Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rancana Karsih
Malam telah datang, Karsih yang berbaring di sisi suaminya itu membuka mata memastikan kalau suaminya sudah benar-benar sudah terlelap.
Sekarang, Karsih membuka bantalnya, di sana dia sudah menyimpan gunting, perlahan, wanita itu menggunting kalung tersebut, lalu menukarnya dengan kalung yang mirip, kalung asli buatannya sendiri.
Penuh perjuangan saat Karsih berusaha memasang kalung palsu itu, hingga akhirnya semua rencananya selesai. Wanita itu segera keluar dari kamar, dia tak mau menjadi sasaran Drajat nantinya, sepertinya Karsih sudah berpengalaman saat dulu dirinya hampir mati dicekik oleh suaminya sendiri.
Wanita itu pindah ke kamar Melati dan Kemuning. "Ibu, ada apa? Tumben Ibu tidur di sini?" tanya Kemuning dengan polosnya.
Karsih membelai lembut pipi gadis berusia 4 tahun itu, menatapnya penuh rindu. "Ibu kangen sama kalian."
Sekarang, Karsih pun bergabung dengan putrinya, dia memeluk dua bocah kecil itu dengan mata yang awas menatap ke arah pintu. Karsih meyakinkan dirinya sekali lagi kalau pintu sudah terkunci.
Sementara itu, di kamar sebelah, Drajat meraba ke sisinya dimana biasanya Karsih berada dan saat itu, dia menyentuh sesuatu yang kenyal, terasa dingin, sangat dingin, lalu memeluknya.
"Kar, kamu kedinginan? Sini, tak angetin," ucapnya seraya mulai memainkan aksinya, pria yang bicara dengan mata terpejam itu mulai melucuti pakaiannya sendiri.
Drajat juga mulai naik, ingin main kuda-kudaan di tengah malam yang syahdu ini. Namun, suara Karsih berubah, dia seperti mengenal suara itu.
"Kang," lirih wanita yang ada di bawahnya membuat Drajat membuka matanya lebar. Dia panik dan segera loncat dari ranjang.
"Setan alas!" geram Drajat saat itu, dia pun menaikkan kembali celana kolornya. Berpikir kalau dirinya masih memakai jimat, maka kemungkinan besar kalau ini hanyalah mimpi, atau Karsih sedang kesurupan?
"Kar, Karsih! Eling, Kar!" teriak Drajat dengan tatapan tajam, menatap sosok cantik, pucat pasi dengan perut yang membuncit itu, terlihat kalau sosok Kin turun dari ranjang, mengikuti setiap pergerakan Drajat.
"Aku, Kin, Kang!" jawab Kin dengan suara lembut, menggema tapi tajam.
"Hihihiiiiihiiiii," tawa Kin kemudian dan saat itu, Drajat memegangi kalungnya, berharap benda kecil itu dapat melindunginya dari gangguan setan.
Lalu, sosok yang sekarang berdiri tepat di depannya itu menghukum Drajat, dia mematahkan senjata pusaka pria itu dengan sekali pelintir, senjatanya tak lagi berfungsi.
"Aaaaaaaa!" teriak Drajat dan saat itu, Kin yang sempat merogoh ke bawah sana itu menunjukkan batang yang patah pada Drajat.
"Hihihihiiiiiiiihiii," tawa Kin saat itu, dia sangat puas, puas karena melihat pria itu kesakitan tepat di depan matanya.
"Aaaargggg," erang Drajat, dia meminta tolong, tapi tak ada yang mendengar, akhirnya dengan sekuat tenaganya, pria yang bagian bawahnya berlumuran darah itu keluar dari kamar.
Brak! Suara pintu yang Drajat banting saat menutupnya.
Sekarang, Drajat mengetuk pintu kamar anak-anak, dia berpikir kalau Karsih ada di sana. Namun, pintu itu tak segera terbuka, Karsih menahan anak-anaknya supaya tidak keluar dari kamar.
"Tapi, Bapak, Bu. Bapak teriak-teriak kenapa?" tanya Melati, si sulung, menatap cemas pada ibunya yang terlihat santai.
"Bapak kalian sedang mendapatkan hukumannya," jawab Karsih dengan enteng.
Di luar sana, Drajat tak hanya melihat sosok Kin yang terus mengikutinya, tapi juga ada Mirah yang ikut mengawasinya, sosok Mirah yang berpindah-pindah tempat, dia ada kemana setiap mata Drajat melihat.
Tak ada pilihan lain, pikir Drajat hanya dukun sakti itu yang dapat menolongnya. Dengan sisa kekuatannya, Drajat berlari kecil, memegangi pangkal pahanya yang terus berdarah.
Bruk! Drajat yang berlari sesekali melihat ke belakang itu terjatuh, dia mengatupkan dua tangannya di dada. "Ampun, ampuni saya! Kin!" teriaknya.
"He! Aku ini si mbah, ko Kin. Lihat aku!" Drajat pun mengangkat kepalanya, dia benar-benar melihat dukun yang tiba-tiba ada di depan mata.
Drajat menggelengkan kepala, pandangannya bukan lagi pada dukun itu, tapi sosok yang ada di belakang si mbah.
"Di-dia! Ada di belakang Mbah," kata Drajat seraya menunjuk ke arah belakang dukung itu.
"Awas, jangan ikut campur!" ucap Kin dengan suara penuh kebencian yang menggema di tengah kebun singkong itu.
"Setan, kau yang jangan ganggu!" jawab si dukun, kemudian dia merapalkan mantra-mantra saktinya.
Saat itu, Kin mengulurkan tangannya, dia berniat mencekik dukun itu, dukun yang sudah bertahun-tahun menghalangi dendamnya.
Dukun itu mengelak dan pertarungan sengit tak terelakkan dan parahnya lagi, Kin masuk ke dalam tubuh Drajat.
"Bagaimana rasanya melihat anakmu mati mengenaskan?" tanya Kin dan Drajat berusaha menguasai dirinya, pria bertelanjang dada itu memegangi kepalanya yang terasa amat berat, pusing dan tak tertahankan lagi.
"Mbah, tolong saya!" pekik Drajat dengan suara tertahan.
Dukun itu pun bertindak, dia melemparkan sesuatu ke arah Drajat sehingga sosok Kin keluarga dari raganya.
Dengan jari yang dipenuhi kuku-kuku tajam, Kin bersiap menusuk leher pria yang ada di genggamannya. Tapi, peliharaan si dukun itu datang tepat waktu saat dipanggil oleh sang majikan.
Hingga akhirnya, Kin harus berurusan dengan mahluk astral lain yang kekuatannya berada di atasnya.
"Seandainya aku lenyap sekali lagi, kutukan itu akan tetap ada, kau dan keturunanmu akan lenyap dengan cara yang tragis!" sumpah Kin, suaranya nyaring, matanya menatap tajam pada Drajat yang sekarang sudah berlindung di belakang si mbah.
Tapi, Kin yang ingin menuntut balas tak ingin binasa di tangan dukun itu, dia pun menghilang dari pandangan semua orang.
"Mbah, jangan biarkan dia lolos, musnahkan dia!" teriak Drajat dan dukun itu menoleh. "Wani piro? Bukan kerjaan yang mudah ini, setan itu membawa dendam yang sangat besar, kekuatannya juga nggak bisa diremehkan, memangnya apa yang kau perbuat sama dia semasa dia hidup?"
Drajat tak mampu menjawab, dia pun menunjukkan tangannya yang berlumuran darah. "Sebaiknya selamatkan saya, Mbah! Burung saya patah, apa bisa dipasang lagi?" tanya Drajat, keringat dingin mengucur dari keningnya, hancur sudah masa depannya.
Dukun menjawab dengan menggeleng. Lalu, Drajat yang merasa sudah tak karuan itu akhirnya ambruk, tak sadarkan diri.
Beberapa minggu berlalu, Drajat duduk termenung di kursi kamarnya, dia masih memikirkan kenapa Kin bisa menembus pelindungnya.
Lalu, Karsih datang, dia membawakan sarapan untuk suaminya. "Sarapan, Mas," ucapnya seraya meletakkan nampan itu ke meja.
Drajat menoleh, dia menatap tajam istrinya, teringat dengan pertengkaran malam lalu. Karsih mengatakan kalau Drajat yang seharusnya dihukum oleh Kin, bukan dirinya atau keturunannya.
"Kar," panggil Drajat dengan suara lirih.
Karsih menoleh, tapi tetap diam, menunggu apa yang akan dikatakan oleh suaminya.
"Kata si mbah, kalung ku ini palsu dan sekarang sudah diganti dengan jimat lain, pertanyaannya adalah, kenapa bisa kalung ku jadi palsu?"
"Mungkin bukan palsu, Mas. Tapi memang sudah waktunya ganti," jawab Karsih, mencoba melindungi diri.
Tapi, apakah mungkin Drajat percaya pada jawaban itu?