NovelToon NovelToon
The Great General'S Obsession

The Great General'S Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Obsesi / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Sungoesdown

Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.

Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.

Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?

Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.

Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bunga yang Mekar

Pagi pertama di kediaman Qi Zeyan terasa seperti uji kesabaran bagi Wen Yuer. Saat membuka pintu kamarnya, dua pelayan perempuan telah berdiri tegak, ekspresi mereka datar dan tubuh mereka kaku seperti tiang bambu.

"Selamat pagi, Nona Wen," ucap salah satunya, suaranya datar dan nyaris seperti gema dari dinding batu. Tidak ada kehangatan di dalamnya. Lebih seperti protokol daripada sapaan sungguhan. "Tuan meminta anda sarapan dengannya."

Yuer hanya mengangguk tipis, menahan komentar yang menggantung di ujung lidahnya.

Mereka membawanya menyusuri lorong panjang menuju ruang makan dalam. Lantai batu yang dipoles menggemakan langkah kaki mereka, sementara udara dingin dari utara menyelinap dari celah jendela. Di ujung ruangan, Qi Zeyan telah duduk sendiri. Ia tidak mengenakan baju perang, tapi jubah hitam kasual, ringan, sederhana, namun tetap membuatnya tampak seperti bayangan dari medan perang.

Tanpa bicara, ia mengisyaratkan Yuer untuk duduk di kursi seberangnya. Meja makan mereka panjang, tapi hidangan di atasnya sederhana. Bubur hangat, sayuran rebus, telur asin, dan teko teh yang masih mengepul.

Yuer duduk dan mulai makan tanpa menunggu perintah. Gerakannya tenang, cekatan. Ia menggenggam sumpit dengan luwes, menyendok bubur ke mangkuk kecilnya tanpa ragu. Zeyan meliriknya dari sudut matanya, diam selama beberapa saat.

"Kau makan seperti orang biasa," gumamnya akhirnya.

Yuer menoleh, lalu mengangkat alis. "Memangnya aku bukan orang biasa?"

"Kebanyakan putri jenderal tak tahu cara memegang sumpit dengan benar."

"Aku tidak dibesarkan oleh jenderal," jawabnya datar.

Qi Zeyan mengangkat bahu kecil, lalu tersenyum kecil. "Benar juga."

Percakapan berhenti di situ. Yang tersisa hanya suara sumpit menyentuh mangkuk dan desis halus uap teh. Namun di antara jeda itu, sesuatu terasa menggantung di udara, entah waspada atau hanya rasa ingin tahu yang saling menahan diri.

Beberapa saat setelah makan, seorang penjaga datang dan membisikkan sesuatu ke telinga Qi Zeyan. Sang panglima hanya mengangguk, lalu berdiri.

"Aku akan keluar pagi ini. Kau boleh berjalan di sekitar halaman dalam. Tapi jangan mendekat ke ruang pelatihan atau pos pengawasan."

Yuer memandangnya sejenak. "Kalau aku melanggar?"

Zeyan mendekat satu langkah, senyumnya muncul lagi, tipis dan berbahaya. "Mereka akan melesatkan panah dari jauh. Tapi jangan khawatir, aku akan menyuruh mereka membidik kakimu lebih dulu."

Yuer menyipitkan mata. "Perhatian yang sangat menyentuh."

Ia tertawa pendek, lalu begitu dia akan melangkah pergi Yuer kembali bersuara.

"Tunggu." Zeyan menoleh.

"Apa aku harus makan lagi denganmu setiap hari?"

"Tidak. Aku tidak selalu memiliki waktu di pagi hari."

Wen Yuer mengangguk kemudian Zeyan berbalik pergi dengan jubahnya mengepak lembut di belakang.

...

Hari kedua di benteng Qi Zeyan. Yuer berjalan di halaman dalam saat matahari mulai naik, membiarkan sinar pagi menyentuh wajahnya. Tapi bahkan cahaya matahari pun tidak bisa menghangatkan tatapan tajam yang terus mengikutinya dari berbagai sudut. Para prajurit yang lewat berhenti bicara saat ia melintas. Beberapa pelayan menunduk terlalu dalam, seolah takut dikenali sedang berdekatan dengan musuh.

Yuer tidak asing dengan tatapan semacam itu. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi bayangan yang mengusik di tengah tempat yang tidak menginginkannya.

Ia duduk di bangku batu di dekat kolam kecil di taman. Airnya jernih, tenang, dihiasi bunga air yang belum sepenuhnya mekar. Suara angin berbisik melalui dedaunan, memberikan ruang bagi Yuer untuk bernapas lebih tenang walau hanya sedikit.

Tak lama kemudian, suara langkah ringan terdengar dari arah belakang. Seorang gadis muda muncul, membawa nampan kayu kecil dengan teko dan dua cangkir.

"Maaf, Nona... aku membawakan teh hangat untuk Anda," ucapnya gugup.

Yuer menoleh, memandang gadis itu sejenak sebelum mengambil cangkir yang disodorkan.

"Terima kasih."

Gadis itu menghela napas lega, lalu berkata cepat, "Nama saya Bai Lin. Saya biasa di dapur bagian timur. Kalau Nona butuh apa-apa, nona bisa memanggil saya."

Yuer mengangguk singkat. "Baik, Bai Lin."

Bai Lin tersenyum kecil sebelum membungkuk dan berlalu pergi.

Bai Lin terlihat baik.

Yuer mengangkat cangkir teh itu, membiarkan aromanya memenuhi hidungnya. Ia menatap permukaan air teh yang tenang seperti cermin.

Tempat ini bukan rumah, tapi aku akan tinggal di sini. Bukan karena mereka menyuruhku. Tapi karena aku ingin tahu seberapa jauh aku bisa bertahan. Seberapa banyak yang bisa kutahan sebelum aku patah.

Ia memiringkan cangkirnya, membiarkan sedikit tetes teh hangat jatuh ke tanah berbatu di dekat kolam. Kemudian sedikit maju hingga menetes ke air, menciptakan riak kecil di antara bunga air yang masih kuncup.

Yuer memejamkan mata sejenak. Angin pagi menyentuh pipinya dengan lembut.

Lalu, ia merasakannya.

Sebuah keheningan aneh. Bukan sepi seperti biasa, melainkan diam yang menggantung seperti seluruh taman menahan napas.

Perlahan, terdengar bunyi "krek... krek…" lembut dari arah kolam.

Yuer membuka matanya. Salah satu bunga air yang sebelumnya tertutup rapat perlahan membuka kelopaknya.

Warnanya biru pucat, dengan semburat ungu di tengah warna yang tidak pernah ia lihat pada bunga kolam manapun.

Ia membeku. Kelopak itu tidak hanya terbuka, ia bergerak seperti mengikuti irama air, mekar dengan lambat dan anggun. Seakan menyambut sesuatu atau seseorang.

Dan sejenak, hanya sejenak, Yuer merasa ada sosok berdiri di seberang kolam.

Bukan bayangan. Bukan pantulan. Sosok itu tidak punya wajah. Hanya siluet samar berambut panjang dan jubah mengalir seperti kabut.

Suara yang bukan suara berbisik ke dalam pikirannya.

"Putri dari bunga yang jatuh, akarnya belum mati."

Yuer tersentak. Ia berdiri cepat, hampir menjatuhkan cangkir dari tangannya. Sosok itu menghilang secepat munculnya. Bunga tadi masih terbuka penuh, tapi tidak ada yang aneh sekarang. Semuanya sunyi. Angin kembali berembus. Riak air kembali acak.

Ia memandang sekeliling dan tidak ada siapa-siapa.

"Menatap air tidak akan memberimu jawaban."

Suara berat itu datang dari belakang, membuat Yuer reflek berbalik.

Qi Zeyan berdiri di bawah bayang pohon, lengan terlipat di balik jubah gelapnya. Tatapannya tidak marah, tidak juga heran. Tapi ada sorot penasaran yang tak bisa disembunyikan.

"Berapa lama kau berdiri di situ?" tanya Yuer, berusaha menjaga nada suaranya tetap datar.

"Cukup lama untuk melihatmu menumpahkan teh dan melamun seperti penyair gagal," jawabnya enteng. "Apa kolam itu berbisik padamu?"

Yuer mengatupkan rahangnya. "Aku hanya menikmati pagi."

Zeyan mendekat perlahan, tatapannya turun ke bunga air yang mekar.

"Bunga itu tidak pernah mekar kecuali saat awal musim panas. Tapi sekarang baru pertengahan musim semi," gumamnya.

Yuer ikut melihat ke arah bunga, lalu menjawab tanpa menghadap padanya, "Mungkin hanya kebetulan."

Zeyan tidak menjawab, hanya diam sejenak. Lalu, ia berkata, "Kalau kau bosan menatap kolam, aku punya tumpukan laporan yang butuh sudut pandang segar."

Yuer meliriknya cepat. "Kau mau aku membaca laporan?"

"Bukan membaca. Menilai," ucapnya ringan. "Siapa tahu, darah seorang jenderal bisa menebak lebih baik daripada para penasihatku yang terlalu tua dan terlalu takut padaku."

Ia berbalik, melangkah pergi, lalu menambahkan tanpa menoleh, "Ikut aku kalau kau mau, atau teruskan saja menatap bunga."

Yuer menatap bunga biru itu sekali lagi.

Sinar mentari menyentuh kelopaknya, tapi yang dia lihat bukan lagi sekadar bunga.

Ada sesuatu, sesuatu yang belum dia mengerti. Tapi ia tahu satu hal, ini bukan kebetulan.

Dan mungkin, Qi Zeyan bukan satu-satunya misteri yang harus dia pecahkan di tempat ini.

1
lunaa
lucu!!
lunaa
he indirectly confessing to herr 😆🙈
lunaa
gak expect tebakan yang kupikir salah itu benar 😭
lunaa
yuerr lucu bangett
lunaa
damn zeyan, yuer juga terdiam dengarnya
Arix Zhufa
baca nya maraton kak
Arix Zhufa
semangat thor
Arix Zhufa
ehemmmm
lunaa
itu termasuk dirimu zeyan, jangann nyakitin yuerr
Arix Zhufa
mulai bucin nich
Arix Zhufa
cerita nya menarik
Arix Zhufa
Alur nya pelan tapi mudah dimengerti
susunan kata nya bagus
Sungoesdown: Makasih kak udah mampir🥰
total 1 replies
Arix Zhufa
mantab
Arix Zhufa
Thor aku mampir...semoga tidak hiatus. Cerita nya awal nya udah seru
Sungoesdown: Huhuuu aku usahain update setiap hari kak🥺
total 1 replies
lunaa
liat ibunya jinhwa, pasti yuer kangen sama ibunya 😓
lunaa
then say sorry to herr 😓
lunaa
suka banget chapter inii ✨🤍 semangat ya authorr 💪🏻
Sungoesdown: Makasih yaa🥰
total 1 replies
lunaa
yuer kamu mau emangnyaa 😭🤣
lunaa
dia mulai... jatuh cinta 🙈
lunaa
menunggu balasan cinta yuer? wkwk
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!