bagaimana jadinya jika seorang gadis desa yang sering dirundung oleh teman sekolahnya memilih untuk mengakhiri hidup? Namun, siapa sangka dari kejadian itu hidupnya berubah drastis hingga bisa membalaskan sakit hatinya kepada semua orang yang dulu melukainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mas Bri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Setelah bertemu dengan Ayu, Juan pergi menuju club malam dengan membawa motor kesayangannya. Vano sudah mengingatkannya berkali-kali kalau sampai kakaknya tahu, bisa habis dia. Tetapi peringatan itu tidak diindahkannya. Dia tetap pergi ke club menemui teman lamanya.
Sesampainya disana, laki-laki bermata biru itu langsung masuk menuju ruang yang sudah dipesan temannya sebelumnya. Begitu pintu terbuka, terlihat ada banyak wanita dan laki-laki yang sedang bercumbu meski mereka bukan pasangan.
“Hei, Bro. Apa kabarnya,” sapa salah satu temannya.
Juan hanya diam tidak berekspresi. Tujuannya ke sini hanya satu yaitu mengajak temannya untuk meminta maaf kepada seseorang yang pernah disakitinya dulu.
“Lama nggak ketemu makin tampan aja,” ucap Cika. Gadis yang pernah merundung Ayu dan menyiramnya dengan air comberan dulu.
“Kita minum dulu, Kawan. Ini pertama kalinya kita bermain bersama sejak kamu kembali dari luar negeri,” sambung Riko.
Tetapi Juan tetap diam, dia sedang tidak ingin bercanda dengan siapa saja. Setelah menemukan tempat duduk yang nyaman, barulah dia mengutarakan maksud kedatangannya kemari. Bukan dirinya yang memesan tempat ini melainkan dia diundang oleh temannya untuk reunian.
“Aku tidak akan lama karena masih ada urusan setelah ini. Aku cuma minta sama kalian menemui Ayu yang dulu pernah kalian sakiti untuk meminta maaf.”
“Ayu? Ayu yang mana? Banyak yang namanya Ayu di sini,” ujar Cika dan Riko bersamaan.
“Pikir saja sendiri. Tapi satu yang pasti kalau sampai kalian tidak mau minta maaf, jangan salahkan aku untuk berbuat lebih,” lanjut Juan dengan raut wajah yang sulit diartikan. Tatapannya begitu mengintimidasi setiap lawan bicaranya.
Teman-temannya pun bergidik ngeri melihatnya. Baru kali ini anak konglomerat itu terlihat begitu menyeramkan dari biasanya. Sorot matanya yang tajam seakan dapat membunuh hanya dengan tatapannya saja.
“Akan kami pikirkan lagi,” balas Riko. Dia enggan untuk meminta maaf apalagi itu kejadian yang sudah lama berlalu. Laki-laki playboy satu ini begitu anti dengan kata maaf. Dalam hidupnya bisa dihitung berapa kali dirinya mengucapkan kata sakral setiap kali dirinya berbuat salah kepada orang tuanya. Ingat! Hanya orang tuanya saja, tidak dengan orang lain.
Mendengar jawaban temannya yang tidak enak, Juan langsung pergi tanpa pamit. Ancaman yang dia ucapkan tadi bukanlah isapan jempol saja. Dia akan menunggu teman-temannya untuk meminta maaf kepada gadis yang sepertinya mulai mengusik ketenangan hatinya. Jika mereka tidak mengindahkan ucapannya, maka dia akan bertindak di luar batas kesabarannya.
Suara nyaring dari knalpot terdengar mulai menjauh. Laki-laki tampan yang sedang kesal melaju menuju apartemen pribadinya. Sudah tiga hari ini dia tinggal sendiri di apart yang dibeli beberapa waktu lalu. Dengan begini dia bisa leluasa untuk pulang malam.
Beberapa menit berlalu, motor mewah itu memasuki basement apart elite. Kakinya melangkah menaiki lift menuju tempatnya.
Setelah pintu terbuka, terlihat interior modern dengan warna serba abu-abu dan putih mendominasi seluruh ruangan. Seluruh perabot juga terlihat masih baru. Sepertinya Juan kali ini benar-benar ingin hidup sendiri.
.
.
.
Pagi-pagi William dikejutkan dengan kedatangan kedua orang tuanya ke rumah. Mereka sudah duduk manis di meja makan menunggu anak sulungnya untuk makan bersama.
“Papa? Mama?” cicit William begitu sampai di bawah. “Untuk apa ke sini?” lanjutnya.
“Orang tua main ke rumah anak sendiri kok pake nanya. Memangnya kita ini nggak boleh main ke sini?” balas Tuan Issac.
“Iya, kamu ini ada orang tua main ke rumah anak sendiri kok gak boleh. Memangnya di rumah kamu ini ada harta karunnya?” timpal Maya.
“Bukan gitu, Ma. Ini masih pagi sekali, tumben aja sudah mau ke kantor.”
William duduk di samping Issac menduduki kursi kedua sebagaimana peraturan di rumah utamanya. Ayu, gadis cantik itu menuangkan air minum sebelum mereka memulai makan.
“Ayu, kita makan bersama, ya? Kebetulan ada yang sekalian mau di bicarakan,” ujar Maya dengan wajah berbinar. Sedangkan sang anak sulungnya menatap penuh curiga.
“Nanti saja, Nyonya. Saya masih ada pekerjaan di belakang,” balasnya sopan. Ayu tidak mau mengganggu acara keluarga majikannya.
Wanita paruh baya itu pun berdiri menghampiri pelayan cantiknya mengajak duduk dengan mereka. “Tidak usah sungkan, kamu sudah seperti anak sendiri di rumah ini.”
“Ma, ada apa, sih?” tanya William terlihat tidak suka. Apalagi jika itu menyangkut pelayannya yang sangat dia jaga.
“Begini, Ayu. Hari ini ada orang yang ingin bertemu sama kamu. Dia sangat tampan dan cukup sukses, selain itu dia orang yang sangat baik. Dia anak dari teman di kantor. Rencananya kami ingin mengajak kamu pergi bersama untuk saling mengenal, siapa tahu kalian cocok,” ujar Maya menjelaskan maksud kedatangannya pagi ini.
William semakin geram dengan kedua orang tuanya yang suka mengatur hidup orang lain. “Pa, biarkan dia mencari pilihannya sendiri. Kalau seperti ini sama saja dengan pemaksaan.”
Mereka seakan tak mendengarkan anaknya bicara, seolah-olah laki-laki tampan itu tidak terlihat.
Gadis itu nampak bingung. Dia ingin sekali menolak usulan majikannya karena hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Lagi pula sudah tidak ada lagi laki-laki yang bisa menggetarkan hatinya seperti dulu. Kini yang tersisa hanya ruang hampa tanpa satu nama pun di sana. Tetapi dia tidak bisa menolak secara terang-terangan, dirinya tidak ingin membuat kedua majikannya kecewa dengan jawabannya.
“Kalau memang itu yang terbaik menurut Nyonya, saya ikut saja,” balas gadis cantik dengan sopan.