Lihat, dia kayak hantu!"
"ia dia sangat jelek. Aku yakin sampai besar pun dia akan sejelek ini dan tidak ada yang mau mengadopsinya."
"Pasti ibunya ninggalin dia karena dia kutukan."
"Coba lihat matanya, kayak orang kesurupan!"
"iya ibunya membuangnya Karena pembawa sial." berbagai macam cacian dan olokan dari teman-temannya,yang harusnya mereka saling mengerti betapa sakitnya di buang tetapi entah mengapa mereka malah membenci Ayla.
Mereka menyembunyikan sendalnya, menyiramkan air sabun ke tempat tidurnya, menyobek bukunya, bahkan pernah mengurungnya di kamar mandi hingga tengah malam. Tapi Ayla hanya diam,menahan,menyimpan dan menelan semua dengan pahit yang lama-lama menjadi biasa.
Yang paling menyakitkan adalah bahwa tidak ada satu pun orang dewasa di panti yang benar-benar peduli. Mereka hanya melihat Ayla sebagai anak yang terlalu pasrah. Kalau ia dibully, itu pasti karena ia sendiri yang terlalu lemah.
Di sekolah, semuanya lebih buruk lagi..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widya saputri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Matahari di Ujung Perjuangan
Ruang sidang pagi itu penuh sesak. Wartawan dari berbagai media memadati kursi belakang, kamera siap mengabadikan momen bersejarah ini. Di kursi terdakwa, Darmawangsa duduk dengan jas mahal, namun wajahnya tegang. Di sebelahnya, Bu Ratna dan beberapa mantan pengurus panti tampak pucat.
Banyak yang tidak menyangka kalau otak dari semua kejadian ini adalah Darmawangsa yang notabene adalah orang yang sangat baik pada masyarakat. Tak sedikit orang yang ia bantu,setiap saat dia berbagi.
Ayla duduk di kursi saksi bersama Rani dan Nina. Di sisi lain, beberapa mantan anak panti yang berhasil ditemukan juga hadir, sebagian sudah bersama keluarga angkat baru, sebagian masih di bawah perlindungan dinas sosial.
Banyak orang yang mendapati mereka di jalanan hingga memutuskan untuk mengadopsinya.
Hakim membuka persidangan dengan suara lantang.
"Hari ini kita akan memeriksa kasus kejahatan terhadap anak di bawah umur, penyalahgunaan lembaga sosial, dan perdagangan manusia." Kata Hakim dengan suara yang lantang.
Satu per satu saksi maju. Beberapa anak panti yang sudah cukup kuat menceritakan penderitaan mereka. Ada yang menangis histeris hingga hakim memutuskan memberi waktu istirahat singkat.
Saat gilirannya tiba, Ayla berdiri. Tangannya bergetar, tapi matanya tegas. Ia menceritakan bagaimana Bu Ratna sering menghukumnya secara fisik, bagaimana makanan dia dijatah, bagaimana teman-teman mereka tiba-tiba menghilang tanpa kabar bahkan sampai ada yang meninggal.
"Kami bukan barang. Kami anak-anak yang punya mimpi. Tapi mereka… mereka memperlakukan kami seperti komoditas. Dulunya aku kira anak-anak yang lain sama saja seperti mereka yang selalu menyiksaku tapi ternyata anak-anak itu hanya diperintah oleh Bu Ratna dan jika tidak di lakukan maka akan dapat hukuman."
Suasana ruang sidang hening, hanya terdengar isak dari beberapa pengunjung.
Rani melanjutkan kesaksian, membeberkan jaringan orang suruhan panti yang mengintimidasi anak-anak. Nina menambahkan bukti berupa foto-foto lama yang diambil diam-diam saat di panti.
Pengacara Darmawangsa mencoba menyerang balik, mengatakan bahwa semua bantuan Darmawangsa murni untuk kegiatan amal dan bahwa tuduhan ini adalah fitnah demi uang.
Namun, jaksa mematahkan argumen itu dengan menghadirkan saksi kunci mantan sopir Darmawangsa yang mengaku pernah mengantar anak-anak ke pelabuhan tengah malam tanpa dokumen resmi. Dan salah satu pengurus panti yang dulu selalu membantu Ayla diam-diam juga menjadi saksi kunci bagaimana Bu Ratna memperlakukan anak-anak.
Bu Asih pengurus panti yang dulu sering membantu Ayla ternyata memilih menghilang dari panti karena setelah Ayla kabur,Bu Ratna mengetahui kalau selama ini Asih yang membantu ayla. Dia sudah lelah dengan semua sikap dan perlakuan Bu Ratna.
Jaksa juga memutar rekaman suara Bu Ratna yang memerintahkan anak panti untuk bersikap manis di depan calon orang tua angkat kaya dari luar negeri.
Banyak anak yang dijual ke luar negeri,ada yang di adopsi dan ada pula yang dijadikan pekerja disana.
Setelah dua minggu sidang maraton, hari vonis pun tiba. Semua mata tertuju pada hakim ketika ia membacakan putusan.
Darmawangsa mendapat hukuman penjara 25 tahun tanpa remisi, denda 10 miliar rupiah.
Bu Ratna dan staf panti lainnya mendapat hukuman penjara 15 tahun dan pencabutan hak mendirikan atau mengelola lembaga sosial seumur hidup.
Sedangkan Bayu yang juga ikut terseret dikenakan hukuman lebih ringan yaitu 10 tahun penjara. Bagaimanapun Bayu juga memiliki kesalahan yaitu pernah hampir melecehkan Ayla dan ikut serta dalam menganiaya anak-anak.
Panti Asuhan juga resmi ditutup dan asetnya disita untuk dana pemulihan korban. Bangunannya di hancurkan dan di ambil oleh negara.
Hari vonis tidak hanya memutuskan hukuman penjara untuk Darmawangsa tapi juga mengguncang seluruh kerajaan bisnisnya. Jaksa membacakan temuan hasil penyelidikan ternyata sebagian besar usaha Darmawan dibangun di atas bisnis ilegal pencucian uang, perdagangan gelap, dan investasi fiktif.
Hakim memutuskan seluruh asetnya disita negara berupa:
Gedung perusahaannya yang megah di pusat kota
Deretan vila mewah di berbagai daerah
Perkebunan besar yang selama ini ia banggakan
Koleksi mobil sport yang menjadi simbol kesombongannya
Di luar gedung pengadilan, berita tentang kehancuran Darmawangsa menjadi sorotan nasional. Media menyiarkan gambar rumah megahnya yang kini disegel, pintu gerbangnya ditempeli stiker Disita Negara.
Karyawan yang dulu ia perlakukan seperti budak akhirnya angkat bicara, membongkar bagaimana mereka dipaksa tutup mulut soal pengiriman anak-anak secara ilegal. Sponsor-sponsor besar menarik diri, saham perusahaannya jatuh bebas hingga tak bernilai.
Darmawangsa hanya bisa duduk terpaku di kursi terdakwa, wajahnya kehilangan semua wibawa yang dulu membuat orang takut. Kini, semua gelar kehormatannya dicabut, namanya tercatat selamanya sebagai penjahat kemanusiaan.
"Hukuman ini tidak hanya untuk perbuatan kriminal, tapi juga untuk keserakahan yang menghancurkan masa depan anak-anak."
"Pengadilan ini berharap keadilan ini menjadi pengingat bahwa anak-anak adalah masa depan bangsa, bukan komoditas. Jangan sampai ada lagi panti asuhan yang seperti ini." Kata Pak hakim.
Ruang sidang meledak dengan tepuk tangan, sebagian menangis lega. Ayla, Rani, dan Nina saling berpelukan erat
Dinas sosial segera memindahkan semua anak panti ke sebuah Panti asuhan Kasih bunda di kota,tentunya ini adalah rumah perlindungan yang terpercaya dan di lindungi oleh negara. Tempat ini lebih hangat dan aman, serta tidak ada lagi teriakan dan bentakan. Yang ada hanya senyuman dan kasih sayang,disana juga ada relawan yang siaga 24 jam.
Beberapa anak mulai mendapatkan keluarga angkat baru yang layak. Sebagian memilih tetap bersama dinas sosial sampai mereka dewasa. Kebanyakan yang di adopsi adalah anak balita. Anak-anak mulai sekolah kembali dan semua di biayai oleh pemerintah.
Pengurus di Panti Asuhan Kasih Bunda sangat menerima anak-anak itu dengan tangan terbuka. Mereka sangat sedih mendengar berita yang beredar,karena setahunya kalau panti itu adalah panti yang lama dan dengan donatur yang banyak. Serta tidak pernah terdengar adanya masalah. Siapa sangka ternyata panti itu bagaikan neraka bagi anak-anak.
Ayla, Rani, dan Nina sering menyempatkan waktu berkunjung ke sana, membawa mainan dan buku. Mereka ingin anak-anak itu tahu bahwa masa depan masih bisa cerah. mereka juga sering mengajar anak-anak.
***
5 tahun berlalu kehidupan mulai berubah.
Ayla mendapatkan rumah dari keluarga Rani. Sekarang kehidupan Ayla dan Bu Marni boleh di kata cukup. Bu Marni membuka warung makan di depan rumahnya dan dari penghasilan itulah dia bisa membiayai ayla.
Ayla sendiri mulai melanjutkan kuliahnya dan mengambil jurusan desain. Dia juga aktif di komunitas perlindungan anak, bahkan sering di undang di acara-acara seminar ataupun acara amal yang bertema sama dengan nasib ya dulu. Tapi Ayla tetap melanjutkan menulis.
Rani memilih bersosialisasi menggunakan warisan dari keluarga angkatnya. Ia mulai tampil di acara-acara amal. Rani juga sering di undang di acara-acara pejabat.
Nina memilih kuliah di jurusan hukum, ia terinspirasi untuk menjadi pengacara yang membela korban kekerasan,tetapi Nina juga sama dengan Ayla yang masih suka menggambar.
Ayla dan Nina mulai membuat buku,dimana Ayla menulis dan Nina yang menggambar. Mereka membuat dalam bentuk komik yang ada gambarnya. Di Buku mereka laris dipasaran,apalagi menceritakan tentang kisah mereka di panti asuhan dulu.
Suatu sore, mereka bertiga janjian bertemu dan duduk di taman kota, menatap matahari terbenam.
"Kita mungkin nggak bisa menghapus masa lalu, tapi kita bisa memastikan nggak ada lagi yang mengalaminya." Kata Ayla
"Dan kita tetap bersama." Lanjut Rani
"Selamanya." Kata Nina lalu merangkul kedua sahabatnya
"Pokoknya tidak akan ada lagi kekerasan bagi anak-anak." mereka bertiga lah berpelukan.
Matahari perlahan tenggelam tapi di hati mereka, cahaya baru mulai terbit.
Bersambung...