Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 04
Hujan deras turun di pukul sepuluh malam. Di trotoar sepi yang disinari lampu jalanan, terlihat seorang wanita berjalan sempoyongan sambil merancau tidak jelas. Penampilannya pun berantakan sekali. Heelsnya sudah hilang sebelah, sementara kaki lainnya terluka karena tak lagi terlindung alas.
Dia adalah Raveena, wanita yang sebelumnya meninggalkan restoran dengan amarah yang tertahan di dalam dada.
"Demian yang agung!" sentaknya seolah-olah memuja namun dengan penuh amarah. Setelahnya ia bertepuk tangan miris sambil tertawa getir. "Katanya aku harus menjadi perempuan baik-baik dan penurut," lanturnya sambil terus berjalan sempoyongan.
Raveena cekikikan hingga tubuhnya oleng ke samping. Namun ia berhasil memegang besi pembatas jembatan. "Duduk manis, tersenyum sopan. Menikah, melahirkan, lalu mati."
"Terima kasih, Ayah. Terima kasih atas seluruh warisan sialan yang kau titipkan lewat gen dan doktrinmu yang usang." Raveena terduduk akibat pening, lalu melihat ke atas, seolah tengah berhadapan dengan sosok Demian.
"AKU MUAK!"
DUAR!
Suara kilat dan petir saling bersahutan.
"KAU SANGAT MENJIJIKKAN!" sentak Raveena lagi, lalu menangis getir. Hujan deras terus mengguyur tubuhnya, hingga menimbulkan sensasi yang semakin dingin di kulitnya.
"Aku ...," Raveena menunduk. "Aku jijik pada pria, pada makhluk-makhluk penuh ego yang merasa berhak mengarahkan hidup perempuan," jedanya sambil menepuk-nepuk dada sesaknya, lalu melanjutkan kalimatnya, "... hanya karena mereka punya dasi di leher dan saldo di rekening."
Raveena tertunduk menangis, kemudian berdecih. "Cih. Dasar keparat," gumamnya penuh dendam. Ia kembali berdiri, sampai sebelah heelsnya lepas lagi dan tertinggal.
"Elira," lontar Raveena tiba-tiba saat berusaha menyeberang dengan sempoyongan.
Raveena menyeringai sinis. "Ah? Elira si martir." Ia menutup mulut seolah-olah berusaha menahan tawa gelinya. "Gadis suci yang percaya cinta bisa menyelamatkan segalanya." Tatapannya tampak meremehkan. "Gadis tolol yang rela menunggu pria yang bahkan tak pernah benar-benar melihatnya."
Tawanya pecah lagi. "Apakah kau tahu, Elira?" Raveena mengacungkan telunjuknya ke udara seraya memaku di tengah jalan. "Yang paling membuatku muak bukan karena kau mencintai pria itu." Ia menggeleng-geleng. "Tapi karena kau tega menghancurkan dirimu sendiri demi seseorang yang bahkan tak pantas menggenggam ujung kukumu!"
TINNNN!
Sebuah mobil yang melintas nyaris menabraknya.
"IDIOT!" serapahnya kesal.
"Sial. Inilah kenapa aku malas marah-marah. Melelahkan setengah mati." Raveena terduduk, hingga merebahkan tubuhnya begitu saja di tengah jalan.
"Katamu itu cinta. Namun bagiku itu kebodohan yang dipoles air mata." Nyatanya ia masih belum puas mencibir Elira meski sudah kelelahan.
"Setidaknya aku tak sebegitu putus asanya," katanya lagi dengan berbangga diri seraya tersenyum. Dalam posisi yang masih terlentang di bawah aspal, kali ini pejaman matanya seolah bersungguh-sungguh ingin menikmati ketenangan. Meski keadaan kacaunya saat mabuk membuatnya tak memungkinkan.
"Aku ...," tunjuknya pada sendiri, kemudian menggeleng-geleng. "tidak akan menjatuhkan harga diriku hanya untuk lirikan dari seorang pria!" sentaknya muak dalam kepeningan.
DUAR!
Hingga kini tawa kecil itu surut dari bibirnya. "Cih. Sial," desisnya pelan. "Bahkan saat mabuk pun, aku masih mengingatmu, Elira," lirihnya lagi sambil berusaha bangkit dan mulai berdiri.
Kedua netra Raveena menyipit. Di kejauhan, silau lampu kendaraan menyorot padanya. Raveena sadar ia harus segera menyingkir. Tetapi tubuhnya terasa sangat lemas, hingga ia hanya sanggup untuk melambai-lambai saja. Selain lemas, kepalanya juga terasa pening.
"WOE! BERHENTI!" teriak Raveena yang semakin kesilauan.
Akan tetapi sialnya, kecepatan kendaraan itu tak berkurang sedikit pun.
TIN TIN TIN TINNNNN!
BRAK!
Tubuh Raveena terpental keras. Mobil truk itu terguling di belakangnya akibat rem blong.
Wanita itu terengah-engah dengan sekujur tubuh yang terasa bergetar. Serangan air hujan membuat kesakitan itu kian terasa mencabik-cabik area lukanya.
"D-dasar idiot."