pekarangan rumah Ali, pekarangan yang banyak di tanami dari berbagai jenis tanaman hias dan pohon pohon palem yang tampak rindang. Namun gak dengan sampah yang berserakan di lantai.
Membuat sapu lidi yang ada dalam genggaman tangan Mariam bergerak menyapu daun daun, ranting, sampah sampah yang berserakan. Membersihkan pekarangan seorang diri, dengan lahan yang cukup lebar tampak berat untuk Mariam yang terlihat gak baik baik aja.
"Ugghhh ini punggung kenapa berasa gak enak bangat ya!" keluh Mariam, sembari mengelus punggungnya dengan tangan nya yang lain.
"Semangat Mariam! Setelah ini, aku bisa istirahat sebentar baru deh cuci pakaian." gumam Mariam, menyemangati dirinya sendiri.
Menyapu pekarangan berhasil Mariam selesaikan. Kini ia beralih menyiram tanaman, dengan selang yang sudah tersambung dengan keran air yang ada di teras.
Sementara dari depan pintu utama, Jaka sudah rapi dengan seragam sekolah dari salah satu SMK swasta ternama di wilayahnya. Lengkap dengan tas ransel di punggungnya.
"Bu!" seru Jaka, melihat sang ibu berada di tengah pekarangan.
Mariam menoleh, "Ada apa? Jangan teriak teriak, ini masih pagi! Babeh mu dengar, bisa marah dia sama kamu!" cecarnya melihat Jaka yang tengah menghampirinya.
"Kirain ibu kemana, Jaka cari cari ibu! Gak taunya ibu di sini!" ujar Jaka dengan nada merajuk.
Mariam memindahkan selang dari tangan kanan ke tangan kirinya, berusaha tetap menyirami tanamannya, sementara ia fokus pada Jaka yang kini ada di hadapannya.
Mariam mengerutkan keningnya, "Kamu cari ibu? Ongkos kamu naik angkot sama jajan udah ibu kasih kamu kan?"
Jaka menggaruk kepalanya yang gak gatal, "Iya udah, mau di kasih lagi juga Jaka gak nolak, bu! Tapi beneran nih bu, kalo berangkat sekolah belum liat ibu, hati Jaka masih belum tenang buat berangkat."
"Kamu ini, nyari ibu kalo pagi itu ya gampang Jaka! Kalo gak ada ibu di dapur, cari di kamar mandi, masih gak ada juga! Kamu bisa cari ibu di pekarangan." jelas Mariam dengan terkekeh, ia merapikan rambut Jaka yang gak berantakan.
"Iya iya, Jaka berangkat dulu, bu! Tapi ibu bener udah gak apa apa? Bokongg ibu masih sakit gak?" tanya Jaka dengan tatapan khawatir.
Mariam menepuk bahu Jaka lembut, netranya terpancar kasih sayang seorang ibu. Ia sama sekali tidak membedakan kasih sayangnya terhadap ke dua anaknya.
"Ibu udah gak apa apa, ibu udah baik baik aja. Kamu belajar yang rajin di sekolah. Kalo guru lagi nerangin, di dengar! Sama teman yang akur, jangan mudah marah. Kalo kamu mudah marah, sama aja kamu mudah cari musuh!"
Jaka mencium punggung tangan kanan Mariam.
‘Ya rab, berikan lah kemudahan putra ku, untuk menyerap pelajaran yang di berikan gurunya di sekolah!’ batin Mariam.
"Iya ibu ku sayang! Kalo babeh kasar lagi sama ibu, bilang Jaka ya bu! Biar Jaka yang kasih pelajaran ke babeh!" celetuk Jaka, menepuk dadanya bangga.
"Dia tetap babeh kamu! Anak gak boleh bersikap kasar pada orang tuanya! Udah sana kamu berangkat!" Mariam mendorong Jaka menjauh darinya.
"Iya bu! Jaka berangkat!"
Jaka melambaikan tangannya tanpa menoleh ke belakang lagi. Langkahnya sudah mantap untuk berangkat ke sekolah.
Jaka berangkat seorang diri ke sekolahnya. Berjalan kaki dari rumah sampai ke jalan raya untuk menaiki angkutan umum. Meski ada Ali di rumah, Ali seakan gak sudi mengantarkan putra bungsunya itu, sekedar sampai ke depan jalan raya.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 pagi.
Suara Mariam yang tengah menggigil di balik selimut, mengusik tidur Ali. Wanita itu meringkuk dengan memeluk tubuhnya sendiri, seakan tebalnya selimut belum mampu membuatnya nyaman dengan suhu tubuhnya yang demam.
"Aduh badan aye gak enak nih bang! Beliin aya obat kek bang!" gumam Mariam dengan mata terpejam, dengan suara menggigil.
Ali membuka matanya dengan malas, mendapati selimut menutupi tubuh seseorang yang gak lain Mariam.
"Aduh, berisik bangat lu Mar! Tau gitu ogah bangat gua bukain pintu kamar buat lu! Biar lu tidur di sofa sono!" gerutu Ali dengan mengucek matanya.
"Tapi aye sakit, bang! Dingin bang! Pala aya sakit, bang! Pala aye muter bang!" cerocos Mariam, masih dengan suara menggigil.
Ali beranjak dari tidurnya dengan malas.
"Iya iya, tar gua beliin. Tapi kalo ingat!" sungut Ali, meninggalkan kamarnya menuju kamar mandi.
Bukan untuk mandi, Ali hanya menggosok gigi dan cuci muka di kamar mandi.
"Udah tau sakit, pake nyusahin lagi lu! Dasar bini gak berguna! Nyusahin laki bae bisanya lu, Mar!" gerutu Ali, sembari mengeringkan wajahnya dengan handuk yang ada di kamar mandi. Ia masih gak ikhlas, tidurnya terusik dengan suara rengekan Mariam yang jelas tengah sakit.
Di ruang depan.
"Tumben lu belum siap siap, Tih? Libur kerja lu?" tanya Ali, melihat Suratih yang tengah menonton televisi di ruang depan.
"Libur mulu, beh! Di kata perusahaan sendiri. Ratih lagi kedapatan sif siang, pulang malam. Makanya Ratih jam segini bisa santai di rumah." jelas Ratih, melirik sekilas sang ayah lalu kembali fokus pada layar televisi.
"Gaya bangat lu santai, ke warung gih! Beliin ibu lu obat!" Ali menyodorkan selembar uang kertas lima ribu rupiah pada Suratih.
Suratih beranjak dengan tatapan gak percaya, namun tangannya terulur mengambil uang yang diberikan sang ayah.
"Ibu sakit, beh? Sakit apaan, beh? Tadi pagi masih baik baik aja, beh!" cecar Suratih.
"Mana babeh tau, yang jelas ibu lu lagi menggigil onoh di kamar!" ketus Ali dengan nada gak santai.
Suratih menghentakkan kakinya di lantai dengan kesal.
"Ini pasti gara-gara babeh dorong ibu tadi subuh kan! Makanya ibu sekarang jadi demam!" sarkas Suratih.
"Bacot bae lu jadi anak! Emang badan ibu lu aja yang lembek. Baru di dorong gitu aja bisa jatuh! Udah sana ke warung! Ribet urusannya kalo sampe ibu lu sakit lama lama!" gerutu Ali dengan wajah gak senang, ia mendaratkan bobot tubuhnya di sofa lain. Lalu menyambar remot dan mengganti saluran televisi.
"Udah tau badan ibu lembek masih di sakitin juga! Mikir apa beh jadi suami!" gerutu Suratih, hilang rasa takut dan hormatnya pada sang ayah.
"Diam, lu!" bentak Ali, dengan remote tivi yang siap melayang ke arah Suratih.
"Harusnya babeh yang diam! Udah tau ibu lagi sakit, ngomong pake toa! Ganggu ibu istirahat aja!" cerocos Suratih, sebelum meninggalkan sang ayah. Bukan ke luar rumah untuk membeli obat di warung. Ia justru ke kamar yang di tempati ke dua orang tuanya.
Ali menggeleng geram, "Heran gua, punya anak 2 ngapa pada ngebantah ya! Kalo gak ngebantah omongan gua, buat gua kecewa! Dasar nasib! Ini pasti salah didikan Mariam! Ngajarin bocah pada ngebantah gua! Dasar bini gak guna!"
***
Bersambung …