Zyan, seorang agen yang sering mengemban misi rahasia negara. Namun misi terakhirnya gagal, dan menyebabkan kematian anggota timnya. Kegagalan misi membuat status dirinya dan sisa anggota timnya di non-aktifkan. Bukan hanya itu, mereka juga diburu dan dimusnahkan demi menutupi kebenaran.
Sebagai satu-satunya penyintas, Zyan diungsikan ke luar pulau, jauh dari Ibu Kota. Namun peristiwa naas kembali terjadi dan memaksa dirinya kembali terjun ke lapangan. Statusnya sebagai agen rahasia kembali diaktifkan. Bersama anggota baru, dia berusaha menguak misteri yang selama ini belum terpecahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Last Man Standing
Tubuh Zyan ambruk ketika mobil menabraknya. Walau tabrakan yang terjadi tidak terlalu keras, namun karena kondisi tubuh Zyan yang lemah membuatnya langsung ambruk. Sang pengemudi langsung keluar dari mobil. Di belakangnya mengekor seorang pria paruh baya mengenakan thawb atau gamis berwarna putih. Di tangan pria itu terdapat tasbih yang terus digulirnya seraya menyebutkan asma Allah.
"Astaghfirullah, Amma bagaimana ini?" tanya sang pengemudi pada pria bergamis itu.
"Innalilahi. Cepat bawa masuk ke mobil. Kita harus membawanya ke rumah sakit."
Sang pengemudi segera mengangkat tubuh Zyan, memapahnya masuk ke dalam mobil. Pria paruh baya yang dipanggil Amma ikut masuk ke bagian belakang mobil. Pria itu merebahkan kepala Zyan di atas pangkuannya. Dia terkejut melihat darah yang keluar dari dada dan perut korban penabrakan sang anak.
"Husein, cepat!" titah Amma.
Pria bernama Husein itu segera membuka pintu depan mobil, belum sempat masuk, seorang pria datang. Dia langsung menodongkan pistol ke kepala Husein. Sontak Husein langsung mengangkat tangannya. Dengan wajah sedikit pucat, dia melihat pria yang menodongkan senjata padanya.
"Aku yang akan membawa mobilnya," ujar pria itu.
"Tapi Amma ada di belakang. Aku harus ikut," jawab Husein takut-takut.
"Masuk!"
Husein bergegas menuju pintu sebelah lalu masuk ke dalamnya. Amma yang bingung melihat anaknya malah duduk di kursi penumpang hendak membuka mulutnya. Namun kata-katanya tertahan ketika seorang pria masuk dan langsung menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Pria itu menoleh ke belakang, melihat pada Zyan yang nampak kritis.
"Tolong tekan lukanya!" ujar sang pria.
Amma segera mengambil sorban, menggulungnya lalu menekan ke luka di dada Zyan. Darah terus keluar dan membasahi sorban. Sang pria semakin menambah kecepatan mobil. Kakinya tak henti menginjak pedal gas. Husein berpegangan pada sisi mobil, katanya melirik ke speedometer, kecepatan mobilnya sekarang mencapai 120 km/jam dan pria di sebelahnya terus menambah kecepatan. Mobil melaju pesat melewati bangunan rumah sakit dan itu tertangkap oleh Amma.
"Kenapa tidak ke rumah sakit? Kondisinya kritis, dia harus segera dibawa ke rumah sakit."
Tidak ada jawaban dari sang pengemudi, dia terus saja melajukan kendaraannya. Kecepatan kendaraan sekarang mencapai 180 km/jam. Husein semakin dibuat ketar-ketir. Mulutnya terus saja mengucapkan asma Allah, begitu pula dengan Amma. Tanpa mengurangi kecepatan, sang pengemudi membelokkan kendaraan membuat suara ban berdecit. Kendaraan terus melaju menuju sebuah gedung. Seorang penjaga langsung membukakan pintu pagar, mobil terus meluncur menuju parkiran basement. Kecepatan mobil mulai menurun dan berhenti di depan sebuah pintu yang terdapat lift di dalamnya.
Begitu mobil berhenti, dua orang yang berjaga di sana sudah siap dengan blankar. Mereka membantu mengeluarkan Zyan. Pelan-pelan tubuh Zyan dikeluarkan dan dibaringkan di atas blankar. Kemudian dengan cepat keduanya mendorong masuk blankar, langsung menuju ruang operasi. Husein dan Amma ikut keluar, keduanya menatap bingung. Masih belum mengerti dengan situasi yang terjadi. Di tengah kebingungan mereka, muncul seorang pria berseragam. Pria yang tadi mengemudi mobil segera memberikan hormatnya pada pria itu.
"Bagaimana Zyan?"
"Kurang baik, dia tertembak di dada kiri dan perut."
"Lalu Ahsan?"
Kepala pria itu hanya menggeleng. Pria yang ternyata adalah Gantika hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia terlambat satu langkah untuk menyelamatkan Zyan dan anak buahnya. Barusan dia mendapat laporan kalau anak buah Zyan yang lain juga sudah berhasil dibunuh. Pandangan Gantika kemudian tertuju pada Amma dan Husien.
"Maaf membuat kalian terkejut. Atas nama pribadi saya ucapkan terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawa anak buah saya."
"Ini sudah kehendak Allah SWT. Dia muncul tiba-tiba di depan mobil kami."
"Nama Bapak siapa?"
"Saya Anshori, dan ini anak saya, Husein."
"Pak Anshori, saudara Husien, mari ikut dengan saya."
Gantika mengajak kedua pria itu untuk mengikutinya. Di belakangnya sang anak buah menyusul. Keempatnya menuju ruang operasi dan duduk di ruang tunggu. Amma melihat ke sekeliling, bangunan ini bukanlah rumah sakit, lebih mirip pusat pelatihan. Tapi di dalamnya juga ada tempat perawatan termasuk ruang operasi.
"Pak Anshori tinggal di mana? Nanti biar anak buah saya yang mengantar pulang."
"Saya hanya berkunjung saja ke Jakarta. Kebetulan saya diundang menghadiri pertemuan pondok pesantren yang digagas kementrian agama. Acaranya sudah selesai dan besok kami akan kembali ke Tanjung Harapan."
"Jadi Bapak memiliki pesantren di sana?"
"Alhamdulillah. Masih pesantren kecil, belum sebesar Gontor atau Tebuireng," jawab Amma merendah.
"Saya punya permintaan pada Bapak kalau tidak keberatan. Peristiwa malam ini mohon jangan dibocorkan pada siapa pun. Dan mungkin saja Bapak dan anak Bapak berada dalam bahaya. Bagaimana kalau kepulangan kalian ditunda satu atau dua hari. Saya harus memastikan keamanan kalian berdua lebih dulu. Malam ini sebaiknya jangan kembali ke tempat kalian menginap. Bagaimana kalau kalian menguap di sini sambil menunggu saya mengatur kepulangan kalian?"
Amma dan Husein saling berpandangan sebentar. Melihat luka yang dialami Zyan, Amma sudah menduga kalau ada peristiwa tak biasa yang menimpa pria itu. Setelah berdiri sejenak, akhirnya Amma menganggukkan kepalanya. Husien pun mengikuti apa yang diputuskan oleh ayahnya.
"Erik, tunjukkan kamar mereka."
"Baik, Mayor."
Anak buah Gantika yang bernama Erik segera memandu Amma dan Husien menuju kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Sepeninggal mereka, Gantika masih bertahan di tempatnya. Pria itu menghubungi beberapa orang untuk menjalankan apa yang diperintahkan olehnya.
Setelah menunggu satu jam lebih, akhirnya operasi selesai. Dokter yang mengoperasi Zyan keluar. Pria itu membuka masker yang menutupi wajahnya lalu mendekati Gantika yang masih setia menunggu. Erik juga sudah kembali setelah mengatakan Amma dan Husein.
"Bagaimana keadaannya?"
"Operasinya berjalan lancar. Dia beruntung peluru hanya berjarak tiga senti dari jantungnya, hingga nyawanya bisa diselamatkan. Peluru juga hanya menyerempet perutnya saja. Hanya saja dia kehilangan banyak darah, kondisinya masih belum stabil. Malam ini dia akan melewati masa kritisnya."
"Semoga saja dia bisa bertahan."
"Lalu apa rencanamu?"
"Zyan adalah prajurit yang kudidik dan kulatih dengan tanganku sendiri. Tentu saja aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya. Kasus di Malta boleh ditutup, tapi aku akan terus menyelidikinya. Aku yakin Zyan juga tidak akan berhenti. Tapi untuk sementara aku harus menyelamatkannya dulu. Dia harus pergi dari Jakarta."
"Kamu benar, terlalu riskan kalau dia tetap berada di sini. Apalagi dia itu keras kepala."
Kepala Gantika mengangguk membenarkan apa yang dikatakan rekannya itu. Ketiganya segera meninggalkan ruang tunggu setelah Zyan dibawa ke ruang ICU. Gantika mengajak Erik menuju ruangannya.
"Aku mau semua data tenang Zyan dan semua anak buahnya dihapus dari sistem."
"Apa Bapak tetap akan mempekerjakannya?"
"Tentu saja, tapi bukan sekarang. Penting baginya untuk memulihkan diri lebih dulu. Lagi pula masih banyak yang harus kita selidiki. Kasus ini begitu rumit dan aku yakin banyak orang berkuasa berada di baliknya. Untuk sementara Zyan harus keluar dari permainan, biarkan dia berada di bawah radar. Jika waktunya sudah tepat, dia akan kembali diaktifkan."
"Apa yang harus saya lakukan?"
"Kamu harus mengawal Pak Anshori dan anaknya kembali ke Tanjung Harapan dengan selamat. Tempatkan beberapa anggota kita di sana untuk memantau keadaan."
"Apa Bapak bermaksud.."
"Ya.. itu adalah pilihan terbaik saat ini."
Erik hanya menganggukkan kepalanya. Pria itu segera keluar dari ruangan sang atasan. Sepeninggal Erik, Gantika menyalakan laptopnya. Beberapa saat dia berdiam diri memeriksa sesuatu melalui perangkat elektronik tersebut. Setelahnya dia berdiri lalu berjalan menuju lemari yang ada di belakang meja kerjanya. Dia mengeluarkan sebuah tas kecil dari dalamnya. Memeriksa isinya sebentar lalu keluar dengan membawa koper tersebut.
Sekarang Gantika sudah berada di lantai empat, tempat di mana kamar Amma dan Husein berada. Pria itu segera menuju kamar yang ditempati Amma. Setelah mengetuk pintu, Amma langsung membukanya. Pria itu segera masuk ke dalam kamar. Keduanya kini duduk berhadapan.
"Saya tahu kalau Bapak adalah orang yang jujur. Ada sesuatu yang saya minta pada Bapak."
"Apa Bapak percaya pada saya?"
"Iya."
Amma hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau pria di depannya bukanlah pria sembarangan. Pasti pria bernama Gantika itu sudah menyelidiki tentang dirinya dan Husein, bahkan mungkin semua orang yang berhubungan dengannya dan apa yang dilakukan olehnya sudah diketahui juga.
"Apa yang Bapak minta? Kalau saya bisa mengabulkannya, saya pasti akan melakukannya."
"Orang yang Bapak selamatkan adalah Zyan. Dia anak buah terbaik yang saya miliki. Tapi saat ini dia sudah tidak terdaftar di kesatuan. Kalau Bapak berkenan, bisakah Bapak membawanya ke tempat Bapak? Untuk sementara dia harus bersembunyi dan memulihkan diri."
"Kalau saya tidak keberatan. Tapi apakah dia mau melakukannya?"
"Setelah Zyan melewati masa kritisnya, dia akan dikirimkan ke Tanjung Harapan. Nanti beberapa anak buah saya akan mengawal kalian sampai ke tujuan dengan selamat. Setelah dia sadar, berikan ini padanya. Dia akan tahu dan setuju setelah melihat isi di dalamnya."
Gantika mendorong tas kecil yang tadi dibawanya ke dekat Amma. Pria bersahaja itu memandangi tas tersebut kemudian mengambilnya tanpa melihat isi di dalamnya.
"Bagaimana keadaan Zyan sekarang?"
"Operasinya lancar, dia sedang berada dalam pemantauan di ICU. Dokter bilang malam ini adalah masa kritisnya, semoga saja dia bisa melewati malam ini dengan selamat."
"Aamiin.."
"Terima kasih atas bantuannya. Jika Bapak butuh sesuatu, Bapak bisa menghubungi Erik melalui telepon ekstensi di sana," tangan Gantika menunjuk nakas kecil yang di atasnya terdapat telepon ekstensi. Kepala Amma mengangguk pelan. Setelah pembicaraan di antara mereka selesai, Gantika segera berpamitan.
***
Setelah Zyan melewati masa kritisnya, sesuai rencana, pria itu akan segera diterbangkan ke Tanjung Harapan. Untuk sementara Zyan akan tinggal di sana, menjalani hidup baru dengan identitas baru sambil menunggu statusnya diaktifkan kembali. Keberangkatan Zyan bersama dengan Amma dan Husein menggunakan penerbangan khusus. Operasi ini bersifat rahasia dan tidak ada seorang pun yang tahu untuk menjaga keselamatan mereka.
Sesampainya di Kota Bandar Baru, Ibu kota Pulau Tanjung Harapan, rombongan langsung menuju Desa Pagar Anam. Tanjung Harapan adalah salah satu pulau yang ada di kepulauan Riau. Pulau Tanjung Harapan memiliki luas yang hampir sama dengan Pulau Tanjung Pinang. Seperti halnya Pulau Batam, Pulau Tanjung Harapan dulunya adalah pulau kosong.
Pulau ini mulai beroperasi ketika tanpa sengaja empat orang nelayan terdampar di pulau ini setelah terkena ombak besar. Mereka tinggal selama hampir dua Minggu di pulau dan menyadari kalau pulau ini memiliki sumber kekayaan alam yang banyak. Mendengar laporan dari keempat nelayan tersebut, pemerintah setempat mulai menjajaki keberadaan pulau tersebut. Dan pada tahun 1988, pulau tersebut resmi dibuka.
Kekayaan alam yang melimpah, membuat pulau ini memiliki hasil alam yang berlimpah, seperti Kakao, Pala, kelapa dan cengkih. Selain itu, di sini juga ditemukan minyak bumi dan gas alam serta granit. Melihat potensi yang begitu besar dari pulau ini, banyak warga yang pindah ke pulau ini. Penghuni pulau bukan hanya dari warga kepulauan Riau saja, tapi juga imigran dari pulau Jawa dan Sumatera. Pulau ini memiliki satu ibu kota dan tiga desa. Ibu kotanya atau pusat pemerintahan Pulau Tanjung Harapan bernama Bandar Baru. Sementara tiga desa lain adalah Pagar Anam, Muara Elok dan Karang Tanjung.
Ambulans yang membawa Zyan berbelok memasuki bangunan yang bagian depannya terdapat plang bertuliskan PONDOK PESANTREN ULUL ILMI. Kendaraan terus melaju menuju kediaman Amma yang masih berada di dalam komplek pesantren. Sebelumnya pria itu sudah menghubungi keluarganya dan meminta istrinya menyiapkan sebuah kamar untuk Zyan.
Setelah mematikan kepindahan Zyan tidak mengalami masalah, Erik bermaksud kembali ke Jakarta. Sebelumnya dia memberi arahan pada tiga anak buahnya yang ditempatkan di desa ini untuk memantau dan membantu Zyan.
Saat diterbangkan ke Tanjung Harapan, Zyan masih belum tersadar dari komanya. Namun pria itu sudah melewati masa kritisnya. Infusan masih menancap di tangannya. Seorang perawat juga ikut diterbangkan ke sini untuk merawat Zyan. Nantinya perawat pria itu akan terus berada di sini, karena dia juga menjadi salah satu anak buah yang ditugaskan menjaga Zyan.
Menjelang sore, kelopak mata Zyan nampak bergerak. Perlahan pria itu membuka matanya. Untuk sesaat dia masih diam, membiarkan anggota tubuhnya menerima stimulus yang datang. Sadarnya Zyan diketahui oleh sang perawat yang bernama Ibnu itu. Dia segera memanggil Amma dan Husein. Ketika kedua pria itu masuk, pandangan mereka langsung bersirobok dengan mata Zyan.
***
Jangan cari di peta tentang Pulau Tanjung Harapan, karena itu murni imajinasiku aja. Indonesia kan punya ribuan pulau, jadi ngga masalah nyempilin satu pulau hasil rekayasa ku wkwkwk...
Minal aidin walfaidzin jg mak mohon maaf lahir dan batin 🙏🥰
keburu lebaran ketupat belum di tangkap. hehehe
Goodlah Zyan dan Armin, setelah ini tinggal pantau aja kegiatan Marwan melalui cctv dan penyadapan.
tunggulah akan ada masa naya kau kena karma barli