Jing an, seorang penulis yang gagal, secara ajaib terlahir kembali sebagai Luo Chen, Tuan Muda lugu di dalam novel xianxia klise yang ia benci. Berbekal 'Main Villain System' yang bejat dan pengetahuan akan alur cerita, misinya sederhana... hancurkan protagonis asli. Ia akan merebut semua haremnya yang semok, mencuri setiap takdir keberuntungannya, dan mengubah kisah heroik sang pahlawan menjadi sebuah lelucon tragis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Memperkuat kekuasaan
Aku membuka kunci pintu kayu yang berat itu.
KREEEK...
Saat pintu terbuka, aku disambut oleh pemandangan yang sudah kuduga. Koridor di luar kamarku penuh. Ayahku, Luo Tian, berdiri tepat di depan, wajahnya pucat dan lesu. Di belakangnya, setidaknya ada lima tetua klan, termasuk Tetua Ketiga yang menjaga paviliun. Mereka semua terlihat seperti baru saja begadang semalaman di pemakaman.
Begitu mereka melihatku, mereka semua tersentak mundur satu langkah secara naluriah.
Aku berdiri di ambang pintu, mengenakan jubah sutra hitamku yang bersih, rambutku masih sedikit lembap karena baru saja kubasuh. Aku pasti terlihat sangat kontras dengan gambaran monster berlumuran darah yang mungkin mereka bayangkan.
"Chen'er..." Ayahku adalah yang pertama angkat bicara, suaranya serak. Matanya melirik gugup ke dalam kegelapan kamarku di belakangku, jelas mencari-cari sesuatu.
"Kau... semalaman... apa... apa yang telah kau lakukan?"
"Tentu saja aku tidur," kataku datar. "Apa lagi?"
"Luo Chen!" Seorang tetua berjanggut putih di belakang ayahku... Tetua Pertama, yang paling konservatif... melangkah maju, wajahnya merah padam karena marah dan takut.
"Hentikan omong kosong ini! Kau telah membawa bencana bagi kita! Kau mempermalukan Klan Xiao di depan umum! Mereka pasti sedang mengumpulkan pasukan mereka saat kita bicara! Kau telah menghancurkan Klan Luo!"
Para tetua lainnya mulai bergumam setuju, kepanikan mereka mulai mengalahkan rasa takut mereka padaku.
'Bencana? Menghancurkan?' Aku hampir tertawa. 'Orang-orang tua ini. Mereka hanya bisa melihat satu langkah ke depan. Mereka melihat perang. Aku melihat... kepatuhan.'
Aku tidak membuang energiku untuk berdebat. Aku hanya membiarkan 'Villain's Aura' Level 2 ku yang kini diperkuat oleh Master's Gaze mengalir keluar.
Aura dingin yang pekat, yang membawa sedikit jejak Demonic Qi dan niat membunuh yang murni, menyapu koridor.
Para tetua yang tadinya berisik itu langsung terdiam. Seolah-olah seseorang telah mencekik leher mereka. Tetua Pertama, yang tadinya marah, kini mundur selangkah, matanya terbelalak ngeri saat merasakan tekanan auraku.
"Klan Xiao," kataku dengan suara dingin yang membelah keheningan yang tegang. "Tidak akan melakukan apa-apa."
"Omong kosong!" bentak Tetua Pertama, meskipun suaranya kini bergetar. "Xiao Zhan tidak akan pernah membiarkan ini..."
"Dia tidak punya pilihan lain."
Perkataanku terucap tepat saat sebuah suara lembut terdengar dari belakangku. Suara pintu kamar mandi yang terbuka.
Semua orang di koridor... ayahku dan para tetua langsung membeku. Tatapan mereka beralih dari wajahku ke sosok yang baru saja keluar dari kamarku.
Dan rahang mereka jatuh.
Xiao Linyu berdiri di sana, di bawah cahaya lentera koridor. Tubuhnya bersih, rambut hitamnya yang panjang masih basah dan tergerai di punggungnya.
Tapi dia mengenakan gaun pelayan.
Gaun linen abu-abu yang kasar, kebesaran, dan sama sekali tidak berbentuk. Pakaian yang biasa dipakai oleh pelayan cuci tingkat terendah di kediaman.
Sang Phoenix dari Floating Cloud City. Sang jenius Foundation Establishment. Calon dewi dari sekte besar. Berdiri di sana, mengenakan kain karung yang memalukan.
Saat dia melihat para tetua Klan Luo menatapnya, tubuhnya tersentak hebat karena malu. Dia buru-buru menundukkan kepalanya dalam-dalam, menatap jari-jari kakinya yang telanjang di lantai yang dingin, tubuhnya gemetar tak terkendali. Dia tidak berani menatap mereka.
Keheningan di koridor kini menjadi begitu pekat hingga terasa memuakkan. Ayahku menatap Xiao Linyu, lalu menatapku, lalu kembali ke Xiao Linyu. Wajahnya menunjukkan kengerian dan pemahaman yang baru.
Dia akhirnya mengerti. Ini bukan lagi soal perang antar klan. Ini adalah penaklukan total.
Aku berbalik, mengabaikan para tetua yang membatu itu. Aku menatap budak baruku.
"Aku akan sarapan di kamarku," kataku, suaraku terdengar normal. "Kau. Ikut."
Aku berjalan kembali ke dalam kamar, membiarkan pintu tetap terbuka.
Tanpa mengangkat kepalanya, tanpa sepatah kata pun, Xiao Linyu berjalan melewatinya, melewati ayahku dan para tetua yang menatapnya ngeri. Dia berjalan seperti mayat hidup, masuk ke dalam kamarku... kamar tuannya dan dengan patuh menutup pintu di belakangnya, meninggalkan para pemimpin Klan Luo sendirian di koridor dengan kehancuran mental mereka.
Pintu kamar Luo Chen tertutup dengan suara klik yang pelan, meninggalkan para pemimpin Klan Luo. Patriarch dan para Tetua membeku di koridor yang sunyi.
Mereka menatap pintu kayu yang tertutup itu dengan ngeri. Pemandangan yang baru saja mereka saksikan telah membakar dirinya ke dalam benak mereka. Sang Phoenix dari Klan Xiao, jenius Foundation Establishment, mengenakan pakaian pelayan yang kasar, berdiri dengan kepala tertunduk di belakang Tuan Muda mereka.
Tetua Pertama, yang tadinya paling vokal, kini gemetar.
"Dia... dia... monster," bisiknya, suaranya serak karena takut. "Dia memelihara iblis di dalam rumah kita! Ini bencana!"
"Diam," kata Luo Tian.
Suara Patriarch Klan Luo itu pelan, tapi memiliki ketegasan baru yang mengejutkan para tetua lainnya.
Luo Tian menoleh, menatap Tetua Pertama dengan mata yang tidak lagi panik, melainkan dingin dan penuh perhitungan.
"Bencana? Apakah kau buta?"
"Patriarch...?"
"Klan Xiao," lanjut Luo Tian, seolah menjelaskan kepada anak kecil. "Telah kehilangan pewaris mereka. Mereka telah dipermalukan secara total di depan seluruh kota. Dan yang paling penting... pewaris mereka kini ada di tangan kita. Di tangan putraku."
Dia menatap pintu yang tertutup itu, campuran antara ketakutan dan kekaguman yang aneh di matanya.
"Luo Chen benar. Xiao Zhan tidak akan berani menyerang. Dia tidak akan mengambil risiko putrinya dieksekusi oleh kontrak budak itu. Perang sudah berakhir... sebelum sempat dimulai. Kita... kita menang."
Para tetua mencerna kata-kata itu. Mereka datang mengharapkan kehancuran, tetapi mereka disajikan dengan kemenangan total yang brutal.
Luo Tian menegakkan punggungnya. Kepanikan telah hilang, digantikan oleh otoritas seorang pemimpin yang baru saja menyadari betapa kuatnya senjata yang dia miliki.
"Kalian semua," perintahnya kepada para tetua. "Kembali ke pos kalian. Gandakan keamanan di perbatasan wilayah kita. Beri tahu semua orang bahwa Turnamen telah selesai dan Klan Luo adalah pemenangnya."
Dia lalu menoleh ke seorang pelayan yang bersembunyi ketakutan di ujung koridor.
"Kau! Panggil pelayan dapur. Siapkan sarapan terbaik. Anggur Roh berusia seratus tahun, daging Fire-Lion panggang, dan sup Spirit Ginseng. Antarkan ke kamar Tuan Muda. Segera!"
"Dan..." Luo Tian berhenti sejenak. "Pastikan pelayan yang mengantar memiliki mulut yang tertutup rapat."
Para tetua, yang beberapa menit lalu siap untuk memberontak, kini hanya bisa menundukkan kepala mereka.
"Baik, Patriarch."
Mereka bubar dengan tergesa-gesa, meninggalkan Luo Tian sendirian di depan pintu kamar putranya. Dia menatap pintu itu lama, lalu menghela napas panjang. Klan Luo telah berubah selamanya.
Aku duduk di meja di kamarku. Suasananya sunyi. Di seberang ruangan, Xiao Linyu berdiri di dekat dinding, diam seperti patung. Dia menolak untuk duduk, menolak untuk bergerak, kepalanya menunduk, rambutnya yang basah menutupi wajahnya. Dia mungkin berharap jika dia diam, aku akan melupakannya.
Aku mengabaikannya untuk saat ini.
'Sistem,' kataku dalam benakku. 'Tunjukkan skill yang baru kudapat.'
[Ding! Menampilkan Skill Pasif Baru:]
[Nama Skill: [Master's Gaze] (Pasif, Lv. 1)]
[Deskripsi: Tatapan Tuan Rumah kini secara alami membawa sedikit tekanan spiritual dari kontrak budak dan aura iblismu.]
[Efek: Membuat bawahan, budak, dan orang dengan kemauan lemah merasa terintimidasi secara naluriah dan lebih cenderung untuk patuh.]
'Bagus. Sangat efisien. Menghemat energiku untuk memaksanya.'
Tepat saat aku selesai membaca, terdengar ketukan pelan di pintu.
"Tuan Muda... sarapan Anda sudah siap," suara seorang pelayan muda terdengar dari luar, nadanya penuh ketakutan.
"Masuk," kataku datar.
Pintu terbuka. Seorang pelayan wanita muda, mungkin baru berusia enam belas tahun, mendorong troli perak yang penuh dengan makanan mewah. Dia gemetar hebat, tidak berani menatapku. Dia buru-buru mulai menata piring-piring mahal di atasku.
Lalu, dia melihatnya.
Di sudut ruangan, dia melihat sosok yang mengenakan gaun pelayan abu-abu. Dia mengenali wajah itu. Seluruh kota mengenali wajah itu.
CLANG!
Sendok perak yang dipegang pelayan itu jatuh dari tangannya yang gemetar, berdentang keras di lantai.
Matanya terbelalak ngeri. Dia menatap Xiao Linyu, lalu menatapku, lalu kembali ke Xiao Linyu. Dia membekap mulutnya dengan kedua tangan untuk menahan jeritan. Seorang dewi... mengenakan pakaian yang sama dengannya?
"Kau menjatuhkan sesuatu," kataku dingin, suaraku memecah keheningan.
"Ma... Maafkan saya, Tuan Muda! Maafkan saya!" Pelayan itu berebut memungut sendok itu, air matanya mulai menggenang karena takut.
Aku mengabaikannya. Aku menoleh ke sosok yang membatu di dekat dinding.
"Apa yang kau lakukan berdiri di sana seperti patung?" kataku, suaraku tidak meninggi. "Kau adalah pelayanku. Sajikan sarapanku."
Perintah itu adalah tamparan lain bagi mereka berdua. Si pelayan muda membeku, ngeri.
Xiao Linyu tersentak, seolah baru saja dicambuk. Ini adalah pertama kalinya dia diperintahkan untuk melakukan tugas pelayan... di depan pelayan lain. Penghinaan itu terasa begitu pekat.
Dia tidak bergerak, tubuhnya kaku karena perlawanan.
Aku bahkan tidak perlu menggunakan segel. Aku hanya menatapnya. Tatapan [Master's Gaze]-ku yang baru, dingin dan tanpa emosi, menguncinya.
Di bawah tatapanku, perlawanannya hancur. Dia tahu apa yang akan terjadi jika dia menolak.
"...Ya... Tuan."
Kata-kata itu keluar seperti racun dari bibirnya.
Dengan langkah yang kaku dan mati, dia berjalan ke troli. Si pelayan muda buru-buru menyingkir, seolah takut menyentuhnya.
Tangan Xiao Linyu tangan yang sama yang telah mematahkan es dan menghancurkan penantang kini gemetar hebat saat mencoba mengambil teko teh porselen.
Dia menuangkan teh ke cangkirku. Bunyi porselen yang beradu karena tangannya yang gemetar terdengar sangat keras. Dia meletakkan piring-piring di depanku.
"Pergi," kataku pada pelayan muda yang ketakutan itu.
Dia tidak perlu disuruh dua kali. Dia membungkuk begitu dalam hingga nyaris jatuh dan berlari keluar ruangan, menutup pintu di belakangnya.
Sekarang, hanya kami berdua lagi.
Aku melihat makanan yang disajikan dengan indah. Aku mengambil sumpitku. Xiao Linyu berdiri di samping meja, menunduk, gemetar, air mata kehinaan kembali mengalir tanpa suara di pipinya.
"Aku tidak menyuruhmu berdiri," kataku datar sambil mengambil sepotong daging.
Dia tersentak.
"Berlutut di samping kursiku selagi aku makan. Dan jangan biarkan air matamu menetes di dekat makananku. Itu merusak selera."