Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Cara Menjaga Yang Berbeda
Alma yang tengah fokus pada pekerjaan dikejutkan dengan kedatangan salah seorang staff kebersihan yang membawa makanan.
"Kata Abang kurir ini dari calon mertua Bu Alma."
Mata Alma pun melebar. Dia segera berdiri dan meraih paper bag yang dibawa staff tersebut. Tak lupa kata terimakasih pun terucap.
Ditatapnya paper bag tersebut. Ketika dibuka, ada tiga kotak makan di dalamnya yang berisi makanan sehat. Namun, Alma tak berani menyentuhnya. Segera diambil ponsel dan menghubungi seseorang.
Getaran ponsel di tengah rapat membuat Anggasta mengalihkan kefokusan. Diangkat tangannya menandakan rapat dijeda untuk sementara. Pandangan para anggota rapat mulai tertuju pada sang direktur yang sudah menjawab panggilan telepon. Tidak biasanya dia akan menerima panggilan telepon di tengah meeting.
"Jangan dulu dimakan. Aku konfirmasi dulu ke Mama."
Mereka sudah saling senyum karena sudah pasti yang menelepon pemimpin tampan itu adalah sang calon tunangan. Bulan hanya bisa terdiam dengan mata yang terus menatap Anggasta.
"Apa Mama ngirim makan siang untuk calon tunangan Gagas?"
Benar dugaan mereka. Panggilan masuk sebelumnya dari perempuan yang sangat beruntung karena bisa bertunangan dengan Anggasta. Setelah mendapat jawaban, kembali lelaki itu menghubungi seseorang.
"Makan siangnya benar dari Mama."
...
"Jangan kelewat makan siangnya dan harus habis."
Mereka yang mendengar sudah mengulum senyum. Mereka jadi saksi kebucinan sang direktur kepada perempuan yang masih disembunyikan identitasnya. Begitu manis.
Ketika semua anggota meeting sudah keluar, di ruangan itu hanya menyisakan Bulan dan Anggasta.
"Beruntung banget cewek yang akan tunangan sama lu."
Kalimat Bulan membuat Anggasta menoleh. Ditatapnya wajah Bulan yang terlihat sendu.
"Bukan dia yang beruntung, tapi gua-lah yang beruntung."
Jleb!
Jawaban yang membuat Bulan semakin terbungkam. Dan Anggasta memilih untuk pergi dari sana meninggalkan Bulan dengan segala pikirannya.
"Lu benar-benar udah lupain gua, Fi."
✨
Menikmati makan siang dengan mata yang nanar. Akhirnya, ada yang membuatkannya bekal makanan setelah enam belas tahun tak pernah dibawakan bekal.
"Enak," gumamnya dengan air mata yang sudah menganak.
Alma sering merasa iri kepada teman-teman sekolahnya karena selalu dibawakan bekal oleh ibunya. Sedangkan dirinya hanya diberi uang saku yang cukup untuk mentraktir satu kelas. Nominalnya besar, tapi tak berarti apa-apa dibandingkan dengan bekal masakan ibunda tercinta. Setelah enam belas tahun berlalu, dia baru merasakan yang namanya dibawakan bekal.
Panggilan masuk segera dia jawab. Ya, Anggasta yang menghubunginya. Berbicara sambil berlinang air mata.
"Ini aku lagi makan."
Bahagia bercampur sedih, itulah yang Alma rasakan Hingga suara pintu terbuka membuat atensinya berpaling dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Lelaki yang sudah membuka topi, dan menyisakan masker untuk menutupi sebagian wajah sudah berjalan ke arahnya.
Anggasta mulai membuka masker dan menyeka air mata yang sudah membasahi wajah Alma.
"Kok makannya sambil nangis?" Tak ada jawaban apapun dari Alma. Perempuan itu hanya bisa menatap wajah lelaki di depannya.
"Tidak semua hal bisa dipendam. Ada kalanya harus diungkapkan supaya enggak menjadi beban."
Sebuah pelukan dirasakan. Begitu hangat dan melindungi. Dan Isak tangis lirih pun mulai terdengar.
"Kalau enggak mau cerita enggak apa-apa." Usapan lembut di belakang kepala membuat Alma melingkarkan tangannya di pinggang Anggasta. Memeluknya begitu erat.
"Akhirnya aku merasakan bagaimana dibawakan bekal makanan oleh seorang ibu." Perih sekali hati Anggasta mendengarnya.
Anggasta mengurai pelukan. Menatap manik mata basah yang penuh kesenduan. Perlahan bibirnya mengecup kelopak mata Alma satu per satu dengan penuh kelembutan.
"Jangan dipikul sendiri jika enggak mampu. Ada aku yang akan membantu."
Alma tersenyum dan kembali memeluk tubuh Anggasta. Bibir lelaki itupun melengkung dengan sempurna. Meskipun begitu lamban, Alma mulai mau sedikit bercerita.
"Kamu udah makan?"
"Bentar lagi juga datang," jawabnya sambil menyuapi Alma bagai anak kecil.
Belum kering ucapan Anggasta, pintu ruangan sudah terbuka . Dan tatapan tajam orang yang baru saja datang.
"Enak banget lu, Selir! Gua yang disuruh beli makanan lu yang disuapin."
Alma tak menggubris. Malah bersikap manja kepada Anggasta. Bibir Anggasta pun melengkung dengan sempurna melihat sikap Alma seperti ini. Semenjak putus dengan Haidar, sikap Alma sangat berubah. Ditambah sakit yang perempuan itu sembunyikan.
"Sekarang gantian. Istri tua yang disuapin." Kotak makanan berisi ayam bakar Jeno berikan kepada Anggasta.
"Enggak boleh!" Alma mulai merangkul lengan Anggasta sambil menatap tajam ke arah Jeno. Jika, sudah bertemu Jeno pasti akan ada pertikaian perihal perebutan Anggasta.
"Udah, kamu makan dulu, ya." Begitu lembut kalimat Anggasta hingga membuat Alma menjadi anak kucing yang lucu.
Jeno yang melihat langsung adegan manis melengkungkan senyum. Tatapan sahabatnya dan Alma bukan seperti empat tahun lalu. Sekarang, begitu dalam walaupun masih mengikuti alur Tuhan.
Canda tawa pun tercipta di antara mereka bertiga. Tanpa Alma sadari tangannya sedari tadi merangkul lengan Anggasta. Bahkan tak segan meletakkan kepalanya di bahu lebar sang lelaki.
"Aku balik ke kantor, ya." Alma pun mengangguk. Sebuah kecupan di kening membuat bibir Alma terangkat.
"Makasih, ya."
"Untuk apa?" tanya Anggasta.
"Untuk siang ini."
Tangan Alma ditarik dengan lembut hingga terjatuh di dalam dekapan Anggasta.
"Jangan nangis sendirian lagi karena ada aku yang ingin mendengar tangisanmu."
Alma tersenyum seraya memundurkan tubuhnya. Menatap dalam wajah teduh sang calon tunangan. Tangan Anggasta mulai menyentuh dagu Alma. Jantung perempuan itu mulai berdetak tak karuhan. Tubuhnya menegang ketika kecupan singkat Anggasta berikan.
"Sebagai hukuman karena sudah menangis sendirian."
Wajah Alma pun merengut. Tangannya memukul dada Anggasta hingga lelaki itu tertawa. Dan kembali tubuh Alma dipeluk dengan erat.
"Aku akan selalu ada di samping kamu dan menjaga kamu semampu aku." Alma mengangguk dengan tangan yang melingkar cukup erat.
"Terusin aja terus adegan dewasanya!!" omel Jeno yang ternyata masih ada di ruangan Alma. Menyaksikan adegan manis yang dilakukan dua insan tersebut.
Lelaki tinggi itupun mulai menghampiri Anggasta dan Alma. "Lu nyium bibir si Selir berarti harus nyium bibir istri tua juga." Anggasta langsung mendorong tubuh Jeno hingga mundur beberapa langkah. Sedangkan Alma malah tertawa.
"Kalau gitu biar si Selir aja yang cium gua." Alma terkejut begitu juga dengan Anggasta.
"GUA BUNUH LU, JENO!!"
Sang sahabat pun tertawa melihat wajah Anggasta yang penuh dengan kemurkaan. Beda halnya dengan Anggasta yang masih menatap tajam Jeno karena sungguh tak suka mendengar ucapan yang sahabatnya lontarkan.
"Selama gua berteman dengan lu. Baru kali ini gua liat lu marah sampe keliatan urat-uratnya. Dan gua sangat yakin kalau lu udah cinta sama Alma. Cara ngejaga lu itu sangat beda."
...**** Bersambung ****...
Hayu atuh dikomen. Jangan kayak kuburan 🤧
jadi...mulai sekarang tenangkan hatimu Al .... sembuhlah....dan berbahagialah ....
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
mewek
lnjut trus Thor
semangat