Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4 Lepaskan Kemejamu!
Tok!
Tok!
“Masuk!” terdengar suara berat dari dalam, mengikis ketenangan yang tersisa.
Naomi membuka pintu dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Saat masuk, dia melihat Xander tengah berdiri di depan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian, membelakangi pintu.
Tangan pria itu bersedekap di dada, memperlihatkan lengan nya yang kokoh. Tubuhnya tegap dan atletis, memancarkan aura kekuasaan.
Cahaya matahari pagi menyinari siluetnya, membuatnya terlihat seperti patung hidup yang sempurna namun dingin.
“Ini dokumen kontraknya, Tuan,” ucap Naomi dengan suara sedikit gemetar namun sia berusaha keras untuk tetap bersikap biasa saja.
Naomi melangkah mendekat, menyerahkan dokumen yang sudah ditandatanganinya.
Xander berbalik, mengambil dokumen itu tanpa berkata sepatah kata pun. Matanya yang tajam meneliti setiap detail, lalu dia membukanya dan fokus pada tanda tangan Naomi.
“Tidak ingin membacanya ulang?” tanyanya datar dan menusuk. Ada sedikit nada mengejek dalam pertanyaannya.
“Tidak. Saya percaya dengan perusahaan ini,” jawab Naomi yakin, meskipun ada sedikit keraguan dan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.
Naomi berharap kepercayaannya tidak disalahgunakan.
“Kepercayaan diri yang cukup tinggi,” gumam Xander lebih pada dirinya sendiri, namun cukup keras untuk didengar Naomi. “Tapi bisa saja menghancurkanmu kapan saja.”
“Saya siap menanggung resikonya,” ucap Naomi seraya menahan emosi untuk tidak berkata kasar. Dia tidak akan membiarkan Xander mengintimidasi dirinya lagi.
Xander menutup mapnya dengan suara lalu meletakkannya di meja.
“Mulai sekarang, kamu resmi bekerja sebagai asisten pribadiku. Jangan telat, jangan terlalu banyak bicara, dan ingat aturanku?”
“Yang menatap lebih dari lima detik akan dipecat?” Naomi mengangkat alis, mengulang aturan konyol itu dengan nada yang sedikit sarkas. Dia mencoba menahan diri agar tidak tertawa sinis atau melontarkan cemoohan.
Xander menyeringai kecil, sebuah senyum tipis yang hampir tidak terlihat. “Tepat sekali. Aku suka kamu mengingatnya dengan baik!”
“Percayalah, saya tidak punya waktu untuk mengagumi wajah orang yang menyebalkan seperti anda,” Naomi membalas dengan lugas, tak gentar. Ia bahkan mengangkat dagunya sedikit, seolah sedang menantang.
Xander tertawa pelan, tawa rendah yang jarang terdengar, namun entah mengapa terdengar seperti melodi aneh di telinga Naomi.
Pria itu duduk di kursinya, menyandarkan punggungnya dengan nyaman. “Temui James. Dia akan memberikan briefing awal.”
Naomi mengangguk, membalik badan dan berjalan cepat menuju pintu. Dia ingin segera pergi dari ruangan ini, merasakan aura dingin Xander yang terlalu menyesakkan dan membuat bulu kuduknya berdiri.
“Tunggu! Siapa yang menyuruhmu pergi?” Suara Xander menghentikan langkah Naomi yang sudah hampir mencapai pintu. Ada nada perintah yang tak bisa dibantah disana.
Naomi menggertakkan gigi, menahan amarah yang mulai memenuhi dadanya. Dia memejamkan mata sejenak, mengumpulkan seluruh kesabarannya.
“Tenangkan dirimu, Naomi. Lakukan demi ibu,” bisiknya dalam hati.
“Ada apalagi, Tuan?” tanya Naomi, berusaha keras menjaga suara agar tidak terdengar kesal.
Xander berdiri di balik mejanya, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya yang rapi.
Pandangannya menjelajahi tubuh Naomi dari atas ke bawah, membuat Naomi merasa tidak nyaman, seolah dia tel4njang di depan mata pria itu.
Naomi menarik napas dalam, merasakan jantungnya berdebar kencang.
“Bisakah kamu melepaskan kemejamu?” ucapnya santai, seperti sedang meminta laporan keuangan atau secangkir kopi.
“Apa?!” Naomi menegang, matanya membelalak tak percaya. Dia mengira telinganya salah dengar.
“Kamu tidak tuli kan?”
“T-tentu saja tidak!”
“Kalau begitu lepaskan! Aku ingin tahu ukuran dadamu. Termasuk ukuran br4,” ucap Xander dengan wajah datar. “Aku tak suka bekerja dengan orang yang menyembunyikan data pribadi. Aku harus tahu semua data karyawanku.”
Naomi melotot. Wajahnya memerah padam karena malu, marah, dan jijik bercampur jadi satu. Darahnya terasa mendidih, mendesak ingin keluar.
Ini benar-benar sudah keterlaluan!
“Anda mau apa?!” tanyanya sambil melipat kedua tangan di dada, mencoba melindungi dirinya saat Xander berjalan mendekat.
Satu alis Xander terangkat, dan senyuman tipis nan misterius terukir di wajahnya. Lalu tanpa peringatan, tangan besar itu menyentuhnya. Sekilas dan cepat, hanya sepersekian detik. Namun cukup membuat tubuh Naomi mematung di tempat.
Sensasi sentuhan itu, meski singkat, terasa menjijikkan dan memicu amarahnya.
“Ukuran tiga puluh empat. Sangat pas di tanganku,” ucap Xander tanpa dosa sambil menarik tangannya kembali.
Ekspresi wajahnya tetap dingin seolah baru saja mengukur sebuah barang.
PLAKKK!
Refleks, Naomi menampar pipi Xander dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan, memecah kesunyian ruangan.
Tangan Naomi bergetar hebat. Matanya berkaca-kaca, namun masih menatap pria itu penuh perlawanan, nyala api amarah membara di sana.
“Dasar brengsek! Apa sebenarnya yang Anda inginkan dari saya, hah?! Kenapa memperlakukan saya seperti ini?! Saya akan melaporkan anda ke polisi! Anda sudah m3lecehkan saya!” Naomi berteriak dengan suara yang tercekat oleh emosi.
Xander tetap tenang. Bahkan dengan santai dia membalikkan badan dan berjalan ke meja kerjanya, seolah tamparan itu tidak berarti apa-apa baginya, tidak meninggalkan bekas di pipinya yang kebal.
“Silakan laporkan. Aku tidak peduli. Lagipula, kamu sudah menandatangani kontrak denganku,” ucapnya penuh kemenangan, senyum licik terukir di bibirnya.
“Kontrak yang tadi?!” Naomi terkesiap, rasa tidak enak memenuhi hatinya. Jangan-jangan...
“Kamu sudah membaca semuanya dengan teliti, kan?” Xander menyeringai, tahu persis bahwa Naomi tidak membacanya.
Naomi langsung meraih map kontrak di meja. Tangannya gemetar saat membalik halaman demi halaman, matanya menyusuri setiap baris kalimat dengan kecepatan penuh.
Dan kemudian, matanya membelalak saat membaca poin ketiga.
>Pihak kedua tidak dapat mengundurkan diri secara sepihak. Jika hal itu terjadi, maka akan dikenakan denda sebesar 100 juta rupiah. Namun, apabila pihak pertama (perusahaan) yang memutuskan hubungan kerja, pihak kedua akan menerima kompensasi sebesar 100 juta rupiah.
“Sial, kenapa aku bisa sebodoh ini. Aku lupa membaca isi kontraknya,” gumamnya lirih, rasa penyesalan yang mendalam merayap di hatinya. Wajahnya pucat pasi, menyadari jebakan yang baru saja ia masuki.
“Anda pasti sengaja, kan! Menjebak saya dengan kontrak ini!” Naomi menuduh, suaranya meninggi.
“Kontrak legal, ditandatangani tanpa paksaan,” Xander mengangkat bahu, acuh tak acuh. “Aku yang punya perusahaan. Mau aku tulis pakai darah juga tak ada yang bisa protes. Dan kamu sudah tanda tangan. Itu artinya kamu setuju dengan semua isinya.”
“Dasar licik!” Naomi berteriak dengan suara mulai frustasi
Bagaimana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu jika ingin mengundurkan diri? Tak ada pilihan. Naomi dijebak, dan dia tak punya kuasa melawan.
“Masih ingin berhenti?” tanya Xander datar, matanya menatap Naomi, seolah menikmati penderitaan gadis itu.
Naomi menatapnya dengan tajam, lalu dengan kasar meletakkan kontrak itu di meja dan melangkah keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun, membanting pintu dengan keras.
Xander menghela nafas panjang, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa kulit hitam di pojok ruangan.
“Damn!” gumamnya. “Aku benci melakukan hal murahan seperti ini.”
Xander memandangi tangannya sendiri, tangan yang tadi sempat menyentuh dada Naomi.
“Kalau bukan karena tua bangka itu, aku tak akan menyentuhnya,” bisiknya lirih.
Semua ini bukan tanpa alasan. Xander dipaksa oleh kakeknya—Noah, untuk menggantikan posisi sebagai pemimpin perusahaan sekaligus klan mafia miliknya.
Sementara sang kakek sendiri kini tinggal tenang di Jerman bersama istrinya dan menyerahkan semua tanggung jawab pada Xander. Setiap minggu, tekanan datang. Tentang pernikahan. Tentang pewarisan saham. Tentang menjaga citra. Dan Xander, yang muak dengan semua permainan politik keluarga, mulai menciptakan sistem penyaringan tersendiri untuk sekretarisnya.
Sekretaris-sekretaris sebelumnya? Semua hanya wanita haus uang dan kekuasaan. Mereka sibuk menggoda, bersolek, memamerkan belahan dada, demi menarik perhatian Xander dan mendapatkan posisinya.
Xander muak dengan drama itu.
Kini, Xander hanya ingin tahu satu hal, apakah Naomi berbeda? Atau hanya satu dari sekian banyak yang bertopeng polos? Tindakan Naomi barusan, termasuk tamparan itu, adalah jawabannya.
“Ternyata dia memang berbeda. Menarik.” Senyum tipis tersungging di bibir Xander. Gadis itu punya nyali.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk.
Nicholas: [Aku menunggumu di tempat biasa. Ada yang ingin kubicarakan. Penting.]
Xander mengetik balasan singkat.
Xander: [Baiklah.]
Xander berdiri, merapikan jasnya, dan melangkah keluar ruangan dengan sorot mata dingin, meninggalkan ruangannya yang kini terasa sedikit lebih menarik setelah kehadiran Naomi.