Almira Balqis Khumaira, 29 tahun, menikah dengan Iqbal Ardiansyah, 31 tahun. Dalam pernikahan tersebut mereka baru di karuniai seorang anak di usia pernikahan ke tujuh tahun. Sesuatu yang seharusnya membahagiakan semua pihak.
Namun kebahagiaan itu harus rusak sebab beberapa jam setelah operasi caesar, Almira mendapatkan kiriman foto dan video perselingkuhan suaminya bersama seorang wanita cantik bernama Sinta, 28 tahun, sekretaris dari Iqbal sendiri.
Dunia Almira seakan runtuh seketika. Hatinya patah sepatah-patahnya. Tak ada satupun alasan Almira tetap bertahan hidup selain putranya yang lebar beberapa jam saja.
Di tengah keterpurukannya, Almira justru meminta Iqbal untuk menyatukan dirinya dan Sinta dalam satu atap. Entah apa maksudnya.
Belum genap dua bulan Almira menjalani hidup seatap dengan madunya, datanglah seorang gadis siswi sebuah SMA swasta yang mengaku telah di nodai Iqbal. Apakah Almira masih kuat bertahan hidup?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raynor Mumtaz29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Atap, Dua Madu 4
"Ini keluarga yang lain mana Sus?" tanya Dokter Rina pada sang asisten.
"Dari awal masuk hanya Ibu ini dan pasien saja yang ada. Nggak ada yang lain, Dok." sahut Suster Eta tegas.
"Terus ini bagaimana. Kita nggak mungkin meninggalkan dua orang pasien yang sama-sama pingsan dengan seorang bayi yang masih merah. Tolong panggilkan satu Suster jaga yang sedang nggak ada side job. Minta berjaga di kamar ini." titah Dokter Rina lembut.
"Baik, Dok." Suster Eta bergegas ke luar ruangan dan mencari satu tenaga perawat yang sedang free sesuai permintaan dokter Rina.
Sementara dokter Rina sibuk memeriksa Almira, seseorang masuk dengan tergopoh-gopoh.
"Dokter, ini kenapa istri saya? Apakah dia sakit juga?"
Dokter Rina memalingkan muka dengan cepat ke arah datangnya suara.
"Bapak keluarganya?"
"Iya Dokter, saya Fahmi, mertua dari pasien dan suami dari wanita yang tidur ini Dok," sahut Fahmi yang masih mengenakan jaket dan tas ransel di punggungnya tersebut.
"Beliau pingsan Pak. Saya juga tidak tahu penyebabnya. Ketika saya masuk, ibunya terjatuh di sofa begitu saja. Bisa minta tolong temani dulu, saya masih berusaha menyadarkan pasien." titah Dokter Rina cepat.
Fahmi, meletakkan tas ransel yang di sandangnya, dan membuka jaket yang di kenakan nya. Wajah lelahnya sangat terlihat jelas. Kedatangannya dari luar kota tempat dia melakukan perjalanan dinas, khusus untuk menyambut sang cucu yang sudah lama di nantikan nya. Tapi, tidak dia sangka pemandangan menyedihkan lah yang menyambut kedatangannya. Menantunya yang semalam dia tahu sudah siuman, kini pingsan kembali dan di tambah istrinya sepertinya juga ikut pingsan.
"Dok, ini sudah ada perawat jaga yang bisa di mintai tolong untuk membantu jaga pasien." tak lama kemudian Suster Eta datang bersama seorang perawat berseragam senada dengan dirinya.
"Nggak jadi, Sus. Keluarga pasien sudah datang."
Suster Eta mengangguk dan menangkap keberadaan orang lain di sana. Dengan berbisik, kedua perawat nampak berkomunikasi singkat sebelum salah satunya keluar ruangan kembali.
"Pak, tolong jaga keluarganya. Saya mau lanjut visite ke pasien lainnya. Nanti kalau ada keadaan darurat atau setengah jam belum ada yang siuman, tolong pencet tombol darurat di atas tempat tidur pasien ya Pak." titah Dokter Rina sebelum meninggalkan ruangan tempat menantu dan istri Fahmi di rawat.
"Baik, Dokter." jawab Fahmi patuh.
Dengan berbekal ilmu seadanya, Fahmi berusaha membangunkan istrinya. Beruntung ada minyak aroma terapi di tas ranselnya. Laki-laki itu jelas ingin tahu apa yang terjadi pada istri dan menantunya.
"Mmm... " Mata Fahmi mengerjap senang melihat istrinya melenguh lirih.
"Ma. Kamu sudah sadar?" tanya Fahmi antusias dengan tatapan nanar.
Siska hanya diam dengan pandangan kosong. Wanita itu menggigit bibir atasnya untuk menahan tangis yang hampir saja pecah lagi ketika mengingat sesuatu yang sangat di bencinya.
"Pa, Almira bagaimana?" lirih Siska pada akhirnya.
"Masih belum siuman. Dokter sudah memeriksanya. Apa yang terjadi Ma? Kenapa Mama juga pingsan? Apa Mama kecapekan? Maaf Papa harus urus ijin dulu sebelum pesan ticket pulang." berondong Fahmi dengan pertanyaan beruntun.
Tiba-tiba air mata Siska mengalir begitu saja tanpa bisa di cegah. Kejadian yang dia lihat di video itu begitu menyakitkan untuk diingatnya. Bagaimana dengan Almira? Apa yang akan terjadi pada rumah tangga putranya? Baru saja Siska bahagia dengan kesempurnaan rumah tangga Iqbal yang di karuniai seorang bayi tampan. Haruskah ini berakhir dengan sangat cepat?
"Kenapa Ma? Ada apa sebenarnya? Apa terjadi sesuatu pada cucu kita?" tanya Fahmi sudah mulai panik.
"Iqbal Pa. Dia seperti bukan anak kita yang dulu." jawab Siska tanpa tahu harus dari mana dia memulai menceritakan kejadian menyakitkan yang dia lihat tadi pagi-pagi.
"Maksud Mama apa? Oh ya, dari tadi Papa tidak melihat Iqbal di manapun."
"Entahlah Pa. Jangan tanyakan anak itu ada di mana. Sebaiknya Papa gendong dulu cucu kita. Kita sudah punya cucu Pa." ucap Siska dengan raut wajah yang berubah menjadi berbinar cerah.
Wanita itu berusaha melupakan isi video laknat yang dia lihat. Sekarang waktunya bahagia. Terserah apa yang terjadi ke depannya, Siska hanya ingin menikmati momen membahagiakan ini sepenuhnya tanpa mau di ganggu dengan hal apapun.
"Almira, biar Mama yang jaga." Siska beranjak mendekati tempat tidur sang menantu sementara Fahmi meraup tubuh mungil cucunya yang sangat tampan.
Tanpa sepengetahuan Siska, Fahmi menelpon Iqbal yang dia yakin ada hubungannya dengan pingsannya istri dan menantunya.
"Assalamu'alaikum Pa."
"Wa'alaikum salam. Kamu dimana?"
"Ini sudah di loby rumah sakit Pa. Mau jenguk Al dulu, baru ke kantor."
"Hm. Cepat kalau begitu." tanpa mengucapkan salam laki-laki paruh baya itu sudah memutuskan sambungan telepon.
Sementara Fahmi menimang cucunya yang masih betah memejamkan mata, Siska menggenggam erat telapak tangan Almira yang dingin. Mama kandung Iqbal tersebut menatap sendu sang menantu. Dia ingin Almira sadar dengan cepat dan sehat kembali seperti semula, tapi dia juga takut membayangkan apa yang terjadi nanti jika sang menantu mengingat isi video itu.
"Assalamu'alaikum, Pa, Ma." sapa Iqbal begitu memasuki ruangan VIP yang dia sewa untuk istri pertamanya.
"Wa'alaikum salam." sahut Fahmi singkat.
Meskipun belum tahu apapun, raut wajah Fahmi terlihat tegang dan dingin. Di tambah ekor matanya yang melihat istrinya tidak ikut menjawab salam dari Iqbal ataupun menyambut putranya seperti biasanya. Pasti telah terjadi sesuatu di luar sepengetahuannya, tebak Fahmi dalam hati.
"Siapa dia Iqbal?" tanya Fahmi semakin dingin dan menahan amarah yang tiba-tiba muncul tanpa sebab yang jelas.
"Siapa yang mana Pa?" Iqbal tampak bingung mendapatkan pertanyaan yang menurutnya aneh tersebut.
Fahmi tak menjawab dan tetap mendekap cucunya semakin erat. Karena malas berbicara, Fahmi hanya menunjuk belakang tubuh Iqbal dengan dagunya.
Iqbal sontak membalikkan badan dan membelalakkan mata tak percaya. Ternyata Sinta mengikutinya dari belakang.
"Ngapain kamu ikut masuk. Sana! Kamu keluar dan masuk mobil!" sentak Iqbal dengan raut muka panik.
"Siapa dia Iqbal?" ulang Fahmi dengan raut muka mengeras dan suara yang tajam.
"Ee... Se-sekretaris Iqbal Pa." jawab suami Almira gugup. Siska yang masih setia mendampingi Almira di ranjang ikut menoleh karena ada orang lain yang ikut hadir di sana.
"Sekretaris? Kenapa kamu bisa sama dia sementara ini belum ada jam tujuh pagi. Bukankah kantor kamu jam masuknya pukul delapan?"
"Ee... kebetulan mobil dia mogok dan ingin nebeng sama Iqbal Pa." jawab Iqbal spontan dengan cerita bohongnya.
"Jadi sebelum kemari kamu menjemputnya terlebih dahulu?" tanya Fahmi yang sudah mulai curiga dengan gelagat putranya yang terlihat begitu 'akrab' dengan sekretarisnya. Sementara Sinta, tetap diam di tempatnya berdiri tak jauh dari pintu masuk.
"Iya, Pa. Biar sekalian nanti sehabis dari jenguk Almira bisa langsung berangkat bersama ke kantor."
"Rumah dia di mana?" selidik Fahmi lebih lanjut.
"Jalan Juanda, di Mercure Residence, Pa."
"Kamu gila atau apa Iqbal? Istrimu sedang dalam kondisi kritis sebelum operasi caesar semalam dan kamu masih sempat jemput sekretaris kamu di Mercure Residence ? Kamu nggak sadar bahwa letak perumahan itu jauh lebih dekat dengan kantor kamu? Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan!?" teriak Fahmi tertahan.
Mata laki-laki itu nyalang menatap Iqbal dan perempuan di belakang anaknya secara bergantian. Terlepas apa yang di lakukan Iqbal ini ada kaitannya dengan pingsannya istrinya atau tidak, yang jelas Fahmi tahu ada yang di sembunyikan Iqbal di belakang mereka. Fahmi juga seorang laki-laki yang tentu saja lebih mudah membaca gestur kedua orang yang pagi-pagi sudah berhasil membuatnya naik darah.
Sementara Iqbal sudah deg-degan tidak karuan begitu menyadari kesalahannya apalagi Sinta ikut masuk ke rumah sakit tanpa sepengetahuan dirinya. Karena terlalu tergesa-gesa dia berjalan cepat bahkan hampir berlari menuju ruangan istrinya. Papanya menelpon, tentu dia takut terjadi apa-apa dengan istrinya. Tapi, sekarang bukan Almira yang jadi kekhawatirannya tetapi tatapan menghunus Papanya mengindikasikan akan terjadi sesuatu yang besar setelah ini.