Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
³ Make Jasa
Hari sudah beranjak sore, aku bertolak pulang setelah mengantar para siswa ke rumahnya. Trik yang di sampaikan Bambang tadi benar-benar ku terapkan dan alhamdulillah manjur. Berkat doa restu Emak tadi pagi juga dong.
Lumayan, sore ini aku mendapat beberapa lembar kertas berbau asem. Bodo amat sama baunya, yang penting khasiatnya. Eh, manfaatnya.
Sesampainya di rumah, hal pertama yang ingin ku lakukan adalah menghampiri Emak. Gak sabar memberikan penghasilan pertamaku pada wanita tangguh yang sudah membesarkan anaknya yang ganteng ini. Idih.
"Maak ... emak di mana?" teriakku pas udah sampai di pintu ruang tamu yang berada di samping warung.
"Maaak ...." Masih saja memanggil dengan suara nyaring.
Aku berjalan menuju dapur, kali aja Emak ada di sana.
"Mak mek mak mek, pulang ke rumah bukan nya ngucapin salam, malah teriak-teriak." Suara Emak mengomel dari bilik yang ada di belakang.
"Eh iya, maap khilap. Hehe. Yaudah... assalamualaikum, Emakku sayang." Ku hampiri Emak ke kamarnya.
Beliau sedang melipat sajadah biru kesayangan. Kata Emak beberapa waktu lalu, sajadah itu adalah pemberian Bapak dahulu ketika meminangnya, jadi walau sudah buram dan kusut, ia masih menyukai dan memakainya setiap hari. Meski suaranya lantang saat mengomeli ku, tapi Emak tetap mempunyai sisi lembut di saat-saat tertentu.
"Waalaikumsalam. Ngapain lu cengar-cengir kagak jelas kayak gitu?" Ledek Emak.
Aku duduk di sisi ranjang, mensejajarkan Emak yang juga tengah duduk di sana.
"Ini, Mak. Ini penghasilan pertamaku, buat Emak aja."
Ku serahkan sebuah amplop warna putih yang sudah ku isi dengan uang hasil Nge driver tadi. Aku hanya menyisakan dua puluh ribu buat modal beli BBM besok.
"Kagak usah. Emak masih punya duit, kok. Itu penghasilanmu di tabung saja. Siapa tahu nanti ada kebutuhan mendadak."
"Gak, pokoknya ini buat Emak. Titik gak pakai koma."
Emak mengulas senyum. Di lihat dari ekspresi wajahnya, nampak beliau sedang terharu. Bola matanya berkaca-kaca. Pasti gak menyangka kalau anaknya yang ndablek ternyata bisa baik juga.
"Oh iya, tadi Neng Rifani pesen. Nanti bakda magrib, lu di suruh ke rumah nya. Dia mau make jasa lu," ujar Emak pas aku bertolak ke kamarku sendiri untuk melepas penat.
Badan ku udah lengket semua, pengen segera mandi.
Hah, apa? Emak tadi bilang apa? Mbak Rifani mau make jasaku? Jasa apa? Pijat plus-plus kah? Aku 'kan masih perjaka ting ting, mana tahu cara nganu.
Astaga, aku ketularan pikiran mesum Bambang yang tadi sempat membahas yang enak-enak sama pacarnya pas kami sedang ngopi di warung makan. Rasa badan yang capek, sepertinya juga membuat otakku gak waras. Ku putar tubuh demi meminta kejelasan pada Emak.
"Mbak Rifani tadi nyuruh aku buat apa?"
"Nyuruh lu nganterin dia ke supermarket, katanya ada barang yang perlu di beli. Sedangkan adiknya selalu pulang malem-malem."
Oalah, Mbak Rifani mau make jasa ojek toh. Ku kira ...
Aku sudah bersiap-siap mau mengetuk pintu rumah Mbak Rifani, tapi tiba-tiba benda berbahan kayu jati itu sudah terbuka, sebelum punggung tangan ku menyentuhnya.
Wajah Mbak Rifani mendominasi pupil ku begitu pintu terbuka lebar. Malam ini Mbak Rifani. berdandan ala kadarnya, tapi justru membuat perempuan itu terlihat cantik alami, tanpa pemanis buatan.
Perempuan yang tinggi nya menyamai telingaku itu menggunakan kombinasi kaos lengan pendek dan celana kulot. Kaos bagian bawah, ia masukkan ke dalam kulot. Tampilannya terlihat kasual dan santai.
"Eh, Arif sudah datang rupanya," sapa perempuan itu dengan mengulas senyum.
"Iya, Mbak. Kata Emak, Mbak Rifani menyuruhku ke sini setelah bakda magrib. Memangnya ada apa Mbak?" Aku pura-pura menanyakan hal yang sebenarnya sudah ku ketahui, untuk sekadar basa-basi.
"Oh iya, saya mau minta tolong, anterin belanja ya. Tenang, nanti pasti saya bayar sesuai ketentuan kok. Nyalain aja aplikasi nya."
"Memangnya, Mbak Rif gak papa di bonceng pakai sepeda motor?" tanyaku memastikan.
Soalnya, pas aku memuji-muji pasangan yang selalu terlihat romantis dan bahagia itu, Angga cenderung mengejek. Kata Angga, suami Mbak Rifani tu cemburuan banget. Bahkan, Mbak Rif gak di bolehin keluar rumah sendirian. Takut istrinya di goda lelaki lain. Ah, kalau sayang mah, memang bawaannya takut kehilangan, iya gak sih?
"Kenapa? Kamu berpikiran kalo saya gengsi naik sepeda motor?" Yaelah, Mbak Rifani malah mengasumsikan pertanyaanku dengan hal yang berbeda.
Bibirnya sedikit mengerucut, seolah menawarkan untuk di gigit. Pasti rasanya manis. Eh, astagfirullah.
"Ehmm bukan, bukan itu maksudku, Mbak. Hmm, ya udah mari ku antar belanjanya."
Akhirnya aku pasrah saja, lagian 'kan aku hanya di anggapnya sebagai tukang ojek. Suaminya pasti memaklumi.
Malam ini, kali pertama aku membonceng perempuan ayu yang sudah menjadi milik orang itu. Meski Mbak Rifani enggan berpegangan dengan pinggang ku, tapi jarak kami begitu dekat, bahkan tanpa sekat, dan itu membuat jantung ku jedag-jedug gak karuan, hatiku resah.
Entah apa yang terjadi, padahal pas membonceng penumpang yang merupakan cewek-cewek SMA tadi, aku biasa saja. Aku bisa bersikap profesional. Namun, kali ini ... ah sial.
Di sepanjang perjalanan, kami lebih banyak diam. Aku lebih fokus ke jalanan, dari pada menuruti kecanggungan yang tercipta. Gak begitu banyak kendaraan yang melewati aspal ini.
Perjalanan kami pun begitu tenang sebelum tiba-tiba ada seorang ibu-ibu berjilbab lebar yang membelokkan kendaraannya ke kanan, padahal lampu seinnya mengarah ke kiri.
Sial, aku yang gak menduga sebelumnya, jadi kehilangan keseimbangan. Untung nya, dengan cepat aku bisa mengendalikan kepanikan yang sempat menguasai otak.
Segera ku tutup gas dengan cepat, dan tarik rem depan hingga penuh. Dalam jeda sepersekian detik, aku langsung menekan rem belakang hingga penuh sebelum memastikan kondisi motor dan posisi ban sedang lurus, agar motor gak ngesot.
Kuda besi yang ku kendarai berhenti dengan cepat, membuat penumpang di belakang ikut terdorong maju. Dengan cekatan, kedua lengan Mbak Rifani mendekap perutku. Reflek yang pintar, dengan begitu penumpang di belakang gak akan jatuh.
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Aku merasakan ada benda empuk yang menempel di punggungku. Oh astaga, apakah itu... buah mangga? Otakku mendadak beku ketika menyadarinya.
Jedag-jedug jantung ku semakin gak beraturan, mengalahkan getaran rasa takut ketika kami hampir kecelakaan lalu lintas tadi dan itu membuatku semakin frustasi. Jangan sampai dedek ikut terbangun karena merasa terusik. Oh Tuhan, aku harus bagaimana?
"Rif, aku takut. Hiks hiks."
Ku lihat dari kaca spion, mata Mbak Rifani masih terpejam. Aku bisa merasakan detak jantung nya juga terpompa lebih cepat. Sepertinya dia benar-benar ketakutan. Aku segera menepi dan memasang penyangga kaki motor.