Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Rangga dan Nayla melangkah masuk ke rumah, tapi langkah mereka terhenti seketika.
Di ruang tamu, duduk sepasang wajah yang tidak asing yang tak lain adalah kedua orang tua Anita.
"Tante, Om?" Nayla terkejut. Suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh ketegangan di dadanya.
Mereka duduk bersama, suasana mendadak tegang.
"Kalian dari mana?" tanya Tante Ida, menatap tajam ke arah Nayla.
"Kami baru pulang dari Jerman, Tante," jawab Nayla hati-hati.
"Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan di sana,"
"Syukurlah kalau kamu sudah berhenti kerja dan putus dengan Jati," sahut Tante Ida cepat, nadanya tajam.
"Dari dulu Tante tidak pernah suka dia. Penyanyi kafe? Apa yang bisa dibanggakan?"
Nayla menunduk, menahan diri.
"Ada apa Tante dan Om datang ke sini?" tanyanya kemudian.
Tante Ida menyipitkan mata. "Apa kamu tidak senang kami ada di rumahmu? Harusnya kamu berterima kasih, Nayla. Kalau bukan karena kami, kamu tak akan menikah dengan Rangga."
Ucapan itu seperti sembilu di dada Nayla. Tapi ia tetap diam.
Tante Ida segera mengutarakan maksud kedatangannya.
"Tante mau minta tolong pada Nak Rangga,"
Rangga mengangguk kecil. "Ada apa, Tante?"
"Rumah yang kamu jadikan mas kawin untuk Anita... apa bisa Tante jual?"
Nayla terdiam. Dadanya berdebar. Rumah itu... rumah itu sekarang miliknya. Mas kawin pernikahan yang penuh luka.
Tante Ida menatap yakin, seolah sudah tahu jawabannya.
Nayla melirik Rangga, berharap... berharap suaminya akan menolak.
Tanpa sepatah kata, Rangga berdiri dan melangkah ke kamar.
Ada secercah harapan di hati Nayla. Ia menghela napas lega.
Namun harapannya hancur seketika ketika Rangga kembali, membawa kunci dan surat rumah di tangannya.
"Tante boleh menjualnya," ucap Rangga datar.
Nayla bangkit. "Mas! Itu mas kawin yang kamu berikan kepadaku! Kenapa kamu berikan kepada Tante Ida?"
Tapi sebelum Rangga bisa menjawab, suara pedas Tante Ida menimpali, "Karena satu-satunya yang dicintai Rangga hanyalah Anita. Kamu cuma pengganti,"
Kata-kata itu seperti tamparan. Mata Nayla berkaca-kaca, namun ia tetap berdiri tegak.
Nayla yang tidak mau berdebat akhirnya memilih masuk ke kamar.
Tante Ida dan Om Farhan tidak menghiraukan Nayla yang masuk ke kamar dan setelah itu mereka langsung berpamitan kepada Rangga.
Rangga langsung masuk ke kamar dan tidak menghiraukan Nayla yang sedang menangis.
"Apakah seorang pengganti sepertiku tidak boleh bahagia?" gumam Nayla yang kecewa dengan Rangga.
Disaat sedang menangis tiba-tiba ponselnya berdering.
Ia melihat layar ponselnya dimana Jati sedang menghubunginya.
"H-hallo ...."
Jati mengernyitkan keningnya saat mendengar suara Nayla yang sepertinya sedang menangis.
"Nayla, kamu kenapa? Ada apa dengan kamu?" tanya Jati.
"A-aku tidak apa-apa Mas. Aku mau tidur," jawab Nayla yang langsung mematikan ponselnya.
Nayla tidak mau membuat Jati berpikir macam-macam tentang dirinya yang sedang menangis.
Sementara itu Rangga keluar dari kamarnya dan melihat Nayla yang masih berada di kamar.
Rangga memanggil Bi Ina untuk nanti menyiapkan makanan untuk Nayla.
"Saya tinggal kerja dulu Bi," ucap Rangga yang kemudian masuk ke dalam mobilnya.
Rangga langsung melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit.
Bi Ina hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika melihat Rangga berbuat seperti itu kepada Nayla.
Kemudian Bi Ina mengetuk pintu kamar Nayla untuk memintanya agar makan terlebih dahulu.
"N-nanti saja Bi. Aku masih kenyang." Nayla meminta Bi Ina untuk tidak mengganggunya.
Sekarang Nayla hanya ingin tidur dengan tenang tanpa gangguan apapun.
Ia juga mematikan ponselnya agar Rangga maupun Jati tidak menghubunginya.
Sudah jam 6 malam tetapi Nayla masih saja belum keluar dari kamar.
Bi Ina yang khawatir kembali mengetuk pintu kamar Nayla.
"Non Nayla, ayo makan dulu. Sekarang sudah malam Non," ucap Bi Ina yang khawatir dengan keadaan Nayla yang dari tadi belum makan.
Bi Ina mengetuk pintu kamar tetapi tidak ada jawaban dari Nayla.
Rangga yang baru saja sampai rumah melihat Bi Ina yang sedang duduk berada di depan kamar Nayla.
"Ada apa Bi?" tanya Rangga.
"Non Nayla dari tadi belum makan, Bibi ketuk pintu dari tadi tidak ada jawaban sama sekali," jawab Bi Ina.
Rangga langsung mengetuk pintu kamar Nayla dan masih tidak ada jawaban.
"Nayla, buka pintunya!"
Karena tidak ada jawaban dari Rangga akhirnya ia mendobrak pintu kamar Nayla
"NON NAYLA!" teriak Bi Ina saat melihat Nayla yang pingsan di depan pintu kamar mandi.
Rangga langsung membopong tubuh Nayla dan menaruhnya ke atas tempat tidur.
Setelah itu ia meminta Bi Ina untuk mengambil tas medisnya yang ada di dalam mobil.
Rangga melihat wajah Nayla yang sangat pucat sekali.
"M-mas Jati," ucap Nayla saat dirinya sedang mengigau memanggil nama Jati
Rangga mendengar suara istrinya yang sedang memanggil nama kekasihnya.
Tak berselang lama Bi Ina memberikan tas medis kepada Rangga.
Rangga segera memeriksa keadaan istrinya yang sedang tidak sadarkan diri.
Ia pun langsung mengambil botol infus dan langsung memasang selang infus ke pergelangan tangan istrinya.
Rangga meminta Bi Ina untuk membuatkan air madu dan bubur gula merah.
Nayla terkena penyakit typus dan untuk sementara waktu Nayla harus makan bubur dan air madu.
Sambil menunggu Bi Ina yang sedang di dapur, Rangga memadang wajah istrinya.
"Kenapa kamu mau menikah denganku? Apakah karena hartaku kamu mau menikah aku?" gumam Rangga.
Rangga sangat tahu betul kalau keluarga Anita sangat gila harta.
Tak lama kemudian Bi Ina masuk dengan membawa nampan yang berisi air madu dan bubur gula merah.
"Bi Ina tolong temani Nayla dulu, saya mau mandi dulu. Nanti kalau Nayla sadar panggil saya," ucap Rangga yang kemudian masuk kedalam kamarnya
Bi Ina menganggukkan kepalanya dan ia pun langsung menjaga Nayla yang masih belum sadarkan diri.
Rangga yang sudah berada di dalam kamar mandi langsung menghidupkan shower nya.
"Anita, aku merindukanmu," ucap Rangga.
Andaikan saja waktu bisa diputar kembali, ia pasti tidak akan membiarkan Anita pergi sendiri.
Tapi nasi sudah menjadi bubur dan sekarang yang ia nikahi adalah Nayla.
Setelah selesai mandi Rangga kembali turun dan melihat keadaan Nayla yang masih belum sadarkan diri.
Rangga meminta Bi ina untuk menyiapkan makan malam.
Ia kembali duduk di samping tempat tidur Nayla yang masih belum sadarkan diri.
Tak berselang lama, Nayla membuka matanya perlahan dan melihat Rangga duduk di samping tempat tidurnya.
Ia juga menyadari tangannya terpasang selang infus.
"Akhirnya kamu sadar juga," ucap Rangga datar. "Apa kamu rindu kekasihmu? Atau kecewa karena rumah mas kawin itu sudah kuberikan ke orang tua Anita?"
Nayla menatapnya lemah. "Buat apa aku kecewa, Mas? Toh aku di sini cuma pengganti,"
Andai bukan karena hutang budi pada kedua orang tua Anita, Nayla pasti tak akan pernah bersedia menikah dengan Rangga.
"Sudahlah, makan dulu. Jangan manja," Nada Rangga dingin.
Perkataan itu menyayat hati Nayla. Tanpa pikir panjang, ia mencabut selang infus dari tangannya dan bangkit dari tempat tidur.
"Apa yang kamu lakukan?!" Rangga berdiri dan mencengkeram lengannya.
"Lepaskan tanganmu, Mas!" Nayla menepis kasar.
Perih di tubuhnya tak sebanding dengan luka di hatinya saat tahu Rangga mengira ia cuma berpura-pura sakit untuk mencari perhatian.
Rangga menatap Nayla tajam, namun perlahan-lahan melepas genggamannya.
"Kamu mau ke mana dalam keadaan begitu?" tanyanya dengan nada meninggi.
"Keluar dari kamar ini. Aku tidak butuh dikasihani, apalagi dituduh berpura-pura sakit," ujar Nayla dengan suara bergetar menahan emosi.
Langkahnya gontai, namun penuh tekad. Rangga hanya bisa memandang punggung Nayla yang menjauh, terdiam dalam kebingungan antara marah dan bersalah.
"Nayla, tunggu!" serunya akhirnya.
Nayla berjalan menuju ke dapur untuk membantu Bi Ina.