Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika kesitaan dibalas dusta
“Mas, apa itu benar jika perempuan semalam adalah dia,” ucap Luna seraya menunjuk ke arah Emilia.
Namun, orang yang ditanya hanya diam
tanpa bergerak. Tidak tahu harus mengatakan apa, ketika semua kenyataan sudah terlihat di depan mata.
“Mas, jadi benar!” ulang Luna dengan derai air mata yang semakin deras.
“Lun, aku minta maaf.” Hanya kata itu yang bisa diucapkan oleh Arindra, ketika Luna akhirnya mengetahui siapa dibalik pelukan suaminya semalam.
“Kamu tahu Mas, Emilia adalah mantan muridku? Kenapa harus dia Mas, kenapa!”
Seolah tak kuat menahan beban tubuhnya. Luna seketika terjatuh dan begitu terpukulnya pada saat mendengar bahwa selingkuhan Arindra adalah mantan muridnya sendiri, bahkan jika itu orang lain mungkin saja dia tak akan sesakit ini. Walau memang rasa kecewa itu ada.
Keduanya secara bersamaan datang untuk membantu memapah Luna, tetapi dengan kasar ia menolak. “Biarkan aku sendiri! Kalian tidak perlu menjadi baik seolah tak memiliki salah kepadaku,” ucap Luna tanpa menatap wajah keduanya dengan mata sembabnya.
“Bu, maaf. Namun, Ibu tidak bisa menyalahkan aku karena sebelum kalian menikah mas Arin terus mengejarku.” Akhirnya, semua pernyataan keluar dari mulut Emi.
Sedangkan dengan mata sembab, Luna menatap wajah gadis itu. Di mana jika suaminya sudah jatuh cinta kepada Emi sejak di bangku SMA, sungguh di luar dugaan dan itu benar-benar menyakitkan.
“Emi pernah menyelamatkan hidupku, dan di saat itu aku bersumpah untuk ganti menjaganya. Namun, justru aku jatuh cinta kepada dia yang waktu itu masih SMA. Memutuskan untuk menikah denganmu agar bisa melupakannya, tetapi ternyata aku salah.”
“Aku minta maaf, maaf telah melukai hatimu dan menghancurkan hidupmu. Walau kamu tidak dapat memaafkanku karena kesalahan terbesarku,” ucap Arindra dengan wajah tertunduk. Bahkan ia terlalu malu untuk mengangkat kepalanya di hadapan seorang wanita yang begitu baik.
“Jika kalian merasa berdosa padaku, bisakah menebus semua kesalahan ini?” Menatap wajah keduanya satu per-satu, meminta jawaban atas permintaan Luna.
“Bu, aku bisa meninggalkan mas Arin, aku bisa menjauh dari kalian, aku bisa—.”
“Tidak Emi, orang yang seharusnya menebus itu dia! Bukan kamu.” Dengan suara lantang Luna berkata, mengusap air matanya karena merasa jika semua ini bukanlah akhir dari segalanya.
“Bu, akankah semua akan kembali baik-baik saja ketika aku ada di sini? Aku rasa tidak, Bu!”
Benar, meski Emi pergi atau tetap berada di kota ini. Semua tak akan mengubah apa pun karena Arindra tetaplah mencintainya Emi, walau tubuhnya ada pada Luna, tetapi ia sama sekali tidak memiliki cintanya.
“Semua itu tak akan ada perubahan meski kamu pergi. Jadi, tetaplah di sini karena aku tidak akan menyerah dan tetap bertahan sebagai istrinya.”
Arindra dan Emilia pun seketika menoleh. Menatap Luna dan rasanya jika itu mereka, mungkin tak akan sanggup untuk menjalaninya.
“Lun, jangan konyol. Hatimu bukan baja yang bisa menjalaninya sesuai kehendakmu,” ucap Arin dengan wajah tak percaya.
“Tahu apa kamu soal hatiku? Bahkan kamu tidak berhak menentukan jalan yang aku ambil!” tekan Luna menatap tajam ke arah Arindra.
Tiba-tiba kuat, tiba-tiba lemah. Bahkan Arindra sekarang sulit untuk menebak isi hati istrinya. Seolah tidak ada pertengkaran, karena sikap Luna yang tak sedikitpun menghakimi dirinya dan juga Emilia, tetapi ia juga takut jika saja istrinya memiliki rencana lain.
“Apa aku yang terlalu banyak berpikir karena sikap Luna,” batin Arindra di mana isi kepalanya dipenuhi oleh tanda tanya.
Arindra pikir jika sikap Luna akan seperti sinetron pada umumnya. Bahkan mungkin saja di dunia nyata pun ada. Namun, sikap sang istri sungguh di luar pikirannya. Memangnya wanita mana yang rela mempertahankan rumah tangganya jika salah satunya telah berkhianat?
“Em, pulanglah. Ini sudah malam dan tidak baik seorang perempuan berada di jalanan seorang diri,” ucap Luna dengan penuh ketegaran.
Namun, orang yang diajaknya bicara justru hanya diam. Sebuah pemandangan sedih terlukis di wajahnya. Membuat Luna langsung menyimpulkan jika ada masalah pada mantan muridnya itu.
“Apa ada yang salah?” tanya Luna lagi.
“Orang tuaku bertengkar, jadi aku memutuskan untuk pergi dari rumah karena sudah tidak tahan.” Jawab Emi dengan wajah sedihnya.
Pada saat keduanya berbicara. Arindra hanya bisa terdiam dan menyimak. Seolah benar-benar tidak terjadi apa-apa karena sama sekali tak memperlihatkan sebuah amarah pada Laluna—wanita yang dikecewakan.
“Mas, apa kamu keluar membawa mobil?” Kini pertanyaan itu ditujukan kepada Arindra.
“Uhm.” Hanya itu yang keluar dari mulut Arindra.
“Em, ikut ibu pulang. Besok kamu bisa mencari tempat tinggal di sekitaran Universitas agar memudahkanmu,” ucap Luna usai berbicara kepada Arindra.
Sejenak, Arindra dan Emilia saling pandang. Seolah keduanya memiliki pikiran yang sama kepada Luna.
“Apa aku tidak salah dengar, bahkan Luna meminta Emi untuk pulang ke rumah?” Dalam hati Arin masih tidak percaya.
“Kenapa? Kenapa orang yang seharusnya marah dan membenciku harus bersikap baik kepadaku,” batin Emi dengan pikiran tak karuan yang kini merusak hatinya.
“Kalau begitu kita pulang!” ajak Luna kepada mereka berdua.
20 menit mobil yang di kendarai oleh Arin telah sampai. Ia pun langsung meminta Arindra untuk membawa Emi ke kamar tamu. Di samping itu, ia akan menyiapkan makan malam.
“Sayang, biarkan aku membantumu.” Kata Arin seraya melipat lengan hemnya.
Di sela-sela mereka memasak, ada sesuatu yang harus diselesaikan oleh Arin, agar hati dan pikirannya semakin mendapat sebuah jawaban.
“Lun, kenapa kamu membawa Emi ke rumah kita?” tanya Arindra dengan hati-hati.
“Mas, apa tidak ada pertanyaan lain selain membicarakannya kembali.” Jawab Luna dengan nada kesal.
“Lun, tapi ….”
“Ugh … jariku,” gumam Luna.
“Luna jari kamu, aku akan segera mengambil kotak obat.” Arin dengan langkah tergesa langsung meninggalkan dapur untuk mengambil obat.
“Bahkan luka ini tidak seberapa Mas, dibanding luka sayatan yang kamu torehkan.” Luna sama sekali tidak bergerak, menatap cairan berwarna merah yang menetes cukup banyak.
Bahkan Luna tidak mengerti dengan isi hati Arindra. Kekhawatiran yang ditunjukkan, kepeduliannya kepadanya, sungguh membuat Laluna benar-benar dilema.
Emilia yang hendak menyusul Luna ke dapur untuk membantu. Tiba-tiba saja kedua matanya melotot karena terkejut melihat tetesan darah dari jemari mantan gurunya itu.
“Ibu, jari Ibu kenapa?”
Dengan cepat Emi menarik lengan Luna ke wastafel. Membiarkan tangan yang dipenuhi oleh darah, membuatnya begitu khawatir.
“Bu, aku akan membalut luka Ibu.” Ucapan Emi ditolak oleh Luna.
“Tidak perlu, terkadang kita perlu belajar untuk menahan rasa sakit ini untuk mencari sebuah akhir. Jangan khawatir karena ada luka yang lebih parah dari ini,” ucap Luna dengan seulas senyuman.
“Apa yang harus aku lakukan, bahkan rasanya sulit untuk memilih.” Suara isi hati seseorang dengan memandangi wajah tanpa memiliki rasa sakit.