"Kenapa kau menciumku?" pekik Liora panik, apalagi ini adalah ciuman pertamanya.
"Kau yang menggodaku duluan!" balas Daichi menyeringai sembari menunjukkan foto Liora yang seksi dan pesan-pesan menggatal.
Liora mengumpat dalam hati, awalnya dia diminta oleh sahabatnya untuk menggoda calon pacarnya. Tapi siapa sangka Elvara malah salah memberikan nomor kakaknya sendiri. Yang selama ini katanya kalem dan pemalu tapi ternyata adalah cowok brengsek dan psikopat.
Hingga suatu saat tanpa sengaja Liora memergoki Daichi membunuh orang, diapun terjerat oleh lelaki tersebut yang ternyata adalah seorang Mafia.
Visual cek di Instagram Masatha2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Masatha., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Daichi rebahan di sisi ranjang, menghadap Liora yang terlelap di bawah cahaya redup lampu kamar. Hela napas gadis itu tenang, teratur—kontras dengan gejolak di dadanya yang berdenyut seperti genderang perang.
Ia tahu tentang makan malam itu. Tentang rencana perjodohan antara Liora dan Mada. Tentang tatapan orang tua mereka yang menilai seolah hidup dua anak muda itu hanya bagian dari transaksi besar keluarga. Tapi Daichi tidak marah. Ia sudah tahu segalanya bahkan sebelum Liora sadar. Penyadap kecil di ponselnya bekerja sempurna—dan dari sana ia mendengar dengan jelas bagaimana Liora menolak tegas.
Dan untungnya saat itu Mada tahu diri, jika tidak—Daichi sudah berniat untuk menghajar Mada hingga lelaki itu tak bisa bicara lagi.
Senyum tipis muncul di bibirnya kala mengingatnya.
“Gadis keras kepala,” gumamnya, hampir tak terdengar. “Tapi kamu milikku.”
Ia tahu kata “milikku” bukan sesuatu yang pantas diucapkan. Tapi di kepala Daichi, rasa cinta dan rasa memiliki tak pernah benar-benar terpisah. Ia mencintai Liora bukan hanya karena kecantikannya, tapi karena ada sesuatu yang belum pernah ia pahami dari gadis itu—sesuatu yang bisa menenangkan dan sekaligus menghancurkan dirinya.
Ia meraih selimut dan menariknya lebih tinggi, menutupi bahu Liora. Tatapan matanya melembut, meski di balik itu ada bara halus yang belum padam.
Liora mengerang pelan dalam tidurnya, mungkin bermimpi. Wajahnya tampak lelah, tapi damai. Daichi menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Ia hanya menatap, menyerap setiap detail: garis rahang halus, bulu mata yang bergetar, dan helai rambut yang jatuh menutupi pipi.
Tangannya terulur pelan, tak menyentuh, hanya berhenti di udara, beberapa senti dari pipi Liora. Ia ingin mengusap wajah itu, tapi menahan diri.
Tidak malam ini. Ia tidak ingin merusak kedamaian yang jarang Liora miliki.
Sebagai gantinya, ia berbisik pelan, hampir tak terdengar.
“Tidurlah tenang, Liora. Aku di sini. Selalu akan di sini.”
Matanya menatap lekat, seolah ingin menanamkan janji itu ke dalam mimpi gadis itu. Dalam bayangan gelap pikirannya, Daichi tahu: cinta seperti ini bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Dan ia tidak tahu yang mana yang akan datang lebih dulu.
Ketika Liora bergerak sedikit dalam tidur, mengerutkan kening seperti merasakan sesuatu, Daichi menarik napas panjang. Ada rasa bersalah di dadanya, tapi juga kepuasan aneh—karena hanya di saat seperti ini, Liora terlihat begitu dekat, begitu nyata, dan begitu miliknya.
Hingga tiba-tiba Liora merubah posisi tidurnya, menjadi terlentang. Bahkan kakinya menendang selimut hingga kini lekuk tubuhnya terekspos.
Sial, Babe. Kau yang menggodaku duluan.
Daichi menarik beberapa helai rambut Liora, lalu mengecupnya. Aroma wangi sampo membuatnya merasa mabuk.
Daichi melakukan kepalanya, sampai bibirnya mendekati puncak kepala Liora.
"Hm—Daichi bajing4n," gumam Liora dalam tidurnya.
Daichi terkejut, lalu terkekeh geli.
"Nakal, bahkan dalam mimpi masih bisa mengumpatku."
Saat terjaga Liora nampak ganas, tapi ketika tidur nyenyak begitu imut sehingga membuat Daichi tidak tahan.
Secara perlahan, Daichi mulai menyentuhkan hidungnya ke hidung Liora. Karena tak ada reaksi dia mulai mencium bibir gadis tersebut secara perlahan.
*
Pagi ini Liora tidak ada jadwal kelas, tapi Liora terbangun lebih awal. Perutnya lapar, kepala sedikit berat. Ia menatap sisi ranjangnya yang kosong—dingin.
Daichi sudah pergi.
Syukurlah.
“Setidaknya dia cukup pintar, ” gumamnya lirih sambil menghela napas panjang. Lelaki itu memang gila, tapi masih bisa diajak bicara. Masih tahu kapan harus pergi sebelum segalanya terlalu jauh.
Liora hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Rambutnya diikat asal, kaus tidurnya masih kusut. Ia tak peduli. Yang penting kopi.
Begitu menuruni tangga, aroma roti panggang menyambutnya. Di ruang makan sudah duduk Yudistira dengan koran di tangan, dan Nayshila—dengan ekspresi yang seperti biasa, penuh penilaian.
“Pagi,” sapa Liora datar. Hanya menatap papanya. Sementara Nayshila dia anggap seperti hantu yang tak berwujud.
Yudistira menurunkan koran dan tersenyum hangat. “Pagi, Sayang. Duduk, Papa sudah menyuruh ART buatkan sarapan kesukaan kamu.”
Belum sempat ia menarik kursi, suara Nayshila memotong lembut tapi dingin, “Liora, lehermu kenapa?”
Nada itu seperti pisau kecil—tajam dan disengaja. Liora spontan meraba lehernya. Ada rasa hangat di sana. Ia meraih ponsel, membuka kamera depan… dan mendadak jantungnya berdegup keras. Di kulitnya, samar tapi jelas, ada bekas kemerahan.
“Dasar Daichi…” gumamnya kesal di dalam hati.
"Liora, sebagai gadis kamu harus jaga diri. Jangan sampai main-main dengan lelaki sembarangan," ucap Nayshila berniat memprovokasi.
Namun sebelum sempat berpikir, Yudistira sudah berbicara, suaranya datar tapi tegas.
“Sudahlah, Nayshila. Anak muda wajar kalau dekat dengan seseorang. Selama tahu batas dan tanggung jawab, Papa percaya pada Liora.
“Kamu malah membela? Semalam saat pulang bersama Masa belum ada bekas itu, pasti semalam ada lelaki liat yang masuk ke kamar Liora lagi."
“Cukup.”
Nada Yudistira memotong tajam. Ia menatap Nayshila dengan pandangan yang membuat ruangan seketika hening.
“Kau terlalu banyak berasumsi. Dan aku yakin Liora tahu apa yang dia lakukan.”
Nayshila terdiam, bibirnya menegang. Liora yang sejak tadi menahan senyum akhirnya tak bisa lagi menahan diri. Ia menyeringai kecil, menatap ibu tirinya dengan tatapan penuh tantangan, lalu menjulurkan lidah sekilas—nakal, tapi sinis.
Yudistira tidak melihat, tapi Nayshila tahu. Wajahnya memucat karena marah, tapi ia hanya menggenggam sendok erat-erat, menahan diri.
Liora sangat puas melihat wajah masam Nayshila yang kalah telak, membuat nafsu makannya menjadi baik.
"Pa, tolong ambilkan lauk itu," rengek Liora sengaja menunjuk makanan kesukaan Nayshila.
"Tentu saja," jawab Yudistira sembari mengambilkan makanan milik Liora.
"Pa, seminggu lagi ada acara ulang tahun kakek. Papa mau memberi hadiah apa?" sela Liora.
"Papa sudah menyiapkan, kalau kamu bagaimana?" tanya Yudistira balik.
"Aku juga sudah menyiapkan hadiah, aku meminta mama untuk membelikan lukisan dari karya pelukis terkenal yang dikagumi kakek."
"Loh, pelukisnya sudah meninggal. Papa saja kemarin mau beli di seorang kolektor tidak diserahkan walau sudah Papa tawar harga tinggi," sela Yudistira heran.
"Karena Mama bukan hanya pajangan, nggak cuma cantik tapi juga berkualitas. Papa lupa dulu bisa dapat tender besar karena siapa?" sarkas Liora yang membuat Yudistira membisu.
Liora tersenyum smirk, lalu menatap melirik Nayshila sejenak kemudian ke arah Papanya lagi. " Oh iya, Papa juga meminta mama untuk datang ke acara ulang tahunnya."
"Benarkah? Mama kamu akan datang?" pekik Yudistira.
"Sepertinya iya," jawab Liora.
Mata Yudistira berkaca-kaca, nampak jelas jika masih ada perasaan dan rindu.
"Papa harus menahan diri, mama sudah menikah dan hidup bahagia. Suaminya juga sangat baik," serah Liora memperingati.
Aku si berharapnya anak yg di kandung Nayshila itu anak dari lelaki lain kyk di drakor-drakor 😂, biar menyesal itu Yudistira sdh meninggalkan mamanya Liora🤣